Loading...
Logo TinLit
Read Story - Je te Vois
MENU
About Us  

Langit sore memantulkan cahaya lembut ke jendela kaca studio tari, membuat lantai kayu tampak hangat meski udara dalam ruangan mulai lembab oleh latihan. Di pojok studio, Dow duduk bersandar pada dinding, keringat menetes dari pelipisnya. Di hadapannya, Will sedang mengatur ulang daftar lagu di ponsel, mencari irama yang bisa memberi energi baru untuk sesi latihan berikutnya.

“Ambil lima menit dulu, ya?” kata Will, tanpa menoleh.

Dow mengangguk, lalu telentang dengan kedua mata terpejam, menikmati degup jantungnya yang masih belum stabil. Mereka sudah berada di studio selama hampir dua jam, menyusun, dan menyempurnakan koreografi untuk solo dance di Festival Sekolah. Gerakan demi gerakan mengalir, tetapi bukan tanpa hambatan. Ada bagian yang terus membuat Dow ragu, bukan karena tubuhnya tak mampu, tapi karena pikirannya berkelana ke tempat lain.

“Kau seperti nggak fokus, Dow,” kata Will tiba-tiba, meletakkan ponsel di lantai. “Wanna talk about it?

Dow membuka mata, lalu membuang napas panjang. 

“Oi.”

“Oi?” Will mengangkat alis.

“Yeah,” Dow mendorong tubuhnya untuk bangun. Ia meraih tumbler air, meneguk isinya dengan tegukan besar. “Kemarin setelah selesai rapat festival, Oi bertanya sesuatu, nggak tahu konteksnya menggoda seperti biasa, atau pertanyaan serius. Kau nggak bisa menebak dengannya, kan?”

 Will mengangguk, memahami dilema Dow, karena bagaimanapun juga, di mana Dow, di situlah Oi. Gadis itu juga hampir selalu menjadi penghuni tetap studio.

“Di mana dia?” tanya Will.

Out with Thomas,” Dow mengedikkan bahu.

Out?” Kedua mata Will membulat terkejut. “Like a date?

“Nah, mereka mengerjakan kompetisi karya ilmiah.”

“Oh wow, aku nggak tahu kalau mereka saling kenal. Kupikir kau satu-satunya teman Oi,” Will terkekeh.

Tapi raut muka Dow tidak berubah, cowok itu juga tidak tertawa. 

“Omong-omong Thomas, aku ada satu kelas bersamanya, cukup menarik,” imbuh Will.

Dow mendengus. “Kau juga?”

“Kenapa? Aku hanya satu kelas dengannya di satu mata pelajaran,” Will membela diri. “For the record, he has this kind of almighty annoying vibe.” 

“Kau tahu pertanyaan Oi kemarin? Dia tanya apa aku cemburu karena dia bersama Thomas.”

Will spontan tertawa mendengar pengakuan Dow, dan lagi-lagi, Dow tidak tertawa. Tidak ada yang lucu dengan situasinya sekarang.

“Tertawalah sesukamu,” gerutu Dow.

“Jesus, terima kasih aku dan Chloe nggak sedramatis kalian berdua,” ujar Will ketika tawanya mereda. “Kau tahu, kan, itu pertanyaan jebakan klasik?”

Dow menatap jendela tinggi, sinar matahari sore kian meredup, mungkin seperti suasana hatinya. Sial, sepertinya Will benar, dirinya benar-benar dramatis!

“Jadi kau jawab apa?” tanya Will ketika Dow tidak berkata apa-apa.

Dow menggeleng. “Aku nggak jawab apa-apa. Lagipula, aku juga nggak tahu harus menjawab apa.”

“Klasik,” Will tertawa, dan menggelengkan kepala. “Time’s up!

Dow menatap Will yang berdiri, bersiap untuk latihan lagi.

“Aku nggak mood,” kata Dow.

Sontak Will menatap Dow terheran-heran. “Aku nggak salah dengar?” 

Dow tidak menjawab, tapi juga nggak bergerak dari tempatnya duduk. Untuk sesaat Will menatap sahabatnya tidak berkedip, cowok itu akhirnya kembali duduk. Mungkin dia tidak mengira seberapa dalam kegalauan hati Dow. bagaimanapun ini kali pertama Dow mengatakan dengan suara keras bahwa dirinya tidak ingin menari. 

“Oke, ini aneh. Sebelumnya kau nggak pernah nggak mood menari,” komentar Will.

“Sebelumnya, Oi juga nggak pernah mengacau otakku,” dengus Dow.

Will mengangguk mengerti. “Oke, kau benar soal itu. Jadi, soal Thomas, apa yang akan kau lakukan soal itu?”

No idea.

“Oh, ayolah, Dow, ke mana perginya rasa percaya dirimu?” desak Will. 

Dow tidak menjawab. Pertama karena dia tidak tahu jawaban dari pertanyaan Will. Kedua? Dirinya juga tidak tahu apakah selama ini dirinya punya kepercayaan diri ketika berurusan dengan Oi. Gadis itu jauh lebih percaya diri dibandingkan dirinya. Dow hanya percaya diri selama berada di atas panggung. Selain itu? Dia tidak yakin.

