Dow biasanya tidak keberatan makan sendirian. Ada sesuatu yang menenangkan dari suara gemerisik nampan, dengung mesin minuman, dan percakapan acak dari meja-meja lain yang tidak ditujukan padanya. Kantin sore itu setengah kosong, hanya beberapa siswa yang menunda pulang atau mengerjakan tugas sambil menyesap minuman.
Dia duduk di pojok, ‘di meja Oi’, menatap sisa Mac & Cheese. Garpunya berputar-putar dalam nampan tanpa niat sungguh-sungguh untuk makan. Pikirannya sibuk membolak-balik ulang adegan dari malam sebelumnya, seperti menonton film dengan cahaya terlalu terang dan suara terlalu pelan.
“Hey.”
Dow menoleh. Oi berdiri di sampingnya, rambut setengah diikat, membawa map biru penuh sticky notes warna-warni dan ekspresi antusias seperti biasanya.
“Aku sudah punya ide untuk kostummu!” serunya, meletakkan map di meja Dow dengan dramatis. “Kau harus lihat ini. Serius. Ini—”
“Aku tahu siapa yang ngirim profilku.”
Oi mengerjap. “Apa?”
“Dad,” Dow memindahkan sendok ke pinggir nampan.
“Ed?” Oi duduk perlahan, suara map tergeser sedikit.
“Bukan Dad yang mengirimkan secara langsung, tapi Dad yang memberi akses,” aku Dow.
“Um … kau harus menjelaskan lebih detail, karena ceritanya lompat-lompat,” kata Oi.
Kemudian Dow menceritakan ulang bagaimana suasana makan malam kemarin, termasuk bagaimana pendapat Dad mengenai pekerjaan yang stabil.
“Well,” Oi menghela napas dalam. “Mengenai pekerjaan, harus kuakui Ed benar, dan kau juga melihat kedua orang tuamu bukan tipe orang tua kebanyakan, seperti orang tuaku, contohnya. Tapi aku juga nggak bisa membenarkan tindakan Ed memberikan video-video lamamu ke juri begitu saja, meskipun si juri itu temannya. Apalagi kau pernah bicara mengenai hal ini dengan Ed. kalau begini, rasanya Ed mengkhianati kepercayaanmu.”
“That’s what I’m talking about!”
Rasanya menyenangkan ada seseorang yang mengerti perasaannya. Tapi, sejak kapan Oi tidak mengerti dirinya? Bahkan di saat orang lain tidak mengerti, Oi biasanya tetap menjadi satu-satunya orang yang bisa ia andalkan.
“Kenapa kau nggak bilang semalam?” tanya Oi.
“Semalam, jam berapa kau pulang?” Dow bertanya balik.
9:56 PM. Tentu Dow tahu jam berapa semalam Oi pulang.
Oi membuka mulut, lalu menutupnya lagi, sepertinya menyadari kalau tidak perlu dijawab pun, dirinya sudah tahu jawabannya.
“Dan hari ini?” Dow melanjutkan. “Kau sudah selesai dengan Thomas?”
“Pilihan katamu itu … ‘sudah selesai dengan Thomas?’” Oi terkekeh.
Dow mengedikkan bahu.
“Nggak biasanya memang bisa sesibuk ini, tapi kau harus tahu, kalau aku pasti bisa meluangkan waktu kalau kau butuh teman bicara,” kata Oi.
Oh, tentu Dow tahu, tapi seperti yang dibilang Oi, dirinya tidak terbiasa dengan Oi yang super sibuk tanpa dirinya, jadi ada saat-saat ia tidak tahu harus bagaimana.
“Sama. Aku juga sibuk memikirkan fakta bahwa biang kerok yang kucari seharian penuh, ternyata adalah Dad. aku masih belum percaya Dad melakukan ini padaku,” Dow menyandarkan punggung ke kursi.
