Sore itu Bite & Brew tidak terlalu ramai. Aroma kopi, dan kayu manis menyatu dengan suara mesin espresso yang sesekali menderu dari balik konter. Di sudut ruangan, Oi duduk berseberangan dengan Thomas, meja mereka dipenuhi buku, laptop, dan segelas latte yang uapnya masih mengepul.
“Oke, hanya untuk memastikan, kau lebih condong ke Cleopatra atau Hatshepsut?” tanya Thomas sambil menggulir dokumen di layar laptopnya.
Oi menyesap minumannya, lalu meletakkan cangkir itu kembali ke tatakan.
“Kalau kita bicara pengaruh politik dan pencitraan, Hatshepsut. Tapi Cleopatra lebih menarik secara budaya pop,” jawab Oi.
“Sepakat. Tapi tetap aja, narasi tentang Cleopatra seringkali terlalu disederhanakan. Orang hanya melihat dia dari sisi romantisnya, padahal dia politisi ulung,” Thomas mengangguk.
Oi tersenyum. Ia senang saat diskusi mereka berjalan seperti ini, berlapis, tajam, dan kadang membuatnya berpikir ulang tentang hal-hal yang semula ia anggap sederhana.
“Aku suka ketika Hatshepsut memahatkan dirinya sebagai firaun laki-laki di kuil-kuil. Cukup radikal, menurutku,” kedua mata Oi berbinar. “Dia nggak menunggu validasi. Dia mengambil ruang, mengambil inisiatif.”
“Kembali ke pertanyaanku, mana yang akan kita jadikan narasi utama?” tanya Thomas.
“Menurutmu mana yang lebih menarik? Oke, aku punya sedikit obsesi mencari cara agar orang yang nggak suka sejarah mau membaca sejarah,” aku Oi malu-malu.
“Sedikit?” goda Thomas.
Sontak Oi cemberut mendengar godaan Thomas.
“Kurasa Dow mau membaca kisah Cleopatra,” kata Thomas tiba-tiba.
“Dow?”
“Kau bilang kau ingin orang yang nggak suka sejarah bisa membaca ini, salah satu orang yang kau maksud adalah Dow, kan?” Thomas tersenyum kecil.
“Um …” Oi mengerjap, tidak tahu harus merespon bagaimana. Apa dirinya setransparan itu?
“Tebakanku benar, kan?” Thomas menatap Oi dengan kedua tangannya terlipat di meja, laptop dan buku ditinggalkan, keduanya fokus berbincang.
“Bagaimana kau bisa berpikir begitu?” tanya Oi penasaran.
“Sederhana, kalian berdua begitu dekat, tapi kau nggak pernah mengatakan apapun mengenai Dow, dan sejarah. Jadi kusimpulkan kalau Dow nggak suka sejarah,” Thomas mengedikkan bahu.
“Sejak kecil Dow merasa aneh dengan kesukaanku akan sejarah kuno. Dia … nggak pernah mendekat,” jelas Oi.
“Dia nggak pernah berusaha menyukai?” tanya Thomas.
Oi menggeleng. “Sekali waktu dia membantu mencari buku referensi, menemani di perpustakaan, seperti itu. Berdiskusi begini?” Oi menunjuk dirinya, dan Thomas. “Nggak akan pernah mungkin.”
“Kau pernah berharap bisa berdiskusi dengan Dow?”
“Yeah,” Oi tertawa canggung. “Siapa yang nggak ingin? Tapi aku juga sadar, aku pun nggak bisa membantu Dow ketika dia butuh bantuan dengan tariannya. Jadi kita impas.”
“Tapi kau bilang kau yang membuat desain kostum tarinya.”
“Kostum tari beda dengan tarian, maksudku koreografi, aku nggak bisa membantu apa-apa di bagian itu.”
Thomas mengangguk-angguk, lalu bertanya lagi. “Kau juga menjadi bagian dari panitia festival sekolah, kan?”
Oi mengangguk.
“Tetap mendesain?”
