Setengah jam kemudian, Dow duduk di kantor Mr. Wilis, menanti beliau keluar dari ruang rapat. Ada sedikit rasa bersalah karena dirinya, Mr. Wilis harus merelakan jam makan siangnya. Ruangannya tenang, hanya suara samar AC dan detik jam dinding yang terdengar. Dindingnya dihiasi rak buku penuh dokumen hukum dan bingkai foto keluarga kecil Mr. Willis bersama Chloe dan seorang wanita yang sepertinya istrinya. Di pojok meja terdapat figura kecil berisi gambar kartun Chloe dalam balerina tutu, mungkin digambar saat TK. Dow menunduk sebentar, mencoba mengatur napas.
Dow menoleh ketika pintu kantor Mr. Wilis terbuka.
“Halo Dow,” sapa Mr. Wilis seraya menjabat tangan Dow dan satu tangan yang lain meraih tas kerja untuk diletakkan di meja. “Maaf membuatmu menunggu lama. Rapat hampir selalu tidak bisa selesai tepat waktu.”
“Tidak masalah, saya yang minta maaf karena membuat jadwal tiba-tiba,” Dow menyambut jabat tangan Mr. Willis.
“Oh, tidak, tidak. semua teman Chloe sudah kuanggap anak sendiri. Oh ya, kudengar Ed masuk rumah sakit, beliau baik-baik saja?” Mr. Willis menanyakan kabar Dad.
“Saat ini masih menjalani tes, serangan jantung.”
“Ah. I’m sorry. Semoga dokter melakukan yang terbaik.”
“Terima kasih Mr.—“
“Collin, panggil saja Collin, tidak perlu terlalu formal.”
“Baiklah, terima kasih Collin.”
“Baiklah, kita mulai saja. Jadi nanti kau bisa segera kembali ke rumah sakit,” Collin mengangguk, menyorongkan beberapa folder dan buku ke samping, membuat ruang di mejanya lalu duduk di kursi bersandaran tinggi di seberang meja.
Dow membuka ritsleting tasnya, mengeluarkan amplop berisi draf kontrak. Ia menyerahkannya ke Collin yang langsung menyelipkan kacamatanya, lalu mulai membolak-balik dokumen.
Dow menunggu dalam diam. Tapi pikirannya tidak diam, ada banyak kemungkinan yang berputar di kepalanya.
“Hmm,” gumam Collin, jari telunjuknya menelusuri salah satu halaman, lalu mengambil pulpen, mencatat di kertas kecil. “Kontrak standar. Tiga tahun pertama, dengan kemungkinan perpanjangan dua tahun berikutnya. Ada klausul eksklusif, artinya semua aktivitas publik harus melalui persetujuan manajemen.”
Dow mengangguk pelan. Itu sudah ia baca, meski tidak seluruhnya ia pahami.
“Bagian training cukup ketat. Minimum enam hari seminggu. Besar kemungkinan kau harus pindah ke LA.”
Dow menelan ludah. Bagian itu sempat membuatnya menutup dokumen, dan menyembunyikannya di bawah tumpukan selimut.
“Bagaimana dengan klausul pendidikan?” tanya Dow. “Apakah memungkinka kalau saya tetap melanjutkan kuliah, katakanlah—di kedokteran hewan, sambil menjalani kontrak ini?”
Collin mendongak. “Kuliah penuh waktu?”
Dow mengangguk.
“Well, itu pertanyaan penting,” Collin meletakkan pulpen. “Sebagian besar perusahaan manajemen seperti 3CG menginginkan fokus penuh dari artis mereka, terutama trainee baru. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Beberapa artis juga kuliah. Tapi kebanyakan ambil kelas malam atau program online.”
“Saya tidak yakin jurusan kedokteran hewan bisa dilakukan secara online,” Dow mengernyit.
“Benar,” Collin mengambil dokumen lain dari bawah meja. “Kau tahu, Dow. Di dunia hukum, kami punya prinsip: segala sesuatu bisa dinegosiasikan, selama kau tahu batasan mana yang tidak bisa ditawar. Jadi, kalau kau ingin kuliah sambil menjalani kontrak, kita harus pastikan dua hal: pertama, kau punya alasan yang kuat. Kedua, kau harus punya rencana realistis.”
Dow diam. Ia sudah mencoba menyusun kalimat itu sejak semalam. Tapi sekarang, duduk di hadapan pengacara sungguhan, semuanya terasa kabur.