“Oke, kau suka Oi, dan nggak suka Thomas karena cowok itu sekarang bersama Oi, benar begitu?” Will mengamati ekspresi Dow.

Kau suka Oi.

Benarkah begitu?

“Rasanya lebih menakutkan kalau kau benar-benar menyuarakannya seperti itu,” komentar Dow.

“Menyukai Oi menakutkan?” tanya Will.

More or less?” Dow mengedikkan bahu. 

“Kenapa?”

Sunyi sebentar, hanya diisi suara detak AC dan langkah kaki samar dari luar studio.

Because shit gets real.

Will terbahak. 

“Kau tahu aku sudah mengenal Oi seumur hidup. Rasanya seperti aneh, exciting, dan menakutkan menjadi satu,” aku Dow.

“Ah, bisa dimengerti,” Will mengangguk, bersimpati. “Sebenarnya hal itu wajar, aku pun dulu juga merasa begitu sewaktu mendekati Chloe.”

Dow menggigit bibir. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, sesuatu yang sudah berhari-hari ia tekan agar tidak muncul ke permukaan. Tapi di sini, di studio yang kosong, di antara kelelahan dan keheningan, perasaan itu terasa terlalu besar untuk terus ditahan.

“Ada hal lain yang membuatku kesal. Bukan pada Thomas, tapi pada diriku sendiri. Ya, Thomas menghabiskan banyak waktu dengan Oi, tapi karena memang ada alasan untuk itu,” Dow memulai pengakuan panjangnya. “Mereka teammate untuk menulis karya ilmiah. Mereka punya sesuatu untuk mereka berdua. Kau paham maksudku?”

“Yeah, dan kau nggak bisa berada di posisi Thomas?”

“Persis!” Dow menjentikkan jari. “Selama ini, aku nggak pernah tertarik dengan hobi Oi yang suka dengan sejarah kuno. Bahkan saat aku kecil, aku merasa Oi aneh karena nggak takut dengan kematian.”

“Mungkin saatnya kau mulai berubah,” saran Will.

“Mungkin.” 

Will menyandarkan kepalanya ke kaca, menatap langit yang mulai berganti warna.

“Aku nggak bermaksud kau berubah menjadi kutu buku seperti Thomas, tunggu dulu, apa kau takut kalah dengan Thomas?” Will membuat tanda petik ketika mengucapkan kata ‘kalah’.

Could be,” Dow tertawa sumbang. “How suck is that?

“Kubilang itu normal,” Will mengedikkan bahu, lalu, dengan  tenang, ia menambahkan. “Oi itu bukan cewek yang bisa direbut hanya karena kau punya nilai tinggi di karya ilmiah.”

Dow menoleh, menatap Will dengan satu alis terangkat.

“Maksudku berubah, mungkin kau bisa memberi sedikit perhatian pada hobi Oi. Atau menawarkan diri membantunya mengerjakan apapun yang sedang ia kerjakan. Mencarikan buku, atau menemani di perpustakan,” jelas Will.

“Oh, itu bukan hal baru. Meski aku lebih banyak menolak untuk mengetikkan artikel yang dibuat Oi.” 

“Nah, kalau begitu nggak ada masalah,” Will tersenyum tipis. “Kau bukan orang yang harus merasa kalah hanya karena kau nggak bisa menulis laporan ilmiah, atau nggak paham ketika Oi bercerita mengenai makam-makam kuno. Meskipun aku menyarankan sebaiknya kau mulai mencoba untuk membaca hal-hal semacam itu.”

Dow tahu kalau Will benar, tapi ide untuk membaca kisah makam kuno cukup membuat bulu kuduknya berdiri.

“Kau punya hal lain yang bisa kau tawarkan pada Oi,” lanjut Will. “Kau bisa menciptakan gerakan yang membuat orang merinding.”

Dow mendengus keras ketika mendengar ucapan Will.

“Kenapa? Aku bicara apa?”

“Kau pikir aku nggak merinding membaca buku-buku Oi?” tanya Dow.

Will menatap Dow lekat-lekat, seolah tidak percaya dengan pengakuan sahabatnya itu.

“Kau serius?” tanya Will.

“Menurutmu?”

Well, I don’t what to say to that,” kata Will.  “Tadi aku akan bilang kalau kau bisa memberi  nyawa ke cerita yang hanya bisa dibayangkan oleh orang lain orang lain.”

Dow menghembuskan napas pelan. “Tapi tetap aja, Will, setiap aku lihat mereka ngobrol, tertawa, diskusi, aku merasa jauh. Seperti dunia lain yang bisa kumasuki.”

Will terdiam, untuk kedua kalinya ia bangkit, lalu menepuk pundak Dow. 

“Kau nggak harus masuk ke dunia Oi lewat pintu itu, kau bisa masuk dari sisi yang berbeda. Dan itu nggak membuatmu kurang penting.”

