Oi masih bisa menerima banyak hal dalam hidupnya. Misalnya, Chloe yang suka makan mi instan mentah, Thomas yang memanggil dirinya The Tom-inator, atau bahkan fakta bahwa Will selalu membawa sisir ke mana pun dia pergi. Tapi satu hal yang tidak bisa ia terima adalah—
Tuduhan tanpa dasar.
“Sebagai kompensasi atas tuduhanmu, kau harus membelikanku es krim.”
“Eh?” Dow berhenti mengacak-acak rambut, lalu menatap Oi keheranan. “Mana bisa begitu?”
“Kenapa nggak? Salah sendiri asal tuduh!” Oi berdiri membusungkan dada, dan kedua tangan terlipat.
“Karena hanya kau yang punya motif kuat!” Dow membela diri.
“Dowell Zachary Watts, dengar baik-baik ya,” ujar Oi dengan nada mengancam, jari telunjuknya mengarah ke wajah Dow. “Aku. Nggak. Mengirim. Profilmu.”
Dow menatapnya sebentar, lalu mengangkat kedua tangan di atas kepala. “Oke, oke.”
Oi masih menatap Dow tajam.
Menghela napas dalam, Dow membungkuk. “I’m sorry, really am.”
“Itu baru benar,” kedua mata Oi berbinar gembira. “Jadi sekarang kita berangkat?”
“Ke mana?”
“Es krim, Dow!” Oi kembali gusar.
“Aku nggak bilang kita akan beli es krim?”
Spontan Oi melempar plastik tisu yang dengan mudah ditangkap Dow.
“Harusnya kau berterima kasih, aku hanya minta es krim sebagai kompensasi moral. Tuduhanmu sangat melukai hatiku, Dow!”
Dow menatap Oi tidak berkedip. Mungkin berpikir apa yang sedang merasuki gadis itu, karena sebenarnya Oi pun memikirkan hal yang sama. Hanya saja, pertengkaran ini terlalu asyik untuk dihentikan, jadi Oi mengikuti ke mana alur tanpa banyak berpikir. Dan kalau ia benar-benar mendapat es krim gratis, kan, lumayan. Dua scoop ditambah topping, sepertinya cukup.
“Baiklah,” akhirnya Dow menyerah. Menuruti kemauan Oi. “Tapi aku harus kembali ke kelas dulu.”
“Kau belum pulang?”
Dow mengedikkan bahu. “Kurasa aku bisa pulang duluan, Mrs. Harrison nggak keberatan kalau aku pulang duluan, lagipula guru pengganti juga nggak ada.”
“Oke, aku tunggu di depan,” Oi menunjuk bangku di bawah pohon palem di depan perpustakaan.
“Satu hal,” kata Dow sebelum berbalik kembali ke kelasnya.
“Apa?”
“Aku yang pilih tempatnya.”
Oi mencebik, gadis itu sudah tahu tempat mana yang akan dipilih Dow. “Frozen Scoope.”
Dow tertawa.
Siang itu, mereka berjalan menyusuri trotoar menuju kedai es krim Frozen Scoope. Oi berjalan sedikit di depan, sesekali berputar sambil menyanyikan lagu random yang tidak dikenali Dow.
Dow menyelipkan tangan ke saku celananya, menyamakan langkah. “Jadi, kau benar-benar yakin bukan kau yang mengirim profilku?”
Oi menghentikan langkah, menoleh dengan tatapan menyala. “Dow.”
“Ya?”
“Aku bersumpah demi Summer Anthem, aku nggak mengirim profilmu. Kalau aku bohong, semoga aku nggak bisa nonton musim panas nanti.”
Dow mengangguk pelan. Itu sumpah yang cukup serius bagi Oi, karena dirinya sudah mendapat satu jatah tiket untuk menemani Oi nonton konser Goo Goo Dolls.
“Lagipula, aku juga nggak mungkin menyusun profil tanpa sepengetahuanmu, foto-foto yang mereka minta bukan foto candid yang ada di ponselku,” tambah Oi. “Satu lagi, aku bukan penguntit.”
Dow mendesah. “Kupikir begitu. Tapi rasanya aneh kalau bukan kau.”
Oi diam beberapa saat, respons pertamanya defensif, tapi ia berhasil menahan diri. Alih-alih membela diri, atau marah, Oi memikirkan kemungkinan siapa yang menginisiasi huru-hara ini.
“Bisa jadi seseorang yang melihat kau latihan dengan Will.”
“Teorimu jauh lebih sulit dilakukan diabandingkan denganmu atau anak-anak, atau Mr. York,” Dow menggelengkan kepala.
“Mr. York? Kau berpikir beliau yang mengirimkan profilmu?” kedua mata Oi membulat kaget.
“Possibilities,” Dow mengedikkan bahu.