Keduanya terdiam beberapa saat. Hanya suara kantin yang terus berdengung, seperti kipas yang tidak pernah mati. Oi menunduk menatap map-nya. Tangannya menekan-nekan pinggir kertas dengan gelisah.
“Aku cuma …,” gumam Oi, “Kupikir kita sudah membicarakan tentang ini. Maksudku, kalau kau tahu semalam, aku pikir kau akan kirim pesan, atau apalah.”
Dow tidak menjawab. Bukannya tidak mau. Tapi karena bagian dalam dirinya masih belum sepenuhnya selesai mencerna semuanya, dan seperti alasannya tadi, ada saat di mana ia tidak tahu harus bagaimana. Sepertinya kasus semalam termasuk dalam kategori tersebut.
“Baiklah,” Oi berdiri. “Kalau begitu, ayo ikut aku.”
Dow menatapnya curiga. “Ke mana?”
Oi sudah memeluk map-nya, melangkah pergi, lalu menoleh sebentar dan menjawab seolah itu sudah jelas:
“Frozen Scoope. Aku traktir.”
Dow masih menatap punggung Oi beberapa detik sebelum akhirnya ikut berdiri, menyelempangkan tas di bahu, lalu mengambil nampan makan siangnya yang masih tersisa. Dia hampir bisa mendengar gerutuan Lopez, dan nasehat tanpa akhir dari Nanny yang berjaga di kantin. Beruntung saat Dow membuang sisa Mac & Cheese, Lopez dan Nanny sedang bergosip, mereka berdua hanya melihat Dow menumpuk nampan di meja.
Dow dan Oi berjalan beriringan menuruni tangga gedung utama, menyusuri trotoar yang mulai sepi. Matahari sore membentuk siluet panjang, dan angin bertiup ringan, membawa bau rumput basah dari lapangan football.
“Ini bentuk permintaan maafku,” kata Oi setelah beberapa menit hening. “Karena aku terlalu sibuk sampai nggak tahu apa yang sedang terjadi padamu.”
Dow meliriknya. “Permintaan maafmu selalu dalam bentuk makanan.”
“Metode yang valid,” Oi mendongak dengan bangga.
Setibanya di Frozen Scoope, Oi menghadang Dow yang bersiap untuk membuka pintu kedai.
“Untuk kali ini, kau nggak diizinkan untuk memesan apapun yang mengandung vanila, atau rendah gula,” Oi memperingatkan.
“Aku nggak akan memesan yang ada gulanya,” tolak Dow.
“Ayolah, Dow, kau makan es krim bergula juga nggak akan membuatmu gemuk mendadak, atau lupa dengan tarianmu,” bujuk Oi.
Dow membuka mulut, berniat untuk mempertahankan tipe pesanan es krimnya, tapi kemudian memilih untuk mengangguk, mengiyakan, wallaupun nanti jadi punya PR untuk kembali ke studio.
“Yes!” Oi mengacungkan jempol, lalu mendorong pintu Frozen Scoope, sambil berteriak. “Ellia, kami datang!”
“Hai Oi, hai Dow!” Ellia yang menjaga konter tersenyum lebar. “Kau mau mencoba es krim Red Velvet Cheesecake?
“Oh menu baru?” kedua mata Oi membulat tertarik.
“Iya, sedang mencoba menu baru,” Ellia mengangguk.
“Kalau aku mencoba, nanti boleh aku dapat cup kecil juga?” tawar Oi.
Dow sudah bersiap untuk menyikut Oi yang tidak tahu malu menawar Ellia, ketika wanita itu malah terlihat gembira, alih-alih kesal karena Oi meminta macam-macam.
“Tidak masalah!” Ellia menjentikkan jari, lalu bertanya pada Dow. “Kau juga?”
“Ah, tidak. Aku pesan Greek Yogurt Gelato saja,” jawab Dow.
“Dia sedang diet,” Oi menutup mulutnya dengan telapak tangan, ‘berbisik’ pada Ellia.
