Loading...
Logo TinLit
Read Story - Je te Vois
MENU
About Us  

Hills High School Festival

 

“Solo dance bersiap!” teriak staf panggung.

Seseorang dengan walkie talkie dan clipboard di tangan melambai dengan tidak sabar ke arah Oi. Membuat gadis itu mendorong Will dan Dow menuju tempat bertanda X di belakang si staf panggung.

Will yang memakai kostum lebih sederhana—hanya celana jins hitam dan kaos dengan motif robek-robek—sudah siap, tanpa perlu Oi memeriksa segala detil kostum panggungnya. Will bahkan masih punya waktu untuk membantu Dow mengurai kabel in-ear monitor-nya yang kusut. Ia baru berhenti ketika staf panggung mulai menghitung mundur waktunya untuk tampil.

Sepeninggal Will, Dow masih berkutat dengan kabel in-ear monitor yang belum benar, sebuah ear-plug berhasil dimasukkan ke telinga, tapi ternyata yang satu masih membelit rumbai di punggung Dow. Belum lagi Oi yang sibuk mengikat rumbai-rumbai di baju Dow untuk memberinya efek pita yang melambai mengikuti gerak tubuhnya.

 “Dua menit lagi,” kata Oi seraya mengikat rumbai terakhir di lengan bawah Dow.

“Bantu ini,” ujar Dow seraya memberikan ear-plug lain yang terbelit rumbai bajunya.

“Mungkin sebaiknya aku membuat kostum yang lebih sederhana saja. Seperti punya Will, tinggal merobek-robek acak, sudah jadi, tidak merepotkan seperti ini,” ujar Oi.

“Oh, nggak, aku suka rumbai-rumbai atau ruffle. Aku suka efeknya ketika menari. Aku berpikir ini akan menjadi ciri khasku,” Dow nyengir lebar.

“Dow siap?” tanya si staf panggung. 

Dow mengangguk.

Si staf menunjuk tanda X dan mengisyaratkan Dow untuk berdiri di sana.

Sebentar lagi pertunjukan Will akan selesai.

Lampu padam.

Akhirnya …. 

Segera setelah Will menyelesaikan solo-nya, giliran Dow yang tampil.

Si staf panggung menghitung mundur, Dow keluar panggung begitu staf berteriak go!

Festival sekolah adalah kegiatan tahunan Hills High dengan beragam acara. Dari bazaar, drama hingga konser, seperti hari ini. Untuk penontonnya sendiri, selain undangan seluruh orang tua dan siswa, juga masyarakat umum. Berbeda dengan drama, undangan hanya dikhususkan untuk kedua orang tua para aktor. 

Namun ada yang berbeda dengan konser hari ini. Selain menjadi ajang pemberian beragam hadiah dari kompetisi-kompetisi yang diadakan selama satu minggu festival, malam ini ada pertunjukan spesial dari seluruh anggota tim tari yang lolos audisi 3 CG Ent.  

Di kursi VVIP duduk Ed Han bersama beberapa staf 3 CG Ent yang lain, termasuk Lucas Scott dan Mr. York. Keduanya terlihat puas dengan penampilan para trainee baru 3 CG Ent. Apakah pertunjukan itu saja cukup? Oh belum. Konser akan ditutup dengan penampilan solo dua master tari sekolah, Will dan Dow.

Will membuat penonton terkesima dengan ciri khasnya, menari berdasarkan mood saat itu. Secara teknik, hampir tidak ada yang spesial dengan gerakan-gerakan yang ia suguhkan, tapi dengan fakta dia tidak melatih dirinya dengan musik yang baru ia dengarkan saat di panggung, itulah daya tarik utama seorang Will.

Lain Will lain pula Dow. 

Berkebalikan dengan Will, Dow tidak suka freestyle. Ia harus berlatih hingga dirinya merasa sempurna baru bersedia menampilkan tarian tersebut di atas panggung. Untuk malam ini, Dow menampilkan tarian hasil koreografinya sendiri. 

Ia berdiri di kegelapan, kostum panggung yang berbahan kain putih dan rumbai-rumabi yang terikat satu dengan lainnya menjadi sorotan utama. Musik dibuka dengan suara-suara bisikan mengiringi gerakan lambat meliuk. Ketika irama musik semakin lama semakin, Dow pun mengimbanginya dengan gerakan yang semakin cepat pula. Menggabungkan ballet, jazz dan hip hop, tarian Dow benar-benar membuat mata penonton tidak berkedip. Bahkan tidak jarang tanpa sadar mereka menahan napas.

Dow menutup solonya dengan pirouette yang membentuk lingkaran lalu menjatuhkan dirinya di tengah-tengah panggung bersamaan dengan lampu padam dan tirai ditutup.

Sontak penonton berdiri, dan bertepuk tangan.

Ed Han, dan Mr. York bertepuk tangan sambil berhadapan, Ed Han dengan wajah puas sedangkan raut muka Mr. York adalah raut muka bangga seorang guru.

