“Masak ikan lagi, Dek?”
Kau tidak bisa menutup matamu dari keluhan bapak mengenai menu lauk yang masih sama sejak hari Senin. Makan malam ialah akhir kegiatanmu setelah mengajar di salah satu sekolah dasar tak jauh dari rumah, kau pula yang memasak pecak ikan mujair sore tadi bersama ibuk, sedang dua kakakmu yang bekerja, satunya sebagai pegawai bank, dan satunya lagi sebagai pengusaha toko material tak jauh berbeda air mukanya setelah menengok meja makan.
Padahal bukan hanya ikan, di ujung meja kau juga membuat orek tempe kegemaran orang rumah ditambah sayur lodeh yang tidak pernah bisa ditolak bapak. Namun, entah kenapa hari ini semua wajah tidak semringah seperti ketika lapar hendak ditunaikan. Dirimu merasa tidak enak hati melebihi sesiapa saja sekarang.
Ibuk senantiasa teduh tak kala menyendokkan nasi dari bakul untuk bapak. Tak ada rasa keberatan barang sedikit pun, meski kau tidak menceritakan perihal pengamen dan tukang ikan itu padanya, ibuk seolah-olah mengerti hal itu jauh berada dalam keputusanmu, dan wanita itu menghargainya. Tidak ada masalah makan mujair tiga hari dengan rasa yang sama. Kau dengannya sama-sama pandai memasak, disulaplah mujair itu menjadi pecak, atau dipesmol atau dibuat kuah asam.
“Maaf, Pak. Serayu kemarin lagi pingin ikan, mumpung sedang murah juga,” ucapmu berbohong, padahal kau tahu jika berbohong bukan hal baik.
Bapak berdeham, masih menunggu piring dari ibukmu yang belum lagi selesai ditata dengan lauk-pauk. Seisi meja masih diam menunggu. Kau ingat betul titah orang-orang jaman dulu, termasuk nenek dan kakekmu yang sudah tiada. Jangan makan, atau jangan mendahului makan ketika yang lebih tua belum selesai melakukannya. Saat kau berumur tujuh belas tahun, kau bertanya pada ibuk. Apa dia senang melayani bapak, ibukmu selalu tersenyum, katanya, “hidup seorang istri hanyalah meladeni suami.”
“Itu namanya unggah-ungguh, nduk. Apa salahnya mempersilahkan orang yang lebih tua untuk hal makanan. Apalagi makanan dengan jumlah yang cukup, menu yang sama, ibuk nggak akan masak sedikit dan bikin kamu tidak kebagian.”
“Iya, tapi bukannya bapak bisa mengambil makanan sendiri. Ibuk tidak perlu membantu mengambilkan bapak setiap hari.”
“Hmm,” kau ingat benar saat itu ibumu bahkan diam saja, sambil tersenyum matanya menerawang jauh mencari jawaban dari pertanyaanmu. “Dulu,” sambung ibuk, “ketika kanjeng nabi sedang beribadah di Goa Hiro untuk menerima wahyu gusti Allah, isterinya Khadijah, jauh-jauh berjalan dari rumahnya hanya untuk mengantarkan kurma dan air, memastikan suaminya tidak kelaparan.”
“Padahal, urusan dunia bahkan kecil persoalan lapar dan kenyangnya, berada di tangan penciptanya.”
Kau melengos, ibuk selalu punya jawaban, dan kau selalu kehabisan alasan untuk menerobos lengut matanya yang tidak menampilkan keberatan apa-apa soal patriarki yang dikatakannya bahkan setiap jam.
“Dunia ini pendek, nak. Jadi jangan terlalu jauh pergi, rumah kita bukan di sini.”
Ibuk memang spesies berbeda dari generasi setelahnya, ditambah perangai bapak yang mantan abdi dalem itu, cukup membuat keluargamu tunduk akan pitutur orang-orang tua jaman dahulu.
Seperti biasa, bapakmu berdeham sekali sebelum menginterupsi meja makan menjadi lahan obrolan renyah, kau mendongak menunggunya menelan nasi lantas bapak bicara, “gimana ngajarmu, nduk?”
Kau kira bapak akan mengeluh rasa sayur lodehnya yang sedikit asin, ternyata bukan. Memang hanya kau yang perlu diperhatikan, dua kakakmu persis sudah ada yang mengurus meski mereka jarang pulang, para cucu bapak hanya tinggal beberapa blok dari rumah.
“Sedang banyak tugas, Pak. Sebentar lagi ujian akhir semester.” Kemudian bapak mengangguk, melanjutkan suapannya.
“Bapak punya kenalan untukmu.”
Apa kau sebaiknya merubah namamu menjadi Siti Nurbaya? Meski seumur hidupmu, bapak tidak akan pernah menaruh kotoran di tangamu, kau tahu betul pilihan bapak musti baik. Kau mahfum, hanya kaulah anaknya yang belum kawin di rumah, bapak seperti masih punya kewajiban mengantarkanmu pada ibadah seumur hidup.