Dow mengangguk pelan, tapi di matanya masih tersisa keraguan yang dalam. Ia menarik lututnya ke dada, dan bersandar ke dinding.

Setelah beberapa saat hening, Will bertanya, “Kau pernah membicarakan ini dengan Oi?”

Dow menggeleng.

“Kenapa nggak?”

Dude, kau sadar kalau aku baru saja menyadari hal-hal seperti ini, kan?”

Poor you,” Will tertawa kecil. 

Cowok itu mulai meregangkan tubuhnya, sambil melanjutkan menasehati Dow. 

“Dalam koreografi, kita bisa revisi gerakan yang nggak cocok. Tapi dalam hidup, kalau kau nggak pernah coba satu langkah pun, kau nggak bakal tahu apakah itu gerakan yang paling pas.”

“Nggak usah sok bijak,” Dow tersenyum miris. 

“Oh, aku memang bijak,” balas Will dengan nada bercanda, lalu melompat ringan ke tengah studio. “Ayolah, kita coba lagi, tapi kita ganti irama, biar otakmu juga ikut move on.

Kali ini Dow bangkit, menepuk celana training-nya, lalu mengikuti Will ke tengah ruangan. Musik baru mulai diputar, dengan tempo lebih cepat, lebih agresif, seolah mencerminkan emosi yang tadi belum tuntas tersampaikan.

Mereka bergerak. Tubuh Dow meluncur di lantai, memutar, meloncat, dan berhenti dalam hentakan yang presisi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Gerakannya lebih tajam, lebih berat. Seolah ia menari dengan beban di dadanya.

Will menangkap perubahan itu. Saat mereka selesai satu rangkaian, ia berkata, 

I like that, gerakanmu semakin hidup. Tapi juga semakin penuh tekanan.”

Dow mengusap peluh di dahi. “Yang kau minta, bukan? Jujur, dalam tarian, maksudku.”

Well it shows,” Will mengangguk. “Mungkin kau bisa menggunakan itu dan tunjukkan pada Oi.”

Satu alis Dow terangkat, lalu menyadari ucapan Will ada benarnya.

“Kurasa kau benar,” Dow mengangguk.

“Oke, istirahat lima menit lagi, kita mulai lagi satu putaran,” Will tersenyum, menepuk bahu Dow sekali lagi.

Dow duduk kembali di lantai, kali ini dengan napas yang lebih stabil. Ia menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga tua. Di antara bayangan sore dan denting musik yang perlahan memudar, Dow tahu satu hal pasti, kalau pun ia belum bisa berkata langsung pada Oi, ia bisa menari. Mungkin, suatu saat nanti, Oi akan mengerti apa yang selama ini coba ia sampaikan.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Warna Untuk Pelangi
9119      2084     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Surat Kaleng Thalea
4532      1323     2     
Romance
Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan. -Kahlil Gibran-
Spektrum Amalia
1349      926     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Memorabillia: Setsu Naku Naru
7540      2080     5     
Romance
Seorang laki-laki yang kehilangan dirinya sendiri dan seorang perempuan yang tengah berjuang melawan depresi, mereka menapaki kembali kenangan di masa lalu yang penuh penyesalan untuk menyembuhkan diri masing-masing.
Di Semesta yang Lain, Aku mencintaimu
580      366     9     
Romance
Gaby Dunn menulis tulisan yang sangat indah, dia bilang: You just found me in the wrong universe, that’s all, this is, as they say, the darkest timeline. Dan itu yang kurasakan, kita hanya bertemu di semesta yang salah dari jutaan semesta yang ada.
Sweet Seventeen
3254      1737     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Just Me [Completed]
32182      3955     1     
Romance
Gadis cantik bersifat tomboy itu adalah Viola dia biasa dipanggil Ola, dibalik sifatnya yang tomboy dia menyimpan duka yang teramat dalam yang hanya keluarganya yang dia tahu dia tidak ingin orang-orang khawatir berlebihan tentang kondisinya. dia anak yang pintar maka dari itu dia bisa sekolah di Amerika, tapi karena kondisinya sekarang dia harus pindah ke Jakarta lagi semenjak ia sekolah di Ja...
Po(Fyuh)Ler
994      549     2     
Romance
Janita dan Omar selalu berangan-angan untuk jadi populer. Segala hal telah mereka lakukan untuk bisa mencapainya. Lalu mereka bertemu dengan Anthony, si populer yang biasa saja. Bertiga mereka membuat grup detektif yang justru berujung kemalangan. Populer sudah lagi tidak penting. Yang harus dipertanyakan adalah, apakah persahabatan mereka akan tetap bertahan?
Is it Your Diary?
343      284     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
A D I E U
2310      960     4     
Romance
Kehilangan. Aku selalu saja terjebak masa lalu yang memuakkan. Perpisahan. Aku selalu saja menjadi korban dari permainan cinta. Hingga akhirnya selamat tinggal menjadi kata tersisa. Aku memutuskan untuk mematikan rasa.