Dow melakukan satu putaran terakhir sebelum dia kolaps di lantai studio. Napasnya hampir putus, kaos tanpa lengannya lengket dengan keringat, tapi ada kepuasan tersendiri ketika menghabiskan seluruh energinya seperti ini. Setidaknya, ketika tubuhnya kelelahan, otaknya tidak akan berpikir yang macam-macam yang lebih penting lagi adalah, menyalurkan kemarahannya menjadi energi positif, begitulah nasehat Ven. Thubten Chodron di bukunya Working with Anger.
Sebenarnya Dow bukan tipe pemarah, dia lebih ke tipe pendendam. Ketika seseorang membuatnya marah, butuh waktu lama bagi Dow untuk memaafkan orang tersebut. Sifat buruknya itu juga membuatnya repot dalam bergaul, terutama ketika kanak-kanak. Di saat dirinya masih belum bisa memaafkan teman-teman yang mengganggunya, mereka seolah sudah lupa telah membuat Dow sakit hati, lalu dengan enteng kembali mengajak Dow bermain. Suatu kali, guru konselingnya saat SD mengatakan jika menyimpan dendam itu tidak baik, selain menjadi penyakit hati—saat itu Dow bahkan tidak paham apa maksudnya—menyimpan dendam juga bisa menghalanginya dalam berteman.
Butuh waktu lama dan konseling yang cukup intense untuk bisa mengurangi kebiasaan buruknya menyimpan dendam. Kini, hal pertama yang dilakukan Dow ketika dirinya marah adalah membuat tubuhnya lelah. Entah dengan berolah raga atau menari, walaupun menari hampir selalu menjadi pilihan pertamanya.
Menguras tenaga memang tidak menyelesaikan masalah, tapi setidaknya, dengan membuat tubuhnya lelah, ia bisa tidur dengan mudah, atau seperti itulah harapannya, lalu ia akan bangun dengan pikiran dan tubuh yang segar. Selamat tinggal marah, halo otak yang jernih, dengan begitu ia bisa bicara dengan kepala dingin, dan tentu saja, selamat tinggal dendam.
Hal yang sama menjadi alasan Dow menguras seluruh tenaganya di studio tari saat ini. Setelah kabur dari makan malam lalu dipaksa makan es krim oleh Oi, sore ini Dow memutuskan jika lebih baik pingsan di studio daripada pulang ke rumah. Sebegitu burukkah? Bisa dibilang begitu. Dow masih enggan bertemu Dad, dan lebih enggan lagi membicarakan hasil audisi, sementara itu, koreografi untuk drama butuh disegerakan. Win win situation. Mencari alasan tanpa harus berbohong.
“Cukup mengherankan kau masih hidup.”
Sebuah handuk jatuh tepat di wajahnya. Dow membuka kedua matanya yang menutup tanpa ia sadari. Dirinya tidak benar-benar pingsan, kan? Tanpa merespon ucapan Oi, Dow meraih handuk lalu mengusap keringat di wajahnya, baru mendorong tubuhnya untuk duduk dan mengusap keringat di bahu dan punggungnya.
“Kau masih marah?” tanya Oi sambil mengulurkan botol air putih.
Lagi-lagi Dow tidak buka suara, hanya menerima botol tersebut, membuka tutupnya lalu meneguk isinya. Sejak pengakuan Dad di meja makan semalam, Dow memang enggan bicara, bukannya tidak berterima kasih dengan segala kerepotan yang Dad lakukan, tapi menyabotase keputusan yang telah ia ambil bukanlah sesuatu yang bisa Dow apresiasi dengan tangan terbuka.
He wasn’t an ungrateful brat, was he?
Mungkin di luar sana banyak anak-anak yang ingin punya Daddy seperti Dad, yang mau melakukan sesuatu demi putranya, atau mendukung anak-anaknya terjun dibidang seni, tapi bukan berarti dirinya harus menerima, dan melakukan apa yang Dad lakukan untuk menunjukkan rasa syukurnya, kan?
“Sebenarnya kau memang berhak marah, sih,” ujar Oi. Gadis itu duduk di samping Dow, berhati-hati untuk tidak duduk di lantai yang terkena keringat. “Aku pun pasti akan marah kalau mengalami sepertimu begitu. At least, a little head up would be appreciated.”
“Dari pembicaraan semalam, sebenarnya ada niat Dad untuk memberitahuku soal itu, tapi beliau lupa,” Dow menghembuskan napas keras-keras. “Selain arkeolog, kau ingin menjadi apa?”
“Eh?” Oi berkedip-kedip bingung ketika mendengar pertanyaan Dow yang di luar konteks pembicaraan.
Dow hanya mengangkat satu alisnya seraya menghabiskan air di tangannya lalu berdiri ke ruang penyimpanan alat untuk mengambil kain pel untuk mengepel sisa-sisa keringat yang di lantai.
“Kenapa bertanya begitu? Kita, kan, sedang membicarakan dirimu?” tanya Oi.
