Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dimension of desire
MENU
About Us  

     "Bianna, cepat buang sampahnya sebelum malam!" Pekik Selena dari arah dapur. Bianna yang awalnya sedang memberi makan Judy-Anjing peliharaannya- segera bangkit dan berlari ke arah dapur. Ia menghadap ke arah ibunya seraya memasang raut masam. 

     "Ikat dulu yang kencang plastiknya sebelum dibuang. Kalau nggak, nanti bisa berceceran kemana-mana sampahnya," ucap Selene seraya menyerahkan satu kantung sampah yang terisi penuh. Bianna menerima kantung sampah tersebut dengan senyum kecut. Dia melangkah berat seraya mengangkat plastik sampah yang cukup berat. 

     "Kenapa harus selalu aku sih? Padahal ada Bailey yang keliatannya lagi nyantai," racau gadis itu pada dirinya sendiri. Gadis itu pun keluar dengan kaus kebesaran dan celana selutut yang kelonggaran, sebab dia hanya perlu menaruh kantung sampah tersebut ke dalam tong besar di depan rumah. 

     Begitu selesai memasukkan kantung sampah ke dalam tong besar, Bianna segera berbalik untuk masuk kembali ke rumah. Namun, sesuatu menarik perhatiannya tepat ketika dia hendak menutup pintu di belakangnya. 

     Dalam jarak pandang sekitar lima meter, Bianna dapat melihat seseorang yang tengah sibuk memindahkan barang-barang ke dalam toko. Akan tetapi, setahu Bianna, tempat itu dulunya sudah dimiliki oleh seorang pembuat kue dan pastry terenak di kawasan Union Square.

     "Apa nyonya Harley udah pindah?" Bianna membatin sambil terus memusatkan atensinya ke tempat bekas pastry yang sekarang sedang diisi dengan barang-barang oleh seorang lelaki berambut gondrong.

     Ketika sedang fokus menatap ke depan, Bianna merasakan sesuatu menggelitik kakinya. Rupanya, Judy tengah bermain-main memutari kedua kakinya. Saat ini, Judy benar-benar terlihat seperti ulat bulu besar berwarna cokelat yang menempel di celananya.

     "Kamu mau jalan-jalan sebentar Judy?" Anjing besar itu dengan sigap berputar sekali di lantai, membuat Bianna tertawa karena merasa gemas. Akhirnya, gadis itu pun berlari ke dalam untuk mengambil tali. Karena waktu masih tersisa sekitar 30 menit sebelum matahari kembali ke persinggahan, maka Bianna hanya perlu berjalan santai sambil menikmati semburat jingga di langit senja. Judy tidak sabaran berlarian kesana kemari, meloncat dan sesekali mengendus-endus bunga liar yang tidak sengaja tumbuh di sisi jalan.

     Mereka terus berjalan, sampai tibalah Bianna di depan tempat yang sedari tadi mencuri perhatiannya. Pupil mata Bianna membesar ketika membaca plat nama toko yang berganti dari 'Harley's Bakery' menjadi 'Diamonds In White Zone' dalam satu malam. Gadis itu melongokkan kepalanya seperti sedang mencari sesuatu.

     "Mohon maaf, toko ini masih tutup. Anda bisa kembali lagi besok dengan anjing anda," sebuah suara tiba-tiba menyahut, lalu kejap kemudian lelaki berambut gondrong yang tadi dilihatnya muncul dari balik pintu. Bintik kecokelatan yang memenuhi kedua pipinya ikut merona ketika ia tersenyum. Bianna tanpa sadar sudah memelotot karena sedikit terkejut dengan kehadiran lelaki itu. 

     Gadis itu berdeham untuk menghindari salah tingkah yang dapat membuatnya menanggung rasa malu nantinya. Dia pun mengangkat Judy ke pelukannya dan tersenyum tipis sekali.

     "Oh, sepertinya kamu salah paham. Meskipun begitu, selamat atas peresmian tokonya," balas Bianna, lalu segera melenggang menuju rumah.

     Matahari telah berganti dengan bulan. Tak hanya itu, Bianna pun sudah berganti dengan piyama dan bersiap untuk tidur. Namun, sebelum mengunjungi alam mimpi, gadis itu selalu menyempatkan diri untuk merawat jerawatnya agar keesokan paginya wajahnya tidak terasa buruk.

