“Oi?”
Oi mendongak, untuk sejenak mengalihkan perhatiannya dari buku yang tengah dibacanya ketika mendengar namanya dipanggil. Ternyata Chloe sudah berdiri di depan mejanya dengan raut muka tidak yakin. Entah karena apa.
“Hai Chloe, ada yang bisa kubantu?” tanya Oi.
“Maaf menganggumu membaca, aku … sedang mencari Dow, kau tahu di mana dia? Hari ini dia bolos.”
“Oh, iya,” Oi menutup bukunya, perhatiannya kini terfokus pada Chloe. “Hari ini Dow tidak masuk, Daddy-nya masuk rumah sakit.”
“Oh?” kedua mata Chloe melebar terkejut. “Apa beliau baik-baik saja? Maaf aku tidak tahu.”
“Aku juga baru tahu tadi pagi, kok. Aku juga tidak tahu apa Ed baik-baik saja. Dow hanya bilang Ed pingsan di galeri dan stafnya yang memanggilkan ambulans. Ada yang bisa kubantu?” Untuk sesaat Oi melihat keragu-raguan di wajah Chloe, jadi dia menyarankan sesuatu. “Atau kau ingin menemui Dow di rumah sakit?”
“Um … sebenarnya aku hanya ingin menyampaikan pesan dari Dad,” kata Chloe.
“Ah, mungkin kau bisa coba telepon dia?” saran Oi.
“Betul juga! Baiklah aku pergi dulu. Terima kasih Oi!”
“Tidak masalah. Nanti kalau aku ke rumah sakit akan kusuruh dia menghubungimu,” kata Oi lagi.
“Okay, thanks again. See ya.”
Oi hanya melambaikan tangan karena Chloe sudah berlari menjauh. Sementara itu dia masih menimbang, apa sebaiknya kabur dari sekolah sekarang, atau menunggu hingga jam pulang. Karena sebagai salah satu panitia festival sekolah, dirinya punya waktu yang lebih fleksibel, yang berarti dirinya bisa pulang lebih cepat, tanpa harus minta izin yang rumit.
Gadis itu mengetuk buku yang tengah ia baca, menimbang, menimbang ….
Akhirnya Oi memutuskan untuk memasukkan buku-bukunya, dan meninggalkan kantin sekolah.
Dua puluh menit kemudian, Oi sampai di ujung koridor panjang yang tidak cukup ramai di sebut koridor rumah sakit. Koridor yang ini sangat berbeda dengan koridor sewaktu Gram di rawat di sini beberapa waktu yang lalu. Oi berniat untuk bertanya pada suster apakah dirinya beradda di tempat yang benar, ketika melihat seseorang di ujung koridor.
Dow.
Sontak Oi melambaikan dua tangannya tinggi-tinggi. Dow menatapnya dengan kening berkerut dalam. Tanpa buang waktu, Oi mempercepat langkah, kedua matanya pun berbinar gembira.
“Kau bolos?” tanya Dow begitu Oi sampai di depannya.
“Nope, izin,” jawab Oi berseri-seri. Seolah mendapat izin meninggalkan sekolah lebih awal merupakan hadiah yang luar biasa.
“Kita turun,” ajak Dow.
“Eh?”
“Di sini kita harus tenang, kau lihat, kan?” Dow meraih tas punggung Oi untuk diselempangkan ke bahunya sendiri.
“Sudah waktunya kau meninggalkan banyak bukumu di rumah atau di loker,” gerutu Dow. “Pantas kau nggak tinggi.”
“Heh!” sontak Oi membekap mulutnya sendiri, lalu mendesis. “Aku nggak menyuruhmu membawakan tasku!”
Mengabaikan Oi yang kesal, Dow meraih tangan gadis itu dan menggandengnya ke lift terdekat.
“Kita ke mana?” tanya Oi begitu mereka berda di lift turun.
“Ada taman di lantai tiga.”
“Tapi aku ke sini untuk menjenguk kalian, bukan untuk ke taman rumah sakit,” protes Oi.
“Percayalah kau akan diusir kalau tetap berada di sana.”
Belum sempat Oi mengajukan keberatan yang lain, lift berhenti di lantai tiga, lagi-lagi, Dow meraih tangan Oi, dan membawanya keluar. Cowok itu mencari meja kosong yang teduh, sebelum akhirnya memilih meja di belakang yang berada di bawah pohon. Cukup teduh untuk mereka duduk.
“Di mana Eliza?” tanya Oi begitu mereka duduk, dan ia membuka tas punggungnya, mengeluarkan kantong kertas In-N-Out. “Aku membelikan makan siang untuk kalian berdua.”