“Lihat? Ini yang kusebut: berpikir dua kali sebelum menuduh orang baik sepertiku,”Oi tersenyum puas.
“Orang baik nggak melempar tisu ke temannya,” Dow menatapnya datar.
“Itu bagian dari pesona,” Oi nyengir. “Aku suka kalau mereka nggak ramai.”
Dow membuka pintu Frozen Scoope, membiarkan Oi masuk lebih dulu.
“Thanks,” gumam Oi.
Di konter, Oi memilih Chocolate Banana Split sedangkan Dow hanya memesan Plain Vanilla tanpa gula. Oi memilih duduk di meja dekat jendela. Ia mencicipi sesendok pertama, dan langsung menghela napas panjang penuh kenikmatan.
“Ini. Surga. Di. Mulut.”
Dow menatap es krimnya sendiri, lalu ke Oi. “Kau yakin tidak mau jadi duta besar Frozen Scoope?”
“Tentu aku mau. Asal mereka mau bayar dengan es krim seumur hidup.”
“Murah sekali, kau.”
Oi tersenyum lebar, lalu menyendok lagi. “I’m a simple girl.”
Dow mendesah panjang.
“Kenapa?” tanya Oi.
“Aku nggak bisa berhenti memikirkan masalah audisi, dan kontrak,” keluh Dow. “Kau tahu, rasanya aneh dan membingungkan. Semuanya terjadi begitu cepat. Tiba-tiba ada kontrak di tanganku, belum lagi orang-orang menatapku seperti aku menipu sistem.”
“Kau nggak menipu siapa-siapa, Dow. Kau berbakat. Bahkan kalau profilmu dikirim diam-diam, itu karena orang itu tahu kamu pantas dapet kesempatan itu,” Oi mencondongkan tubuhnya sedikit.
Dow menatap es krimnya. “Entahlah.”
“Kau boleh ragu, tapi kami semua percaya,” Oi tersenyum. “Dan hei, sekarang kau punya motivasi tambahan untuk terus latihan dengan Will. Ah …”
“Kenapa?” kali ini Dow yang bertanya ketika Oi mendapat sebuah ide.
“Sepertinya aku harus minta traktir Will juga, lumayan, dua mangkok es krim.”
“Kenapa Will?”
“Kan dia yang membantumu dengan semua ini,” Oi membuat lingkaran virtual dengan sendoknya.
Dow menggeleng pelan, tapi kali ini senyuman tipis muncul di sudut bibirnya.
“Dasar licik.”
Kali ini, alih-alih tersinggung, Oi justru mengangkat sendok seperti pedang kemenangan.
“Kau baru sadar?” Oi nyengir lebar.
Saat mereka meninggalkan Frozen Scoope, matahari sore menyusup di sela pepohonan sepanjang jalan. Oi berjalan pelan di samping Dow, tangannya memegang satu cup kecil es krim rasa Tiramisu Latte.
“Dow,” katanya tiba-tiba.
“Hmm?”
“Kalau nanti kau benar-benar jadi penari profesional dan masuk TV, aku akan bilang ke semua orang kalau aku mengenalmu sejak kita masih pakai diaper.”
Dow menoleh. “Kau bisa makan es krim dan membicarakan diaper?”
“Kenapa nggak?” Oi menyeringai. Ia membuat display dengan melebih-lebihkan menunjukkan caranya menyendok es krim.
“Dasar jorok,” komentar Dow. “Masih misteri bagaimana kau bisa serakus itu, tapi tetap mungil.”
Oi melotot.
“Faktanya begitu. Kau baru saja menghabiskan satu porsi Banana Split, dan sekarang kau memegang cup es krim yang lain,” tunjuk Dow.
“Pertama, ini beda rasa,” Oi mengacungkan cup es krim di tangannya. “Kedua, ini hanya satu scoop, SATU, oke?”
“Yang berarti totalnya, kau makan empat scoop es krim, kau tahu berapa kalori untuk empat scoop es krim? Dan jangan ingatkan aku karena kau memilih yang original, bukan rendah gula.”
“My God, you’re like middle age man,” gerutu Oi.
Dow tertawa, suara tawa ringan yang jarang sekali keluar darinya, cukup untuk membuat Oi merasa misinya sore itu berhasil. Meskipun dirinya sedikit jengkel karena Dow cerewet soal konsumsi gulanya. Dirinya bukan Dow yang perlu diet, atau apalah. Dia hanya ingin makan makanan enak. Titik.
Tapi untuk pertama kalinya dalam minggu itu, Oi merasa Dow tidak marah, atau bingung, atau dituduh. Dia hanya merasa… tenang. Entah bagaimana, semua hal ini berkat seorang gadis aneh yang menuntut es krim sebagai permintaan maaf.
Oh, ya, Oi mengakui kalau dirinya aneh.