Oi menyesap latte-nya yang mulai dingin sebelum menjawab. “Yup, tahun ini aku menjadi desainer utama, ada beberapa dari anak desainer, dan penjahit yang membantuku.”
“Aku tahu sekolah kita punya reputasi yang bagus untuk urusan seni, tapi sejujurnya, aku nggak pernah tahu apa saja yang mereka kerjakan,” Thomas mencondongkan tubuh, sepertinya benar-benar tertarik dengan topik festival sekolah.
“Kau nggak mengambil kelas seni?” tanya Oi heran.
“Seni dan aku bukan sesuatu yang bisa disandingkan bersama,” Thomas tertawa.
“Serius?”
“Yeah,” Thomas mengangguk. “Aku sangat kagum dengan kalian yang bisa mengerjakan apapun yang berhubungan dengan seni. Jadi apa yang dilakukan desainer kostum?
“Pada dasarnya membuat desain, sekaligus membuat kostum untuk semua pemain drama. Kalau untuk pementas yang lain, itu pilihan mereka masing-masing. Mereka bisa menyediakan kostum sendiri, atau meminta kami yang membuatkan,” jelas Oi.
“Kau bilang kau juga membuat kostum untuk Dow, dia juga pemain drama? Kukira dia penari?”
“Oh, iya, secara teknis Dow, dan Will bukan bagian dari drama, tapi ada sesi tari solo untuk mereka berdua dalam plot dramanya. Jadi dia nggak ada dialog atau akting, tapi dia ada akan tampil sebagai bagian dari drama. Jadi untuk kostum aku yang buat untuk menyelaraskan dengan keseluruhan tema drama.”
“Menarik.”
Oi mengangguk setuju.
“Jadi kostumnya akan seperti apa? Boleh aku lihat?” pinta Thomas.
Oi membuka tas untuk mengambil buku sketsa, lalu menunjukkannya pada Thomas.
“Oh wow! Ini keren sekali,” Thomas takjub melihat sketsa yang telah dibuat Oi. “Ada berapa banyak ini yang buat?”
“Bagianku hanya mendesain untuk karakter utama, karakter pembantu utama, ditambah Dow, dan Will.”
“Tapi ini banyak sekali,” Thomas membolak-balik halaman buku sketsa milik Oi. “Mana sketsa kostum untuk Dow?”
Hidung Oi mengerut mendengar pertanyaan Thomas. “Aku belum buat, nggak ada inspirasi.”
“Ah …” Thomas menutup buku di tangannya, lalu bersandar, meneliti wajah Oi, sampai gadis itu beringsut tidak nyaman.
“Kenapa menatapku begitu?”
“Ini bukan hanya soal nggak ada inspirasi, kan? Ada sesuatu yang lebih dalam dari soal itu, benar?”
Oi mengerang, menjatuhkan kepala ke meja, beberapa saat kemudian semuanya tertumpah. Dimulai dari rasa tidak percaya diri karena merasa dirinya nggak cukup ‘cewek’ di mata Dow, hingga beberapa sikap Dow yang menurut Oi cukup aneh, atau tidak biasa.
“Oh, seperti saat dia mengganggu kita di perpustakaan?” Thomas tertawa kecil.
“Nah, semacam itu,” Oi mengangguk.
“Oke, aku minta maaf karena sepertinya aku nggak bisa banyak membantu untuk urusan personal macam itu. Kau pernah membicarakan hal ini dengan Dow?”
“How? Asked him point blank?” Oi bertanya balik.
“Sepertinya kau nggak suka dengan kemungkinan itu.”
“Bukan nggak suka, hanya saja sepertinya nggak mungkin,” Oi menggeleng pasrah.
“Baiklah, kalau begitu kita batasi dengan sesuatu yang mungkin saja. Kita bicarakan desain. Sejauh apa kau mengerti tentang tari?”
Pertanyaan itu membuat Oi terdiam sesaat. Ia menatap layar laptop, lalu menjawab hati-hati.