Di kursi undangan, keluarga Watts dan Myers pun tidak kalah antusiasnya. Mom bahkan sampai menangis. Beliau tidak peduli walau diejek Dad dan Silas dan Indy.

Baru setelah tepuk tangan reda, lampu panggung dihidupkan dan tirai kembali dibuka, seluruh pengisi acara dipanggil naik ke panggung. Beberapa diantara mereka menerima buket bunga dari penonton. 

Yang panen buket tentu saja Dow dan Will.

Pemandangan di belakang panggung tidak kalah semrawut. Staf berlarian ke sana-kemari membantu para pengisi acara. Baru bisa bernapas lega ketika MC menutup acara dan mengucapkan salam perpisahan.

Kesibukan mereka berganti dengan membantu aktor-aktris, penari melepaskan kostum lalu merapikannya. Kelebihannya? Mereka tidak dikejar waktu tampil.

“Selamat!” seru Oi ketika melihat Dow menapak tangga terakhir.

Dow menjadi yang terakhir turun dari panggung dengan pelukan penuh buket bunga.

“Sini, aku bantu,” ujar Oi.

Tanpa menunggu jawaban dari Dow, gadis itu mengambil beberapa buket ditumpukan paling atas lalu memimpin Dow masuk ke ruang ganti, tidak lupa sembari meneriakkan permisi kepada siapapun yang menghalangi keduanya.

Phew!” seru Dow ketika akhirnya berhasil mencapai ruang ganti, menjatuhkan buket-buket bunga dipelukannya ke meja panjang. 

Di ujung meja, Will dan Chloe sibuk menata buket keduanya di keranjang entah mau dibawa pulang atau mau diapakan.

“Capek?” tanya Chloe. 

Gadis itu sudah melepas kostumnya, hanya memakai legging pendek dan tank top hitam, tapi make up dan tatanan rambutnya masih sama, hanya rambutnya terlihat berantakan.

Worth it,” Dow nyengir puas, yang diiyakan oleh Will.

Bagaimana tidak, Dow dan Will merupakan penampil yang mendapatkan aplaus paling meriah.

“Baiklah! Aku dan Chloe pulang dulu. Sampai jumpa besok!” seru Will. Keduanya bersisian membawa keranjang buket bunga keluar dari ruang ganti.

Sepeninggal Will dan Chloe, Dow, mulai melepas kostumnya, menggantinya dengan kaos. Sementara Oi menarik sebuah keranjang yang mirip punya Will dari bawah meja. Tapi sebelum Dow berkomentar apa-apa, pintu ruang ganti diketuk, Mr. York dan Ed Han masuk dengan senyum lebar.

“Luar biasa, luar biasa,” ujar Ed Han sambil menepuk-nepuk punggung Dow. “Kau hebat.”

“Terima kasih Ed,” Dow tersipu. “Oh, ini kenalkan, teman saya, Olivia Myers.”

“Ah, Olivia,” seru Ed Han menjabat Oi hangat. “Akhirnya aku bertemu denganmu. Sebentar, aku ingin kau bertemu seseorang,” Ed Han kembali keluar ruang ganti.

“Kalian berdua benar-benar hebat. Selamat,” kata Mr. York lalu menyusul Ed Han keluar.

Oi dan Dow saling pandang, tidak tahu harus bicara apa.

Ed Han kembali ke ruang ganti bersama seorang wanita yang cukup membuat Oi terintimidasi dengan kecantikannya. Model pakaiannya sederhana—cenderung biasa—tapi terkesan mahal. Wajahnya pun nyaris tanpa polesan make up, tapi mata Oi tidak bisa dibohongi, meski dirinya tidak pernah memakai make up, dia tahu tren saat ini, no make-up look.

All in all? Effortlessly beautiful.

“Perkenalkan, Louise Durant,” kata Ed Han memperkenalkan Oi pada Louise Durant. “ Olivia.”

“Senang bertemu denganmu Olivia,” Louise Durant mengulurkan jabat tangan pada Oi.

“Senag bertemu denganmu Ms. Durant.”

“Panggil saja Louise,” wanita itu tersenyum lebar.

“Louise adalah kepala departemen artistik 3 CG,” jelas Ed Han.  

Oi langsung berdiri tegak. Dow bisa melihat gadis itu menelan ludah pelan. 

“Kau yang membuat kostum Dow, kan?” tanya Louise.

“Semua kostum untuk festival saya yang mendesain, tapi memang iya, saya yang mendesain dan membuat kostum untuk Dow,” jelas Oi.

Louise menatap ke arah kostum putih rumbai-rumbai yang kini tergantung di kursi, lalu kembali pada Oi. 

“Aku suka pilihan tekstur dan siluetnya. Gerakannya responsif terhadap cahaya dan gerakan tubuh penari. Sangat teatrikal, tapi tetap modern. Siapa gurumu?” tanya Louise lagi.

“Untuk dasar menjahit dan mendesain, saya diajari oleh Gram, selebihnya saya belajar sendiri. Baru di sini ada guru dan teman-teman yang membantu saya,” aku Oi.

Wow, kau punya insting yang langka,” puji Louise takjub. 

