“AKU PULANG.”
Aroma wangi kayu manis menguar, menggelitik indera penciuman Dow. Rumah masih sepi, mobil Dad juga tidak ada di garasi, jadi beliau mungkin masih di galeri, tapi sepertinya Mom yang sudah sibuk di dap—
“Kukiiiiiiiis!” seru Oi.
Gadis langsung itu terbang ke dapur, di mana sumber bau berasal. Tidak peduli menyenggol pundak Dow, membuat cowok itu nyaris terjatuh. Rasanya menyenangkan ketika Oi mempunyai sesuatu yang menarik perhatiannya. Perjalanan pulang dari sekolah meski hanya setengah jam rasanya lebih melelahkan daripada seharian berada di kelas. Mendengarkan ocehan, dan rengekan Oi benar-benar menguras tenaga.
Sans, dan Teri berlari-lari kecil melalui pintu samping, sepertinya kedua hewan itu bisa merasakan jika tuannya sudah pulang. Sans langsung menghampiri Dow, sedang Teri, anjing kecil itu terus menyalak sampai Oi berbalik, dan menggendongnya.
Dow mencebik, dasar manja!
“Hei kalian,” sapa Mom, tanpa mengalihkan perhatiannya dari adonan yang tengah digilas.
“Baunya harum,” Oi mengendus-endus pintu oven seperti kucing.
Gadis itu meletakkan Teri ke lantai, lalu mencuci tangan di bak cuci piring. Sans mengendus bokong Teri untuk diajak keluar. Acara salam-salaman dengan tuannya selesai.
“Salam dulu yang benar,” Dow menjitak belakang kepala Oi setelah ia mencium pipi Mom.
Oi menangkupkan kedua tangannya yang basah ke wajah Dow sambil tersenyum centil.
“Heh!”
Oi melayangkan ciuman jauh sambil menyambar lap tangan, sebelum mencium pipi Mom.
“Awas, kau, ya!” Dow bersiap melakukan pembalasan ketika Mom memperingatinya.
“Dow.”
“Mom!” rengek Dow sambil menunjuk kedua pipinya yang basah. “Dia nggak bisa kabur begitu saja, Mom!”
Mom melambaikan tangan, menyuruh Dow melupakan pertengkarannya dengan Oi.
Gadis itu menjulurkan lidah ke arah Dow, tapi langsung menutup mulut ketika Mom menoleh ke arahnya.
Mengentakkan kaki jengkel, Dow mengitari meja dapur, membuka kulkas, dan mengeluarkan teko air putih. Di belakangnya, Oi kembali mengoceh mengenai berbagai hal dengan Mom. Oi bahkan menceritakan hal-hal jorok, seperti bagaimana tadi pagi dirinya menginjak kotoran Teri di teras rumah. Dow nyaris tersedak air putih ketika mendengar ceritanya.
Yikes!
Apa Teri tidak dilatih untuk buang kotoran di luar? Lain kali kalau Teri kemari, Dow harus benar-benar memperhatikan perilakunya, jangan sampai anjing itu buang kotoran sembarangan!
Terlepas dari kasus Teri yang buang kotoran sembarangan, sering kali Dow bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah seorang Oi pernah merasa lelah? Karena tingkah polah, dan ocehan Oi selalu membuatnya kelelahan. Jangankan seharian bersama Oi, hanya bersama selama setengah jam perjalanan pulang, ditambah beberapa menit di dapur, Dow rasanya sudah tidak bertenaga lagi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kedua orang tua Oi.
“Kau tinggal untuk makan malam?” pertanyaan Mom pada Oi sontak memutus lamunan Dow. “Ed sebentar lagi pulang.”
Dow menelengkan kepala ke arah jam berdiri di samping perapian, mengangguk dalam hati, mengiyakan ucapan Mom, memang jadwal Dad pulang. Setidaknya Dow tidak terlalu lama melamun, sampai tidak tahu apa yang sedang dibicarakan Mom.
Alih-alih menjawab pertanyaan Mom, Oi yang duduk di kursi bar di depan Mom menjulurkan leher, melihat ke luar jendela, mengecek keberadaan mobil orang tuanya.
Dari tempatnya berdiri, Dow bisa melihat kalau jalan masuk rumah Oi masih kosong. Tidak diragukan lagi, Oi akan menerima tawaran Mom dengan senang hati.
Benar saja, Oi mengangguk ceria. Kedua kakinya digoyang-goyangkan seperti anak kecil sedang kedua tangannya sibuk dengan kayu penggilas, memipihkan adonan kukis.
“Tawaran apa, sih, yang bisa kau tolak,” komentar Dow seraya meletakkan gelas kosong di bak cuci piring lalu mengembalikan teko ke dalam kulkas.
Oi menoleh, dan melotot. “Apa masalahmu? Eliza yang masak saja tidak masalah, kok,”
“Jadi, apa yang menarik hari ini?” tanya Mom. Salah satu jurus jitu beliau untuk melerai Dow, dan Oi. “Selain poop-nya Teri tentu saja.”