“Mom sedang bicara dengan dokter,” ujar Dow seraya membuka lipatan tas kertas, mencomot sebungkus burger dan menggigitnya dengan sebuah gigitan besar. “Setelah itu pulang. Sebenarnya aku tadi akan pulang.”
“Kau nggak ikut?” tanya Oi. Ia membuka bungkusan burgernya sendiri.
“Ke mana?”
“Bicara dengan dokter.”
“Nah, mereka yang menyuruhku pulang, lagipulang aku nggak banyak membantu. Aku bahkan nggak mengerti apa yang mereka bicarakan,” aku Dow.
“Ah I see,” Oi mengangguk-angguk. “Lalu, bagaimana keadaan Ed?’
Dow mengangkat bahu, sambil terus mengunyah.
“Tadi dokter bilang kondisinya serius tapi nggak kritis. Hasil EKG terlihat bagus. Tes darah gelombang pertama mengatakan bahwa level enzimnya normal. Tapi masih ada rangkaian tes lagi untuk memastikan.”
“Tes darahnya bergelobang-gelombang?” tanya Oi heran.
“Nah, aku hanya mengutip ucapan dokter, kubilang, kan, aku nggak ngerti apa yang mereka bicarakan.”
“Tapi apa hasil tes langsung bisa dilihat?” tanya Oi lagi.
“Soal itu aku nggak tahu,” Dow menggigit potongan terakhir burger-nya, lalu menambahkan. “Kau tahu, aku tadi mencari tahu soal serangan jantung, ada berjenis-jenis. Penyebabnya pun ada banyak, tapi tidak satupun sepertinya cocok dengan kondisi Dad, oh!” Dow memotong ucapannya sendiri ketika teringat sesuatu. “Mungkin kolesterol tinggi penyebabnya.”
Oi menepuk lutut Dow pelan.
“Kita bisa tanya dokter soal itu. Lebih baik mendapat jawaban yang pasti dan bisa dipertanggung jawabkan daripada menduga-duga.”
“Kalau begini otakmu benar,” kata Dow asal.
Oi terkekeh. “Omong-omong, aku mau melaporkan. Sans dan Teri saat ini sedang bersama Gram,” Oi menunjukkan foto kedua anjing tersebut di teras belakang Gram. “Tadi Mom mengantar mereka ke sana.”
“Huh? Kenapa tadi Indy tidak bilang?”
“Eh? Mom kemari?”
“Hanya sebentar,” Dow mengangguk. “Menjenguk Mom.
“Mungkin setelah mengantar Sans dan Teri, lalu mampir kemari,” tebak Oi.
Dow mengangkat bahu.
“Baiklah, laporan kedua, Chloe tadi mencarimu. Dia sudah menghubungimu?” tanya Oi.
Dow merogoh saku ponselnya dan menunjukkan pesan Chloe bersamaan ia meneguk habis air putih di tumbler Oi.
Chloe:
Dad bilang hari ini setelah makan siang beliau ada waktu untuk bertemu denganmu di kantornya. Kalau kau bisa, kau ditunggu Dad.
Oi melihat jam tangan mungilnya. “Bukankah sekarang mendekati jam makan siang? Kau akan pergi ke sana?”
“Mungkin kau bisa pergi sebelum pulang ke rumah?” saran Oi.
Dow tidak menjawab, hanya dari bahasa tubuhnya ia sedang memikirkan saran Oi. Mr. Wilis memintanya bertemu di kantor memang sesuatu yang luar biasa. Mungkin Chloe sudah menyebutkan keinginannya untuk berdiskusi secara pribadi.
“Ayolah, kau ikut juga,” ajak Dow.
“Eeh, kenapa aku harus ikut?”
“Kau mau di sini sendirian?” tanya Dow. “Karena seperti yang kubilang, Mom akan pulang juga setelah bicara dengan dokter.”
Oi melihat sekeliling, tapi tidak tahu mencari apa.
“Aku bawa mobil,” kata Dow lagi.
“Tapi kau akan ke kantor pengacara, aku nggak yakin aku boleh iku masuk denganmu,” Oi beralasan.
Meskipun ia yakin alasannya valid. Sedekat apapun dirinya dengan Dow, tidak mungkin dirinya diizinkan ikut masuk seperti mereka bertemu Mr. York, atau guru-guru mereka di sekolah.
“Kau bisa menunggu di mobil, atau di ruang tunggu. Aku yakin kantor mereka punya ruang tunggu.”
Ah benar juga.
“Oke.”