Aku tidak berencana untuk meminta maaf pada kakakku setelah kejadian kemarin sore. Aku merasa meminta maaf di hari lebaran saja sudah cukup untuk memperbaiki hubungan kami. Lagi pula Asmara masih bersikap sama, menyebalkan dan cerewet.
”Mut, jangan lupa pakai dasi, bawa topi, sama buku catatan hari ini. Kamu suka kelupaan terus, nanti kamu kena hukuman Bu Irma lagi geura.”
Suara itu tak seberapa di telingaku karena aku sudah bersiap memakai earphone dan asyik dengan buku bacaanku di atas kasur sambil menyandarkan tubuhku di kursi belajar. Namun ... itu tak bertahan lama, karena Asmara kini sudah membuka kerudungku dan melepaskan earphone yang kupakai.
Aku menatap penuh amarah padanya. ”Apa sih! Kak!”
”Sekali-kali coba tolong kamu dengerin Kakak. Kamu ini sudah dewasa, sudah kelas 2 SMA, jangan seperti anak kecil terus dong Mut. Kalau Kakak udah gak ada, siapa yang bakalan ingetin kamu coba.”
Entahlah, aku heran, kenapa ia terus merecoki kehidupanku. ”Baguslah, kalau Kak Asma gak ada, hidup aku bakalan tenang!”
Aku menyambar kerudung yang ada ditangannya. Tak kuhiraukan tatapannya yang berubah menjadi kosong. Aku menyibukkan diri mengambil beberapa barang bawaanku dan melaksanakan apa yang diperintah kakakku. Meski sampai detik ini aku tak paham kenapa aku tetap nurut pada perintahnya yang membuatku kesal.
Neng Asmara. Itulah nama lengkap kakakku. Katanya nama itu tersemat karena rasa sayang ayah dan ibu. Harapan kelak ia disenangi oleh banyak orang. Pembawa rasa cinta yang membuat hati setiap orang yang melihatnya merasa damai. Dan aku ... namaku Mutia Mutiara Fajri. Nama itu tersemat agar aku bersinar sama seperti sang fajar, memberi harapan baru di setiap harinya. Namun, mereka lupa bagaimana cara mempperlakukan sang sinar harapan. Mereka sendiri yang membuatnya redup dan tenggelam.
”Mutia! Sarapan dulu sebelum berangkat.”
Teguran itu milik ibuku. Meski malas, aku tetap menyempatkan untuk sarapan di meja makan bersama mereka, keluargaku. Tanpa mengatakan sepatah katapun, aku mengambil satu piring yang sudah berisi nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi di atasnya. Aku tak suka, namun ... ini adalah makanan favorit Asmara.
”Asma, ayok duduk Kak, sarapan dulu yang banyak biar kuat jadi pembawa benderanya,” ujar Ibu pada Asmara yang baru sampai di tempat makan.
Aku mengunyah nasi goreng yang kusantap sambil memperhatikan Asmara yang tersenyum manis. Ya, sama seperti biasanya, namun ada satu hal yang membedakannya hari ini. Senyum itu tak terlihat tulus. Aku tertegun, ini kali pertama dalam hidupku, Asmara menampilkan senyum menutupi luka. Apakah itu karena perkataanku tadi? Ah, tapi tidak mungkin, karena Asmara tidak pernah ambil pusing dalam hal apapun. Itu yang kutahu.
***
Sekolah adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa mengekspresikan diriku. Tempat yang kuanggap kebebasan, karena jika tidak sekolah maka aku akan berada di dalam rumah seharian, atau mungkin selamanya.
”Mut, kamu sadar gak sih, belakangan ini Kak Mahesa lihatin kamu terus,” bisik Sandra sambil menyenggol lenganku.
Aku mengikuti arah mata Sandra dan benar di seberang sana Mahesa ketahuan sedang memperhatikanku yang sedang menyantap batagor dengan tidak anggun.
”Kayaknya hanya kebetulan aja lihat ke sini,” balasku yang tidak ingin berpikir berlebihan.
”Ih, kamu gak peka banget sih Mut, jelas-jelas Kak Mahesa lihatin kamu.”