☆☆☆☆☆

     Kedua gadis seiras yang tengah berjalan di koridor kelas itu bernama Bianna dan Bailey. Mereka adalah saudara kembar yang terpisah oleh kelas semenjak hari pertamanya masuk ke sekolah. Menurut siswa siswi di Horizon Academy, mudah saja untuk membedakan antara Bianna dan Bailey. Sebab, Bailey sedikit lebih tinggi dari Bianna, dan Bailey memiliki rambut yang panjang, sedangkan rambut Bianna hanya sebahu. Keduanya selalu terlihat akur ketika berjalan bersisian menuju kelas masing-masing. 

     Bianna langsung menaruh tasnya di bangku paling belakang dekat jendela begitu tiba di kelas. Kemudian, rutinitas selanjutnya adalah mengeluarkan headset dan memakainya meski dia sedang tidak mendengarkan musik dari ponselnya. Hal tersebut sengaja Bianna lakukan, karena dia tidak ingin diajak bicara oleh siapapun di pagi hari. Dia tahu, bahwa siswa siswi di sini senang sekali bergosip ketika baru memasuki kelas, dan Bianna harus menghindari gosip tersebut.

     Beberapa menit setelah semua murid masuk ke dalam kelas, bel pertanda pelajaran pertama berteriak nyaring. Koridor lantai satu sampai tiga mendadak sepi. Hanya bunyi kelotak high heels yang menyusup ketika para guru berjalan menuju kelas mereka. Dan, saat itulah para murid dengan terpaksa diharuskan untuk menahan kantuk sekaligus menjaga pandangan tetap lurus ke depan jika tidak ingin disuruh mengelilingi lapangan sepak bola sebanyak lima kali oleh para guru yang sedang mengajar.

     Entah sudah sebanyak apa bekas cubitan di tangan Bianna demi menahan matanya agar tetap terbuka selama pelajaran fisika. Akhirnya, bel pertanda istirahat pertama menggema ke seluruh penjuru sekolah. Seluruh murid berbondong-bondong keluar kelas dan menuju kantin untuk menyerbu makanan. Bianna pun tadinya hendak melangkah menuju kantin, namun, kakinya malah berbelok ke toilet perempuan ketika melihat beberapa anak gadis berkulit putih dengan surai legam yang digerai akan berpapasan dengannya.

     Bianna lantas bersembunyi di balik pintu toilet, menunggu beberapa saat agar bisa keluar saat para gadis cantik itu sudah mendahuluinya. Akan tetapi, yang dia dapatkan setelah menunggu beberapa saat adalah kebalikannya. Karena para gadis itu kini memasuki toilet, dan menyapanya.

     "Apa yang kamu lakukan di sini Anna?" Tanya Riley seraya mencuri pandang dengan Bianna melalui cermin. Bianna yang merasa terpanggil menyengir kuda sambil tertunduk. Suara langkah yang semakin mendekat membuat Bianna berjalan mundur sampai menabrak tembok.

     "Jangan menunduk terus, nanti cantiknya nggak keliahatan," celetuk May, gadis cantik berambut keriting alami di sebelah Riley. Bianna tidak menjawab. Dia hanya mengulum senyum, sementara keempat gadis itu tertawa sambil meninggalkan toilet perempuan.

  Setelah itu, Bianna mengangkat wajahnya perlahan. Dia berjalan lesu menuju cermin, kemudian menatap wajahnya yang memerah akibat jerawat. Sambil menahan tangis, Bianna meninju tepi wastafel berkali-kali. Pundaknya sudah bergetar, namun Bianna tidak ingin menangisi hal seperti ini.

     "Jangan sakit hati Ann, kamu udah terbiasa, inget,"   

     Gadis itu melangkah landai kembali ke kelasnya. Dia urung pergi ke kantin dan memilih untuk meminum bekal air putih saja. Sambil menunggu bel berikutnya, Bianna memutuskan untuk pergi menghampiri Bailey ke kelasnya dan mengajaknya mengobrol. Bianna tidak pernah terpikir untuk bisa menjalin pertemanan dengan teman sekelasnya, sehingga satu-satunya orang yang bisa diajaknya mengobrol di sekolah ialah Bailey. 

     Tak terasa, bel berikutnya tiba-tiba berbunyi, mengisyaratkan Bianna untuk segera kembali ke kelasnya. Begitu tiba di kelas, Bianna langsung duduk di bangkunya dan menyiapkan buku catatan di atas meja. Dia juga menyiapkan tangannya untuk dicubit oleh diri sendiri selama menahan kantuk saat mendengar penjelasan dari guru nanti.