Louise melirik Ed Han sejenak, lalu kembali pada Oi. 

“Kalau kau tidak keberatan, aku ingin mengundangmu juga ke LA. Bukan sebagai trainee penari, tentu. Tapi ada program mentorship desain yang sedang kami kembangkan. Aku pikir, akan sangat menarik jika kau bergabung dalam batch percobaan pertama,” tawar Louise.

“Saya ... saya boleh pikirkan dulu?” tanya Oi setelah ia menemukan suaranya kembali.

“Tentu saja,” Louise tersenyum lembut. “Asisten saya akan menghubungimu untukinformasi selengkapnya. Tapi dari apa yang kulihat hari ini, aku berharap kau bilang, ya.”

Oi mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya sepanjang hari, Dow melihat pipi sahabatnya itu memerah.

Setelah semua pembicaraan selesai, Dow dan Oi memilih untuk berjalan pulang. Jauh dari sorak sorai yang tadi mengisi aula konser, sekaligus meredakan adrenalin yang masih tinggi. Di atas mereka, langit malam tenang, angin membawa suara daun-daun yang bergesekan lembut. Keranjang buket di tangan Oi bergoyang pelan, dan sisa gemerlap glitter di baju Dow masih berkilau samar di bawah lampu taman.

“Kau tahu,” kata Dow, pelan. “Tarian tadi rasanya seperti … untuk pertama kali aku bisa bernapas lepas. Bukan karena audisi atau tepuk tangan, tapi karena kau, kita ada di sana.”

Cheeeeesy,” Oi tersenyum kecil, menunduk. 

“Mungkin,” Dow menoleh pada Oi. “Tapi aku serius.”

Oi tidak langsung membalas. Mereka berhenti di bawah pohon besar di perempatan dekat rumah. Di tempat itu mereka biasa duduk saat menunggu matahari tenggelam di musim-musim sebelumnya, saat semuanya masih sederhana. 

Tapi malam ini terasa berbeda.

“Kau tahu rasanya?” kata Oi akhirnya. “Seperti … kita berjalan bersama, lalu tiba-tiba sadar kita sudah sampai jauh sekali.”

“Tapi kita tetap bersama,” Dow tertawa.

Oi mengangguk.

Lalu diam, hanya cahaya kuning lampu jalan menyinari siluet mereka. Tak ada pengakuan terburu-buru, tak ada janji yang muluk. Hanya dua anak yang tahu, meski tujuan mereka berbeda, mereka saling menjadi tempat kembali. Dalam diam itu, mereka pun tahu, apa pun yang menunggu di depan, satu langkah pun takkan terasa terlalu berat, selama mereka melangkah bersama.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ti Amo
530      311     2     
Romance
“Je t’aime, Irish...” “Apa ini lelucon?” Irish Adena pertama kali bertemu dengan Mario Kenids di lapangan saat masa orientasi sekolah pada bulan Juli sekitar dua tahun yang lalu. Gadis itu menyukainya. Irish kembali bertemu dengan Mario di bulan Agustus tahun kemudian di sebuah lorong sekolah saat di mana mereka kembali mencari teman baru. Gadis itu masih menyukainya. Kenyataannya...
Imajinasi si Anak Tengah
1968      1139     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Renata Keyla
6702      1551     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2341      1078     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Slash of Life
8339      1763     2     
Action
Ken si preman insyaf, Dio si skeptis, dan Nadia "princess" terpaksa bergabung dalam satu kelompok karena program keakraban dari wali kelas mereka. Situasi tiba-tiba jadi runyam saat Ken diserang geng sepulang sekolah, kakak Dio pulang ke tanah air walau bukan musim liburan, dan nenek Nadia terjebak dalam insiden percobaan pembunuhan. Kebetulan? Sepertinya tidak.
I am Home
549      383     5     
Short Story
Akankah cinta sejati menemukan jalan pulangnya?
Janjiku
607      434     3     
Short Story
Tentang cinta dan benci. Aku terus maju, tak akan mundur, apalagi berbalik. Terima kasih telah membenciku. Hari ini terbayarkan, janjiku.
Stuck On You
325      261     0     
Romance
Romance-Teen Fiction Kisah seorang Gadis remaja bernama Adhara atau Yang biasa di panggil Dhara yang harus menerima sakitnya patah hati saat sang kekasih Alvian Memutuskan hubungannya yang sudah berjalan hampir 2 tahun dengan alasan yang sangat Konyol. Namun seiring berjalannya waktu,Adhara perlahan-lahan mulai menghapus nama Alvian dari hatinya walaupun itu susah karena Alvian sudah memb...
Photograph
1639      784     1     
Romance
Ada banyak hal yang bisa terjadi di dunia dan bertemu Gio adalah salah satu hal yang tak pernah kuduga. Gio itu manusia menyenangkan sekaligus mengesalkan, sialnya rasa nyaman membuatku seperti pulang ketika berada di dekatnya. Hanya saja, jika tak ada yang benar-benar abadi, sampai kapan rasa itu akan tetap ada di hati?
Lantunan Ayat Cinta Azra
815      535     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...