“Sejak kecil saya ingin jadi dokter hewan,” aku Dow. “Hal ini pula yang membuatku tidak tertarik ikut audisi. Tapi sayangnya keberuntungan berkata lain.”
Dow menceritakan bagaimana Dad memberikan video tari lamanya kepada Lucas. Dia juga memberitahukan bahwa Ed Han mengaudisinya langsung di sekolah sebelum memberikan kontrak sebagai artis solo.
“Kau punya lebih banyak argumen daripada kebanyakan klien yang datang padaku. Itu langkah awal yang bagus,” Collin mengamati Dow sebentar, lalu tersenyum.
Dow tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya sejak masuk, dia merasa sedikit lebih ringan.
“Aku siap kompromi,” lanjut Dow. “Aku nggak keberatan menunda kuliah setahun. Atau ambilnya secara bertahap. Tapi aku ingin jalan itu tetap terbuka. Bukan ditutup sepenuhnya begitu aku tanda tangan kontrak.”
Collin membuka lembar baru, menulis beberapa catatan, lalu bicara sambil menulis. “Yang akan kulakukan sekarang adalah menyusun memo negosiasi. Kita akan ajukan permintaan agar kau diizinkan tetap mendaftar kuliah, dengan syarat jadwalmu memungkinkan. Kita juga bisa minta klausul khusus: bahwa setelah satu tahun masa pelatihan, ada evaluasi, dan jika kau lolos debut, maka perjanjian akan dikaji ulang untuk menyisipkan fleksibilitas studi.”
“Apa mereka mungkin menerima syarat seperti itu?” Dow mengangguk perlahan.
“Tergantung. Kalau mereka benar-benar menginginkanmu, mereka akan pertimbangkan. Tapi ingat, semakin besar posisi tawarmu, semakin besar peluang negosiasi. Jadi, pastikan kau tahu apa nilai yang kau bawa ke meja ini,” Collin mengangkat bahu.
“Aku nggak ingin mengecewakan siapa pun. Tapi aku juga nggak ingin kehilangan siapa diriku sebenarnya,” Dow menyandarkan punggung ke kursi, napasnya sedikit lebih berat.
“Justru itu kenapa aku rasa kau harus bertahan pada rencana ini. Kau bukan hanya seorang penari bagus, Dow. Kau punya arah. Kau tahu apa yang kau perjuangkan,” Collin menyelipkan kontrak kembali ke dalam map.
Dow menunduk. Mendadak ia teringat malam ketika Oi diam-diam menggambar sketsanya saat latihan. Atau ketika Will bilang dia menari bukan untuk jadi terkenal, tapi karena ia ingin menyampaikan sesuatu. Dow nggak ingin kehilangan hal itu, bahkan kalau seluruh dunia bersorak namanya.
“Kalau kita ajukan klausul tambahan itu,” tanya Dow. “Bagaimana kalau mereka menolak?”
Collin menatap Dow, lama.
“Maka kau harus memutuskan: apakah mengejar impian yang satu, berarti menunda yang lain. Atau mengorbankannya.”
Dow diam. Tangannya bermain-main dengan ujung tas. Di luar jendela, awan mendung mulai merayap, tapi di dalam, pikirannya lebih berputar dari cuaca mana pun.
“Bolehkah aku berpikir beberapa hari lagi sebelum tanda tangan?” tanya Dow.
“Tentu saja,” Collin menepuk map yang kini sudah tersusun rapi. “Kau tidak sedang mengambil keputusan sepele, Dow. Tidak semua anak seusiamu punya keberanian untuk menunda sorotan demi hal yang lebih sunyi. Kau boleh mengambil waktu.”
Dow berdiri, menjabat tangan Collin.
“Terima kasih banyak. Bukan hanya karena bantuannya, tapi karena tidak menyuruhku memilih dengan cepat.”
“Kadang jalan terbaik bukan yang tercepat. Tapi yang paling jujur,” Collin tersenyum.
Meninggalkan kantor Collin Willis, Dow menyadari satu hal, ini bukan keputusan final. Bukan titik akhir. Tapi semacam garis awal baru. Mungkin, jika ia cukup berani menegosiasikan masa depannya maka ia juga cukup berani memperjuangkan dua hal yang ia cintai. Tarian, dan hewan.
Satu kemungkinan lagi, jika ia cukup sabar untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan Oi juga akan tetap menunggunya di sisi jalan, seperti biasa. Dengan satu sendok es krim di tangan.
Dan senyum yang tak pernah memaksa.