“Aku paham secara visual. Komposisi, alur gerak, bagaimana pakaian bisa ikut bicara melalui lipatan, dan tekstur. Tapi ... kalau ditanya secara teknis atau filosofis, mungkin aku nggak sedalam itu.”
“Jadi kemungkinan kau akan mengambil angle darimana untuk konsep desainnya?” tanya Thomas lagi, suara lembut tapi nadanya serius.
Oi menggigit ujung jari. “Kadang dari musik. Kadang dari cerita yang dibawakan. Tapi untuk Dow ... aku bingung. Gerakannya bukan sekadar cerita. Dia selalu menyelipkan sisi personal, dan itu yang sulit.”
“Dan kau juga ingin ada sisi personal di desainmu?” Thomas mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja.
“Yeah,” Oi mengangguk.
“Sepertinya kau mengerti Dow lebih dalam dari yang kau sadari,” Thomas menatap Oi cukup lama sebelum melanjutkan. “Dan kau nggak punya pilihan lain selain bicara dengannya. Urusan desain kostum, bukan yang lain.”
Oi terdiam. Ia menatap jari-jarinya yang menggenggam cangkir latte. Pembicaraan ini lebih berat dari apa yang ia bayangkan.
“Omong-omong, kau bisa bantu mencari referensi visual untuk slide Cleopatra?” tanya Oi.
Kalau Thomas menangkap transisi topik pembicaraan mereka, cowok itu benar-benar berbesar hati karena tidak berkomentar apapun.
“Boleh. Aku ada ilustrasi keren dari museum Prancis. Bisa jadi pembuka presentasi kita.”
Oi tersenyum, berterima kasih karena Thomas tahu kapan harus mundur. Ia membuka dokumen yang sempat ditutup, mulai mencatat ulang poin-poin penting diskusi mereka, tapi pikirannya tetap tidak sepenuhnya hadir. Kalimat Thomas tadi menggema kembali dalam kepalanya.
Sepertinya kau mengerti Dow lebih dalam dari yang kau sadari.
Oi menatap layar laptop, jari-jarinya diam di atas keyboard. Ia mengingat gerakan Dow, tubuhnya yang seolah menyayat udara saat menari, bagaimana sorot matanya berubah tergantung musik yang mengiringi. Ia tahu kapan gerakan itu berarti marah, atau sedih, atau sekadar pura-pura tenang. Sekarang, ia menyadari sesuatu, ia tak hanya memperhatikan untuk kebutuhan desain. Ia memperhatikan karena ia peduli.
Tapi ... sejauh apa kepeduliannya itu?
“Oi?”
Suara Thomas menyadarkannya. Oi menoleh cepat.
“Kau baik-baik saja?”
Oi tersenyum, meski sedikit dipaksakan. “Yeah, hanya berpikir.”
“Apa?” Thomas menatapnya.
Oi menutup laptopnya pelan. “Berpikir tentang bagaimana sesuatu bisa lebih dari sekadar bentuk. Seperti kostum ... atau hubungan.”
Thomas tidak berkomentar. Tapi dari sorot matanya, Oi melihat pengertian. Mereka kembali terdiam, namun kali ini heningnya tidak menekan. Hanya membiarkan ruang bagi Oi untuk memproses perasaannya sendiri.
Di luar jendela, langit mulai berubah warna. Sinar senja menembus kaca dan mengenai gelas-gelas kosong di atas rak, membuatnya berkilau. Oi menatap cahaya itu, lalu menatap tangannya sendiri. Mungkin saatnya ia berhenti menghindar. Baik dari desain yang belum selesai maupun dari perasaannya yang selama ini ia bungkus rapat-rapat.
Beberapa saat ketika mereka berdua meninggalkan Bite & Brew, Oi mengirim pesan pada Dow, menanyakan keberadaannya.
Oi:
Di mana?
Balasan dari Dow diterima sepersekian detik setelah Oi mengirimkannya.
Dow:
Studio
Oi:
Oke, aku ke sana