Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mesin Waktu Ke Luar Angkasa
MENU
About Us  

Dalam hari yang masih terlalu belia, pasar sudah menggelar rezeki sejak petang baru lahir dari langit, pun denganmu yang setia menenteng sebuah tas anyaman dari plastik yang sungguh awet katanya dimiliki ibumu sejak remaja, dan sekarang anaknya sudah tiga.  

Namanya masih pasar Kramat Jati, meskipun pohonnya entah berada di mana sekarang. Kau juga tahu betul soal tradisi-tradisi penamaan sesuatu yang diambil dari nama barang, nama tumbuhan, nama orang, atau nama hewan seperti Sura dan Baya, yang berarti hiu dan buaya. Sejarah memang selalu menarik.

Tentu saja waktu pohon jati itu masih dikeramatkan, kau belum lagi lahir atau bahkan belum dibuat oleh bapak ibumu, mereka juga belum bertemu dan belum menikah. Mereka bisa jadi masih menyusu di buaian emak.  

Sambil menyisir setiap lapak pedagang emperan sampai yang kiosnya megah, kau memanjakan mata dengan berbagai ragam laut, entah itu budidaya atau hasil pancingan, kau tidak peduli, tetapi jejeran ikan segar itu tidak pernah gagal dalam hal merayumu untuk membeli satu. Apalagi sayur-mayurnya, terasa seperti punya kebun sendiri, itu kenapa kau tidak pernah menolak pergi ke pasar. 

Dan jangan lupa beli daun pisang titipan bapak, jantung pisang titipan ibu, dan buah pisang untuk burung peliharaan bapakmu yang baik hati menyanyikan selamat ulang tahun pagi tadi.

Tentu saja wajah pasar tidak akan pernah jauh dari slogan, bau, becek, dan brengsek. Kau tentu tidak lupa dengan tomat yang tidak beruntung itu, kan? Diinjak-injak macam tak ada harganya. Kekhawatiranmu kalau ikut menginjak satu yang tergeletak di bawah, apalagi yang busuk. Barangkali ini, copet-copet lihai yang main pepet, lalu dempet, dan slepeettt. Lalu raib uang belanjamu seminggu. Mungkin juga yang ini, yang sekarang kau alami.  

Dari jauh kau tahu, dia si Komarudin yang kerjaannya kencing sembarangan di belakang tiang listrik yang ada di pasar. Namanya kau kenal dari bincang-bincang tukang ikan yang mengeluh dagangannya belum laku seekor tapi uangnya sudah melayang tiga ekor, sialan kata mereka. Meskipun begitu, tidak ada cara lain untuk menutup mulut mereka kecuali dengan memberikan jatah keamanan, jatah rokok, jatah makan, atau apalah yang Komarudin dan kelompoknya katakan.  

Padahal dia juga tidak mengganggumu, tapi kau muak sekali bertemu mereka setiap Minggu. Main asal comot kue cucur Bu Dadar yang terkenal, menyeruput kopi Cak Imin yang sengaja dibiarkan dingin agar tahan sampai tengah hari, atau seorang mesum di kelompoknya yang sering mencolek pantat tukang jamu gendong yang janda itu, pokoknya sangat menyebalkan. 

“Habis mau gimana lagi, Neng. Kalau nggak begitu dagangan kite suka direcokin. Ada aja yang dicomot, mending kalo dikit. Kalo ngambil kayak kumpeni, kagak kira-kira.” 

Kau mengangguk saja di dekat tiang listrik—semoga itu bukan tiang yang dikencingi Komarudin— lantas membiarkan mereka melewatimu lalu berhenti di seorang penjual ikan yang baru kau beli satu mujairnya.  

“Biasa, Bang.” 

“Agak siang ya, Kang. Belom laku, ini aja baru satu yang beli. Nanti siang Akang kemari lagi ya.” 

“Tambah ceban ya kalo nanti siang.” 

Tukang ikan itu mau tidak mau mengangguk, biarlah dia setidaknya bisa balik modal dulu, untungnya bisa dipikir sore hari, atau nanti ketika Komarudin datang lagi.  

Sambil menunduk, dari sudut matamu seorang pengamen ulung dengan gitar yang digonjreng sepanjang jalan mendekati geng Komarudin dengan sikap yang sama angkuhnya. Kau masih tidak beranjak dari tiang listrik, biarlah kerumunan orang gila itu menghilang di ujung pasar dulu.  