☆☆☆☆☆

     Seperti biasa, Bianna harus menunggu Bailey selesai piket terlebih dagulu agar mereka bisa pulang bersama di hari selasa. Sehingga, gadis itu memilih untuk melihat-lihat mading untuk mengusir kebosanannya. 

     Tatapan Bianna terpaku pada salah satu poster perekrutan kelompok belajar yang terpasang mading. Dia menatap lekat poster tersebut, lalu mengambil ponselnya dari dalam saku dan memotretnya. 

     "Ann, ayo," panggil Bailey dari ambang pintu kelasnya. Bianna segera mengangguk dan menghampiri saudara kembarnya. 

    "Apa yang kamu foto di sana?" Tanya Bailey begitu langkah mereka sejajar.

     "Hah? Oh, tadi ada gambar bagus banget yang dipajang di mading, jadi aku foto," balas Bianna, berbohong.

     "Buat apa di foto?" Tanya Bailey lagi semakin penasaran. Bianna berpikir sejenak, menyadari ucapannya tadi memang terkesan aneh.

    "Ya buat aku belajar di rumah. Kamu kan, tahu kalau aku suka menggambar. Jadi, aku mau belajar untuk mengikuti gambarnya," jawab Bianna asal, tapi sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Gadis itu memang suka sekali menggambar. Bahkan di kamarnya, ada satu loker di meja belajarnya yang dipenuhi kertas hvs berisi gambarannya.

    Mereka berdua pun berjalan santai menyusuri jalan yang dipenuhi merpati menuju rumah. Ketika kedua gadis itu melewati tempat dengan plang bertuliskan 'Diamonds In White Zone' yang menyala terang, Bianna tanpa sadar menghentikkan langkahnya dan membuat Bailey terheran-heran.

     "Hey, kenapa kamu tiba-tiba berhenti?" Bailey memekik sambil menatap kesal ke arah Bianna. Namun, Bianna tidak menjawab pertanyaan Bailey. Dia melirik sebentar tempat tersebut, kemudian membaca tulisan yang tertera di depan pintunya.

     "Dua dollar untuk bisa masuk," gumamnya sambil mengangguk-angguk pelan. 

     "Ly, boleh aku pinjam satu dollar?" 

     "Satu dollar? Buat apa?" Bailey mengangkat satu alisnya sambil menatap Bianna dengan curiga.

     "Mmm, aku mau beli pulpen, nanti akan aku kembaliin secepat mungkin," ucap Bianna, melangkah mendekati Bailey. Senyum Bianna semakin lebar ketika dirinya sudah berada di samping Bailey. Bailey tampak menghela napas kasar, lalu berjalan lebih dulu.

     "Baiklah, tapi kamu ambil sendiri di lemariku," 

Bianna bersorak dalam hati, lalu melompat kegirangan dan merengkuh bahu adiknya yang hanya beda semenit itu.

     Tanpa pikir panjang, Bianna segera berlari ke kamar Bailey untuk mengambil uang lembar satu dollar, lalu kembali memakai sepatunya. Namun, sebelum Bianna pergi lagi, Judy sudah menempel di kakinya, membuat gadis itu terkekeh. 

     "Ya ampun Judy, jangan ikuti aku. Duduk di sini manis," titah Bianna pada anjingnya. Namun, bukannya menurut, Judy malah menggeliat di kaki Bianna.

     "Diam di sini Judy, nanti mama marah kalau kamu terus membuntutiku," Bianna berujar panik sambil berjalan mundur dan menahan Judy di ambang pintu rumah. 

     "Bianna, jangan berkeliaran di sore hari! Lihatlah adikmu, segera mandi begitu pulang sekolah," pekik Selena. Bianna seketika tertegun, tetapi dia tak bisa mengurungkan niatnya untuk tidak mengunjungi 'Diamonds In white Zone'. Dia sudah terlanjur penasaran dan meminjam uang dari Bailey. Sehingga, Bianna tidak peduli pada Judy yang akhirnya mengekorinya. 

     Kini, Bianna sudah berdiri tepat di depan pintu toko. Sejenak, kakinya ragu untuk melangkah masuk. Namun, melihat Judy yang yang terus mengonggong sambil menggaruk pintu, membuat Bianna mau tak mau harus segera masuk. 