Sekali lagi, aku tidak ingin menanggapi perkataan Sandra. Walaupun dalam hati kecilku, aku berharap bahwa perkataan Sandra itu benar. Siapa juga yang gak mau disukai sama Kak Mahesa. Ganteng, ketua OSIS, suaranya bagus, bacaan Al-qur’annya bagus, kadang juga suka adzan ketika waktu dzuhur tiba. Asli, aku benar-benar terhipnotis dengan suara adzannya itu.
“Jangan di pandangin terus Kak Mahesanya Mut, mending confes deh takut keburu lulus beliau.”
Aku menatap Sandra kesal. Manusia satu itu memang senang sekali menggodaku, tidak tahukah bahwa saat ini jantungku sedang berdetak dengan cepat, apalagi ketika tersadar laki-laki yang sedang kami bincangkan tiba-tiba sudah ada di depan kami sedang tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
”Hai, boleh ikut duduk?” tanyanya seketika membuatku diam.
”Boleh dong Kak,” jawab Sandra sambil menyenggol bahuku, mencoba membantuku untuk sadar.
”Makasih.”
Aku mencoba untuk tidak berteriak karena girang, mencoba menyembunyikan perasaanku yang meluap-luap.
”Aku boleh bicara sama kamu?” tanya Mahesa yang entah ditujukan untuk siapa.
”Siapa Kak? Aku?” Sandra bertanya balik.
Mahesa mengggeleng. ”Yang di sebelahmu.”
Aku terkesiap, di sebelah Sandra? Itu berarti ... aku?
”Oh, Mutia? Boleh Kak, boleh banget, sok aja atuh kalian ngobrol, aku gak bakal dengerin kok.” Sandra sepertinya benar-benar sengaja membuatku malu. Lihat saja sekarang ia sedang menutup telinganya seolah mengejekku.
”Gak perlu ditutup juga kok, bukan masalah penting. Aku Hanya mau ajak Mutia pulang bareng.”
What?! Mimpi apa aku semalam? Kenapa bisa tiba-tiba pangeran impianku ini mengantarkan pulang.
***
Tolong ajarkan aku untuk menolak permintaannya, karena nyatanya aku tidak bisa menolak. Hahaha, kapan lagi diajak pulang bareng crush.
”Kenapa Kak Mahesa tiba-tiba ngajak aku pulang bareng? Bukannya kita gak pernah tegur sapa sebelumnya?” Bibirku gatal, tidak bisa mengontrol untuk tidak menanyakan pertanyaan sepenting ini.
”Bukannya sering ya? Kamu lupa?”
Kini aku terdiam, jika diingat-ingat kami memang cukup sering berbicara hanya saja bukan dalam keadaan biasa saja seperti ini. Kami hanya mengobrol di waktu penting saja. Seperti kegiatan sekolah atau rapat OSIS, itupun karena aku adalah bagian dari organisasi, jika bukan, mungkin kami tidak akan pernah bisa mengobrol santai seperti ini.
”Maksudku di luar dari tugas.” Aku memperjelas pernyataanku.
”Aku hanya ingin mengenal kamu lebih jauh.”
Eh, apa maksudnya lebih jauh? Apakah maknanya sama dengan apa yang aku pikirkan?
”Sejauh apa Kak? Untuk apa tujuan dari pendekatan ini?”
Astaghfirullah, Muti! Apa sih, gaje banget. Kenapa kalo deket crush jadi mendadak konyol begini!
Aku nggak ngerti kenapa aku bisa begini. Padahal obrolan kami terkesan biasa saja. Tapi mungkin, Mahesa hanya ingin memastikan aku baik-baik saja. Siapa tahu aku terlihat aneh atau pekerjaan organisasiku kacau. Mungkin dia hanya ingin membantu. Mungkin. "Tujuannya biar bisa lebih dekat sama kamu, Mut. Nggak boleh?"
"Maksudnya Kak? Dekat dalam hal apa?"
Aku terus menuntut kejelasan, tapi Mahesa malah tertawa seolah aku barusan melontarkan lelucon.
"Ternyata kamu cerewet juga ya, Mut. Aku kira pendiam."
Aku terdiam. Tapi dalam diam itu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Debar ini... semakin jelas. Aku menyukainya.
Jauh sebelum kami menjadi rekan organisasi, perasaan ini sudah muncul tanpa bisa dicegah. Bukan hanya kagum, tapi juga rasa aman dan nyaman, seperti rumah. Namun, apakah ini suatu pertanda baik atau buruk?