“Nah, nggak ada aturan yang menyatakan aku nggak boleh menanyakan sesuatu padamu, kan?”
“Ya … Memang nggak ada aturannya, tapi—”
“Tapi apa?” potong Dow.
“Kurasa kami nggak pernah membahas hal semacam ini. Kau tahu aku tertarik dengan sejarah sejak aku bisa membaca. Menjadi profesor di bidang sejarah peradaban manusia rasanya sangat bergengsi,” Oi mengedikkan bahu.
Betul juga. Ia tidak ingat kapan Oi mulai suka membaca bacaan horor. Itu juga yang membuatnya nyaris tidak pernah meminjam buku Oi kecuali yang berhubungan dengan pelajaran sekolah. Masalahnya adalah, arkeolog jelas sebuah pekerjaan yang mentereng, baik dari segi pekerjaannya sendiri maupun jenjang pendidikan.
Tipe pekerjaan idaman orangtua.
Tentu saja kedua orang tua Oi dengan senang hati mengizinkan putri tunggalnya menjadi arkeolog. Siapa yang tidak bangga ketika nama putrinya dimuat di situs jurnal ilmiah atau National Geographic karena menjadi pemimpin penggalian suatu situs purbakala.
And where did this leave him?
No idea.
Rasanya membicarakan pilihan karir dengan Oi tidak akan banyak membantu, diakui atau tidak, gadis itu tidak akan paham situasi yang dialaminya. Mungkin dia harus bicara dengan Tom. Sependek pengetahuannya, orang tua Tom tidak pernah setuju dirinya mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan seni menggerakkan tubuh yang diiringi oleh musik. Dow pernah tanpa sengaja menyaksikan pertengkaran mereka.
And … Let's say that wasn't pretty to hear.
Flick
Dow mengerjap ketika Oi menjentikkan jari di depan wajahnya.
“Darimana saja kau?” tanya Oi.
“Huh?” Ah ya, arkeolog. “Indy atau Silas nggak pernah menyarankanmu untuk memilih suatu karir begitu?”
“Kurasa Mom dan Dad oke saja dengan cita-citaku walaupun sering mengolok karena Indiana Jones,” Oi mengangkat bahu.
“Kalau itu aku setuju,” Dow terkekeh.
Oi melotot.
“Omong-omong, pernah nggak kau berpikir mengenai kebetulan nama Mommy-mu Indy, dan obsesimu terhadap Indiana Jones?”
Kedua mata Oi membulat sebulat-bulatnya begitu mendengar ucapan Dow.
“Holy friggin molly! Kenapa aku nggak pernah berpikir begitu sebelumnya?!” Oi seraya bangkit dari duduknya, lalu melompat-lompat penuh semangat, sebelum menjatuhkan dirinya kembali ke lantai, bersila di hadapan Dow, mencengkeram kedua lengan cowok itu. Kali ini Oi tidak peduli lantainya basah keringat atau tidak.
“Dow, apa mungkin ini pertanda?” Oi masih tidak bisa menyembunyikan kegirangannya.
“Oh, iya, pasti!” Belum sampai kilatan kegembiraan di kedua mata Oi berlanjut menjadi kenyataan, Dow pun menambahkan. “Pertanda kalau kau benar-benar terobsesi dengan si manusia sinting.”
“Heh! Indy tidak sinting! Indiana Jones, maksudku,” bela Oi.
Kini giliran Dow yang mengangkat bahu tidak peduli.
“Indy hanya sedikit terlalu ingin tahu dan ingin menemukan sesuatu yang menarik hatinya. Ia tidak bisa tidur dengan tenang kalau ada satu teka-teki yang belum terselesaikan. Tidak ada yang salah dengan itu, kan?”
“Pernah dengar pepatah curiosity kills the cat?"
“Kau ini seperti Gram!” Oi menghembuskan napas kesal.
Dow menatap Oi dengan pandangan bukan-salahku-jika-kami-punya-pola-pikir-yang-mirip.
“Gram menyuruhku menjadi penjahit daripada bekerja menjadi penggali kuburan orang lain. Gram nggak mau tahu jika kuburan yang digali tersebut sudah berusia ribuan tahun, atau penggalian tersebut bisa berguna bagi ilmu pengetahuan,” aku Oi.
“Nggak mengubah kenyataan jika kau adalah penggali kuburan. Lagipula, apa kau nggak merasa kasihan dengan mayat-mayat tersebut? Kenapa kau mengusik waktu istirahat mereka? Oh, dan satu lagi,” Dow mengangkat tangan kanannya yang masih menggenggam handuk untuk menolak interupsi dari Oi. “Aku setuju dengan Gram, bukan menjadi penjahit, tapi menjadi desainer fashion.”
Jika tadi rahang bawah Oi sudah dalam posisi mengkhawatirkan untuk jatuh ke lantai, ucapan terakhir Dow benar-benar membuat rahang bawahnya meluncur ke lantai kayu di bawahnya.
“Desainer fashion?”