“Anak kerabat jauh kita,” lanjut bapak karena kau tidak menimpali apa-apa.
“Manut, Pak.”
Oh, Tuhan, kau berdoa untuk sekali saja bisa merasakan jatuh cinta. Paling tidak kau punya jawaban untuk manusia yang kelak membersamai sisa hidupmu nanti. Siapa pula yang ingin hidup dengan seseorang yang ujung rambutnya saja tak pernah terlintas di mimpi itu. Semut nakal lantas menggerayangi perutmu, kau langsung gelisah tidak tentu, sedikit khawatir tetapi tidak mampu untuk mangkir.
“Pak,” tegur ibuk dengan mengelus pelan punggung tangannya ketika memergoki liuk wajahmu yang tidak lagi sedap. Hanya sebatas itu, pun ibuk tidak pula memiliki kuasa atas titah suaminya. Semua anak sulungnya dijodohkan, dan terlihat bahagia sampai dua anak dilahirkan oleh mantu pilihannya. Semua itu menjadi patokan bapak untuk tidak lagi segan menuntut anak bungsunya, mengenalkannya dengan banyak pria yang entah apa wujudnya.
“Umurnya sudah dua puluh lima, sudah siap menikah. Mas-masnya semua menikah saat usia mereka telah matang.”
Kau menganggap erat sendok, berusaha menelan sisa kunyahan dari mulut yang kian serat meski berkuah. Jika kau diam, maka sepanjang hari, obrolan yang beringsut dari meja makan, ke sofa keluarga hanya akan perihal laki-laki dan pernikahan. Jika boleh muak, kau akan melakukannya, karena kehilangan selera makan saja tidak cukup menutup mulut bapakmu.
“Serayu sudah punya pilihan sendiri.” Entah bagaimana kalimat itu muncul begitu saja, tanpa tahu penyesalan akan mengekorimu di belakang. Susah payah kau menahan keringat dingin yang kini juga ditatap tegang oleh dua saudara dan ibumu. “Pun, jika bapak mengizinkan. Ayu akan membawanya ke rumah sebelum saudara jauh kita datang.”
Bunyi sendok garpu di piring bapak lantas bungkam. Tidak, sungguh. Kau tidak sedang menantang bapakmu, hanya sedikit memperjuangkan harga dirimu, dan mungkin sisa cinta yang entah harus diberikan pada siapa nanti, kau hanya ingin memilihnya sendiri, lalu mencintainya sekasih-kasihnya.
“Monggo saja, bawa dia ke rumah. Bapak juga ingin mengenalnya.”
Begitulah awal mula praktik dilema hidupmu bermula. Siapa yang akan kau bawa ke rumah? Heru, si guru olahraga yang jauh lebih muda darimu itu, paling tidak hanya dia yang melajang di lingkungan terdekatmu, dan apa yang akan kau jadikan dalih? Datanglah ke rumah dan nikahi aku? Oh, hidupmu kan bukan sinema.
“Nggih, Pak.”
Selepas ashar di pekan akhir, ibuk mengetuk kamarmu. Seperti sudah tahu niat di balik pintu itu, kau sengaja menunda bertemu. Sedikit mencari alasan rasional mengenai lelaki gadungan yang kau ceritakan. “Jadi siapa dia?” mata ibu berbinar, kali ini bukan karena penasaran. Kau amat tahu itu. Kesenangan bisa jadi merajalela di benaknya ketika mengetahui si bungsu sudah jatuh cinta. Barangkali juga ibuk bahagia, karena anaknya tidak perlu kawin dengan pilihan suaminya.
“Dia manis sekali, Buk. Punya lesung pipi. Kulitnya memang terbakar matahari, tapi bersih dan berkilauan diterpa hujan. Rambutnya tidak berantakan, pasti tampan sekali kalau pakai blankon seperti bapak. Sudah pasti lebih tinggi dariku, dan bicaranya juga lembut.”
“Apa pekerjaannya?” terang ibukmu tak sabar.
“Pekerjaannya?” Kau menerawang jauh, tidak terpikir selintas pun mengenai pekerjaan khayalan ini. Kau sudah tidak lagi memungkinkan untuk mencari alasan, jadi, “Pekerjaannya mencuri hatiku,” celotehmu buruk.
Ibukmu tertawa renyah, “ibuk akan menceritakan ini kepada bapak, nanti.” Lantas perempuan baya itu buru-buru pergi, menjinjing roknya agar langkahnya tepat cepat. Sekarang giliranmu juga pergi, mencari calon suami karanganmu itu.
Dia, yang hanya terlintas di pandanganmu semasa pagi masih beraroma wangi.