Namun, sebelum itu terjadi, kau melihat  dengan sengaja pengamen itu menyenggol lengan Komarudin yang asik menghitung uang keamanan yang berupa lembaran lima ribu atau sepuluh ribu rupiah. Uang-uang itu kemudian jatuh, mengenai tomat-tomat busuk tadi. Lalu, pengamen itu menginjaknya dengan sepatu buluk yang kau yakin tidak pernah dicuci. Melihat itu hatimu bahagia, biar tahu rasa si Komarudin dan gengnya itu. Kerjaannya cuma luntang-lantung merajai fly over dengan bermodalkan tatto, rambut gondrong dan wajah sangar.  

“Tolol, kalau jalan pake mata!” Kata Komarudin sambil melihat nasib jarahannya.  

Pengamen itu diam saja, tapi gitarnya masih dipetik-petik barang satu senar untuk menemani Komarudin mengamuk. Satu orang  di sampingnya, yang bertubuh gempal, jelek, buncit dan mesum itu lantas mencoba menenangkan si Komar. “Sudah, Bos. Kita pan belom ke dalem. Jangan berantem dulu, nanti malah nggak dapet.” 

Ternyata kalimat si mesum ampuh juga meredam emosi Komarudin yang masih menyala melihat si pengamen. Kau memberanikan diri mengintip dari sisi tiang listrik dengan si tukang ikan, berharap Komarudin segera pergi dan tidak bikin onar lagi. Setelah menyelamatkan uang yang berlumur tomat busuk, Komarudin enyah sambil terus berkata tolol. Sedang pengamen itu kembali gonjrang-ganjreng dengan puas.  

Pengamen itu kau taksir berusia di awal tiga puluh, rambutnya panjang menutupi kerah kemeja lusuh ketika dia lewat di depanmu. Rahangnya tegas dan kau mengingatnya karena sebuah cacat pipi yang orang bilang lesung itu terlihat hanya ketika ia sedang tersenyum, seperti sekarang. Dia sedang tersenyum sambil menepuk tubuh kurus si tukang ikan, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kalimat yang kau sangka ialah kebohongan, karena Komarudin pasti datang lagi nanti siang, menagih uang ceban.  

Setelahnya kau berinisiatif karena tak ingin kalah dari pengamen itu. Kau kembali mendekati tukang ikan, tak tanggung-tanggung langsung memborong tiga kilo mujair yang masih segar. Lantas memberikan lebihan uang agar si tukang berpikir tidak punya kembalian untuk diberikan. Kau bangga, lebih bangga dari si pengamen yang sedang memerhatikanmu. Dengan begitu, beliau tidak perlu lagi memikirkan setoran Komarudin siang nanti.  

Aku tahu, apa yang kau lakukan ini semata-mata hanya karena ingin melihat reaksi si pengamen tadi.  

“Terima kasih, Mbak. Sudah mau belanja di lapak ayah saya.” 

Kau bergeming, mencoba mencerna sedikit lebih lama dari biasanya. Itu tandanya, perasaanmu salah. Dirimu bahkan tidak berhak bangga atas tindakan yang dianggap heroik itu. Kau menodai sedikit dari kebanyakan cinta seorang anak terhadap ayahnya sendiri, dan kau mulai mencari alasan, bagaimana caranya untuk meminta maaf karena sudah merasa sombong hanya karena membeli tiga kilo mujair.  

Mengucapkan ‘sama-sama’ tentu tidak cukup memuaskan hatimu, dan pengamen itu menunggu engkau membalas rasa terima kasihnya. Sedang pasar kian terik kian ramai, kau tiba-tiba kikuk, tidak tahu apa yang harus dikatakan dan dilakukan. Padahal, kau bisa mengatakannya lantas pergi dan menganggap yang barusan itu hanya iklan dalam sinetron malam, tetapi tidak bisa. Kau tidak bisa melakukannya.  

“Anu.. ya sama-sama.” 

Setelahnya dia berhasil menangkap kegugupanmu yang terang benderang tercetak dalam liuk wajahmu yang malu dan memerah seperti tomat. Mari mencoba sekali lagi, kau minggir sedikit dari lapak, menatap si tukang ikan dan anaknya bergantian, lalu, “Tadi nggak sengaja melihat preman yang barusan memalak bapak ini, jadi saya berinisiatif membeli banyak ikannya, meski saya tidak butuh sebanyak ini, agar ketika dia datang lagi, bapak sudah punya uang untuk disetor. Saya pikir mengucapkan kata baik-baik saja tidak akan membuat bapak memiliki uang untuk setoran. Maaf karena sudah bersikap sombong, Mas. Saya tidak tahu bahwa bapak ini adalah orang tua daripada si, Mas.” 