     Akan tetapi, belum sempat tangannya membuka pintu toko, seseorang sudah lebih dahulu menariknya dari dalam, menampakkan lelaki berambut gondrong dengan pakaian seperti nerdy boy di dalam film sekolah amerika. Kemeja kotak-kotak dan kacamata dengan bingkai tebal. Menurut Bianna itu terlihat sangat norak. 

     "Selamat datang di Diamonds In White Zone. Wujudkan apa saja dalam ruang tanpa batas hanya dengan membayar dua dollar untuk selamanya," ucapnya ramah diiringi senyum lebar.

     Bianna tersenyum canggung. Perasaannya mengatakan bahwa dia sebaiknya pergi dari sana setelah bertemu dengan lelaki aneh itu. Namun, Judy sepertinya berpikir lain. Anjing itu malah berlarian masuk ke dalam toko, membuat Bianna sedikit panik.

     "Hahaha, tenang saja. Tempat ini memang terbuka untuk semua makhluk hidup yang berpikir," timpalnya.

     "A-apa katamu? Maksudmu Judy bisa berpikir?" 

     "Kamu akan tahu begitu masuk ke dalam," ucapnya lantas segera berlalu ke dalam toko.

     Kini, tubuh Bianna sudah digerogoti oleh rasa penasaran yang membuatnya tanpa ragu mendorong pintu toko dan dia pun masuk. Biana tak bisa menyembunyikan kekecewaannya ketika hanya mendapati ruangan kosong berwarna putih di sana, dan Judy yang sedang duduk manis di tengah ruangan.

     "Apa-apaan ini?" Tanya Bianna sambil menatap intens ke arah Marlin, menuntut penjelasan.

     "Inilah ruangan yang akan mewujudkan keinginan anda. Sebelum menjemput anjingmu yang sedang bersenang-senang, silakan bayar dulu," 

     Bianna tak bisa berkata-kata saking bingungnya. Namun, melihat Marlin yang sudah menyodorkan tangannya, Bianna terpaksa menyerahkan dua dollarnya kepada lelaki itu.

     "Judy, ayo kita pulang," ajak Bianna seraya berjalan ke arah Judy. Anjing itu tampak tidak berkutik sama sekali. Dia mengangkat kaki kanannya, yang langsung diterima oleh Bianna.

     "Kamu mengajakku untuk duduk?" Tanya Bianna lembut pada Judy. Kemudian, Bianna akhirnya ikut duduk di samping Judy. Gadis itu terus memperhatikan anjingnya yang sangat tenang berada di dalam ruangan putih tersebut. 

     Sesekali Bianna mengedarkan pandang, dan menyadari Marlin sudah tidak lagi di tempatnya. Lelaki itu menghilang. 

     "Pejamkan matamu, dan bayangkan sesuatu yang ingin kamu lakukan sekarang juga," itu suara Marlin, namun intensitasnya entah berada dimana.

     Bianna tanpa ragu memejamkan matanya. Awalnya, hanya gelap yang dia lihat. Tetapi, semakin lama, dan lama, ia tetap tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya, Bianna membuka matanya dengan geram.

     "Apa yang kulakukan? Tempat apa ini sebenarnya? Sia-sia saja kukeluarkan dua dollar. Ayo pergi Judy." Bianna segera menggendong Judy dan membawanya meninggalkan tempat tersebut. 

     "Harusnya kita nggak menghabiskan waktu ke sana. Maafkan aku ya Judy, kamu pasti lelah," celetuk Bianna. Setelah itu, mereka kembali ke dalam rumah. Bianna segera melepas sepatunya dan bergegas untuk mandi. 

     "Bianna, cepat ke kamar dan belajar!" Lagi-lagi, Selena berteriak dari arah dapur. 

     "Iya ma," jawab Bianna singkat. 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Simfoni Rindu Zindy
693      517     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
166      137     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
354      260     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
One Milligram's Love
1047      804     46     
Inspirational
Satu keluarga ribut mendapati Mili Gram ketahuan berpacaran dengan cowok chindo nonmuslim, Layden Giovani. Keluarga Mili menentang keras dan memaksa gadis itu untuk putus segera. Hanya saja, baik Mili maupun Layden bersikukuh mempertahankan hubungan mereka. Keduanya tak peduli dengan pandangan teman, keluarga, bahkan Tuhan masing-masing. Hingga kemudian, satu tragedi menimpa hidup mereka. Layden...
Interaksi
364      287     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Loveless
5851      2998     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Paint of Pain
939      645     29     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
FLOW : The life story
91      81     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
Yu & Way
136      110     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...