“Aku tidak merasa poop-nya Teri adalah hal yang menarik. Itu jorok!” komentar Dow pura-pura muntah.
“Tidak punya selera humor, menyedihkan,” Oi berdecak sambil menggelengkan kepala.
“Tidak ada yang menarik,” mengabaikan cibiran Oi, Dow pun menjawab pertanyaan Mom. “Hanya latihan rutin, rapat untuk persiapan festival sekolah. Belum ada jadwal lomba lagi.”
“Lomba,” tanpa sadar Oi mengangguk-angguk sambil bergumam.
“Kau ada lomba?” tanya Mom.
“Bukan aku yang ikut lomba,” Oi menggeleng. “Tapi ada perlombaan tari, oke, bukan sepenuhnya lomba, semacam kompetisi dari sebuah agen pencari bakat—“
Kedua tangan Oi yang semula sibuk mencetak adonan sontak melayang membekap mulutnya sendiri. Kedua mata gadis itu membulat horor ketika bersitatap dengan Dow, alis cowok itu terangkat tinggi, sampai hilang di balik poninya.
“Kenapa?” Mom menatap Dow, dan Oi bergiliran, bahkan sampai meninggalkan adonan kukis yang masih belum tercetak.
“Itu tadi tebakan untuk Dow. Dia seharusnya menebak isi pengumuman hari ini,” Oi meringis.
“Dasar aneh,” gumam Dow.
“Jadi kau mau ikut lomba tari, atau bagaimana?” tanya Mom pada Oi.
Oi menggeleng kuat-kuat.
Dow mendengus keras, sampai nyaris tersedak. Bayangan Oi menari di atas panggung membuatnya harus menahan tawa.
“Lalu?” tanya Mom.
Dengan dagunya Oi menunjuk Dow yang masih berdiri bersandar kulkas.
“NO,” Dow mengangkat kedua tangan di depan dada membentuk X besar ketika menyadari apa yang dibicarakan Oi.
“Jangan pernah membayangkan yang bukan-bukan,” tolak Dow mentah-mentah.
Tentu saja ia menolak, karena berdasarkan sejarah, apapun yang disarankan oleh Oi biasanya berakhir dengan bencana. Jadi tolak dulu meski belum tahu detailnya. Lagipula—
Lagipula;
BAGAIMANA JIKA YANG DIBICARAKAN OI INI ADALAH PERLOMBAAN YANG SAMA DENGAN YANG DIBICARAKAN TIMNYA TADI?
Dalam hati, Dow menghitung sampai sepuluh, mencoba menenangkan diri, supaya tidak meledak.
“Kenapa tidak?” tanya Oi.
“Iya, kenapa tidak Dow? Tadi kau bilang belum ada jadwal perlombaan baru, kan, selain festival sekolah?” Mom nimbrung dengan raut muka ingin tahu.
Benar, kan? Sekarang Mom juga ikut penasaran. Dow memelototi Oi yang menatapnya dengan mata bulat, sama sekali tidak merasa bersalah, bahkan masih berani, menunggu jawaban kenapa Dow menolak ikut audisi.
Benar-benar menyebalkan.
“Mom tahu, kan kalau semua yang disarankan Oi selalu berakhir dengan bencana,” jawab Dow.
Kedua mata bulat Oi membulat semakin lebar—pura-pura—tersinggung.
“Dowell Zachary Watts,” Mom menatap Dow tidak setuju.
Oh, oke, nama panjang sudah keluar.
“Oke, oke, ini bukan sekedar lomba Mom,” aku Dow akhirnya.
Mom hanya menatap Dow tanpa berkata apa-apa, salah satu jurus paling ampuh untuk membuat Dow menjelaskan sisanya.
“Oi membuat pernyataan yang tidak sesuai. Ini adalah audisi sebuah agen bakat Mom, bukan lomba tari,” Dow memejamkan kedua matanya ketika akhirnya harus mengatakan kepada Mom yang sebenarnya. Ia benar-benar akan membunuh Oi setelah semuanya ini selesai.
Hati-hati, kau!
“Bukankah itu bagus?!” Mom bertepuk tangan antusias begitu mendengar penjelasan Dow. Adonan kukisnya benar-benar terlupakan.
“Benar, kan? Ini kesempatan bagus, kan?” tambah Oi, tidak peduli dengan sorot mata mematikan Dow.
Gadis itu merogoh saku jaketnya untuk mengambil ponsel meskipun tangannya masih belepotan adonan kukis. Oi membuka galeri ponsel, menunjukkan foto pamflet pada Mom.
Mom mengangguk setuju.
“Kau harus ikut, Dow!” pungkas Mom. “Oh, ini benar-benar bagus! Kau harus berterima kasih pada Oi yang memberitahumu soal audisi ini.”
Berterima kasih? Yang benar saja!