“Tidak masalah, tidak masalah,” Ellia tergelak, sambil menyiapkan pesanan Dow dan Oi.
Tidak lama kemudian keduanya duduk di meja dekat jendela seperti biasa. Sinar matahari sore menari di permukaan meja. Oi mencicipi es krimnya dan langsung mendesah seperti biasa, beruntung pengunjung Frozen Scoope hanya mereka berdua.
“Ini enak sekali, sepertinya aku akan menangis,” komentarnya, lalu berteriak pada Ellia yang masih berjaga di konter. “Setelah ini habis, aku tambah lagi, ya!”
“Boleh!” Ellia berteriak balik.
“Kau tahu,” ujar Dow setelah mencicipi gelato miliknya. “Aku butuh kembali ke studio tiga puluh menit lebih lama gara-gara ini.”
“Spoil sport,” cebik Oi.
Untuk sesaat, Oi sibuk dengan piring es krimnya, dan Dow pun bertanya-tanya, bukankah tujuan Oi membaawanya kemari untuk menghiburnya? Jadi, apakah melihat Oi makan es krim dengan rakus sudah termasuk penghiburan baginya?
“Jadi kenapa kemari?” Dow tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Makan es krim.”
Lagi-lagi, Dow hanya tersenyum pada dirinya sendiri sambil menikmati es krimnya pelan-pelan. Seharusnya ia tahu seperti apa jawaban Oi.
“Tadi kukira ada yang berkata es krim ini sebagai permintaan maaf.”
Oi mengangguk-angguk. “Memang.”
“Jadi hanya begitu?”
Kali ini Oi mengangkat alis, ekspresinya seperti benar-benar bingung.
“Kan aku sudah traktir,” Oi menunjuk mangkok gelato milik Dow.
Dow menatap Oi beberapa saat, sebelum akhirnya berkata pelan, “Nikmati saja es krimmu, kalau kau akan tambah, biar aku yang bayar.”
“Kau yakin?” tanya Oi. Mulutnya masih sedikit terbuka, sendok di tangan menggantung di udara. Lalu, pelan-pelan, ia menurunkan sendoknya dan tersenyum kecil. “I love that!”
Dow menatap es krimnya, memutarnya sedikit di mangkok es krim. Dirinya menimbang-nimbang bagaimana caranya ia mengungkapkan suasana hatinya. Tentu dirina masih kesal dengan campur tangan Dad, tapi di sisi lain—
“Kau tahu, kan, kalau aku nggak omong kosong kalau kubilang aku di sini kapanpun. Karena aku ada di sini sejak awal. Saat kau nggak mau ikut audisi, atau saat kau bingung dengan koreo,” kata Oi berapi-api.
Dow mengangkat pandangannya. Mata Oi menatapnya serius.
“Jadi aku mau tahu, bukan karena penasaran,” imbuh Oi. “Tapi karena aku peduli.”
Dow menelan ludah. Kalimat itu menghantam lebih keras dari yang ia kira. Di depan matanya sekarang, Oi duduk, tanpa paksaan, tanpa agenda tersembunyi, hanya ingin mengobati sedikit rasa kecewa dengan es krim dan kehadirannya.
Dow menghela napas panjang.
“Sekarang, kita nikmati es krimnya,” Oi mengambil sendoknya, menunjuk-nunjuk ke arah Dow. “Dan aku akan minta tambah, kau yang bayar?”
Dow tergelak, mencabut kartu kredit untuk diberikan pada Oi, yang langsung disambut gembira oleh gadis itu. Ia menatap Oi yang berjalan riang ke konter, meminta satu porsi es krim Red Velvet Cheesecake baru, tidak lupa memuji es krim tersebut setinggi lagi. Tidak diragukan lagi, pujiannya itu menjadi salah satu cara Oi untuk mendapatkan es krim ekstra. Dasar!
Satu lagi, Oi benar, sekarang saatnya menikmati es krim, masalah yang lain? Masih ada hari esok.