Kau menerangkannya panjang ditambah lebar, dengan kebimbangan  harus menyebutnya dengan panggilan apa agar tidak semakin menggendong perasaan bersalah.  

“Tidak apa-apa. Terima kasih.” Pengamen itu tersenyum, kemudian mempersilahkan kau pergi setelah merasa bahwa kalimat tadi cukup untuk menjelaskan kegugupanmu.  

Bagaimana manusia bisa menerawang kejadian demi kejadian hanya dengan kepalanya yang hanya berisi kemunafikan dan kesombongan? Kau mengutuk sedemikian rupa dirimu dengan getir sambil membawa tiga kilo ikan mujair yang entah akan dimasak apa oleh Ibumu di rumah nanti. Biarlah kena marah satu hari ini.  

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
IKAN HIU MAKAN BADAK! I LOVE YOU MENDADAK!
78      60     0     
Romance
Blurb : Arisha Cassandra, 25 tahun. Baru 3 bulan bekerja sebagai sekretaris, berjalan lancar. Anggap saja begitu.  Setiap pekerjaan, ia lakukan dengan sepenuh hati dan baik (bisa dibilang begitu).  Kevin Mahendra (34) sang bos, selalu baik kepadanya (walau terlihat seperti dipaksakan). Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia masih mempertahankan Arisha, sekretarisnya? Padahal, Arisha sa...
Azzash
306      251     1     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...
NI-NA-NO
1481      688     1     
Romance
Semua orang pasti punya cinta pertama yang susah dilupakan. Pun Gunawan Wibisono alias Nano, yang merasakan kerumitan hati pada Nina yang susah dia lupakan di akhir masa sekolah dasar. Akankah cinta pertama itu ikut tumbuh dewasa? Bisakah Nano menghentikan perasaan yang rumit itu?
Stuck In Memories
15686      3212     16     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
Kasih dan Sebilah Pisau
359      235     0     
Short Story
Kisah ini dibuat berdasarkan keprihatinan atas krisisnya kasih dan rapuhnya suatu hubungan. *** Selama nyaris seumur hidupku, aku tidak tahu, apa itu kasih, apa itu cinta, dan bagaimana seharusnya seseorang tersenyum saat sedang jatuh cinta.
Salju di Kampung Bulan
2094      960     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
Between Clouds and Tears
1142      707     6     
Short Story
a collection of poetry made by yours truly. sappy, melancholic, and at times, nonsensical Whatever you may interpret from the words strung together in this book, i hope they impact you (positively, i hope), one way or another.
BOOK OF POEM
2223      737     2     
Romance
Puisi- puisi ini dibuat langsung oleh penulis, ada beragam rasa didalamnya. Semoga apa yang tertuliskan nanti bisa tersampaikan. semoga yang membaca nanti bisa merasakan emosinya, semoga kata- kata yang ada berubah menjadi ilustrasi suara. yang berkenan untuk membantu menjadi voice over / dubber bisa DM on instagram @distorsi.kata dilarang untuk melakukan segala jenis plagiarism.
Kau Tutup Mataku, Kuketuk Pintu Hatimu
5333      1841     0     
Romance
Selama delapan tahun Yashinta Sadina mengidolakan Danendra Pramudya. Laki-laki yang mampu membuat Yashinta lupa pada segudah masalah hidupnya. Sosok yang ia sukai sejak debut sebagai atlet di usia muda dan beralih menekuni dunia tarik suara sejak beberapa bulan belakangan. "Ayah sama Ibu tenang saja, Yas akan bawa dia jadi menantu di rumah ini," ucap Yashinta sambil menunjuk layar televisi ke...
Apakah Kehidupan SMAku Akan Hancur Hanya Karena RomCom?
4012      1164     1     
Romance
Kisaragi Yuuichi seorang murid SMA Kagamihara yang merupakan seseorang yang anti dengan hal-hal yang berbau masa muda karena ia selalu dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya akibat luka bakar yang dideritanya itu. Suatu hari di kelasnya kedatangan murid baru, saat Yuuichi melihat wajah murid pindahan itu, Yuuichi merasakan sakit di kepalanya dan tak lama kemudian dia pingsan. Ada apa dengan m...