“Hay, welcome to Zindy vlog….” Zindy dengan ramah menyapa para penonton. Dia menghela napas panjang. “Hari ini aku mau cerita-cerita soal video pendek milikku yang viral. Iua, dia ayahku. Ayah yang selama ini aku rindukan. Aku kira dia hilang, tapi ternyata dia sayang. Amat sayang padaku. Aku di sini mau sesi curhat-curhat aja dulu. Nggak jualan….” Zindy memastikan wajahnya nampak jelas di kamera smartphone itu. Dia juga masih sempat membaca komentar yang masuk.
“Kak, berarti ayah dulu pergi tanpa pamit ya?” Zindy membaca salah satu komentar. “Iya, ayah dulu pergi begitu saja. Aku jujur sudah sempat membencinya. Bisa dibilang juga mengutuk dirinya. Sudah tahu punya anak dan istri tapi masih ditinggal pergi. Sampai, ada kabar dari om dan tante. Ayahku pergi karena tak mau membebani. Dia sakit gagal ginjal. Tial bulan harus cuci darah….” Air mata Zindy hendak mengalir.
“Turut berduka cita, Kak. Kakak pasti sedih banget ya?” Komentar lain dibaca oleh Zindy. “Jelas, aku sedih dan kaget. Siapa yang menyangka akan ada kabar seperti itu. Jujur, salah satu aku upload video di Toktok karena pengen di notice ayah. Kayak please Toktok do your magic. Aku pengen ketemu Ayah. Ayahku sempat komentar di beberapa videoku. Memakai akun anonim, ya dia pake nama pena miliknya.”
“Berarti ayah kakak penulis ya? Atau apa?” Komentar semakin banyak. “Ayahku dulu setahuku jurusan pendidikan bahasa Indonesia, tapi karena jadi tenaga honorer katanya gaji tidak seberapa akhirnya jadi pegawai serabutan. Apa saja dikerjakan. Tukang listrik, tukang cabut rumput, kuli bangunan. Aku kira ayah hilang karena masalah ekonomi ternyata tidak. Seperti kisah sinetron ya?” Zindy berusaha tersenyum.
“Iya, Kak. Kayak kisah sinetron. Plot twist banget. Kakak sekarang masih benci ayah?” Zindy sibuk membaca komentar lagi. “Aku sudah tidak membenci ayah. Aku sudah berdamai dengan segala hal yang terjadi. Ayah sudah tiada. Dia berhak tenang di alam sana. Ayah masih ingat dan berjuang untukku. Ini!” Tangan Zindy menunjukkan kalung emas putih dengan bandul berbentuk huruf Z yang ada di lehernya. “Kalung ini warisan dari ayahku. Dia membelinya dari hasil pertama kali menang lomba menulis novel di platform online. Ayahku masih berusaha mengumpulkan uang untuk masa depanku dan adikku. Dia berusaha menulis novel. Uangnya dikumpulkan untuk biaya pendidikanku. Ayah tidak pergi,dia hanya tidak ingin membebaniku….” Air mata Zindy tak terbendung. Zindy menghapusnya dengan tisu. Live kali ini dia sendirian. Sengaja tidak mengajak Kalib.
“Kak, astaga. Sedih banget. Yang kuat Kak. Aku mau berkunjung ke novel ayah. Aplikasinya apa? Mau baca juga Kak. Aku selalu baca komentar kalian, Gaes. Sebentar, aku lihat dulu ya aplikasinya.” Tangan Zindy membuka smartphone milik ayahnya. “Namanya aplikasi …. ini deh logonya.” Zindy takut live-nya di-banned Toktok jika menyebut nama aplikasi lain. Dia akhirnya hanya menunjukkan logo aplikasi itu saja ke arah kamera depan.
“Aku baca komentar lagi ya. Kak,ceritanya tentang apa? Mau baca Kak.” Zindy membuka kembali smartphone ayah. “Ceritanya sebagian besar kisah fantasi. Dunia silat ala timur, fantasi peri ala eropa, kisah sihir gitu. Bagus. Berkunjung ya, Gaes. Nama penulisnya penulis_zz. Hihihi, promosi sedikit.”
“Kak, live-nya sendirian ya? Pacar Kakak mana?” Mata Zindy melotot membaca komentar itu. “Aku live sendirian. Pacar, ah, Bang Kalib itu saudara ehm … teman yang sudah kuanggap kakak sendiri. Dia belum pulang dari magang. Aku mau live karena pengen cerita-cerita aja.” Zindy terus membaca komentar.
“Apa karya Ayah yang paling berkesan?” Zindy berpikir sejenak. “Karya ayahku yang paling berkesan itu draft novel yang judulnya Simfoni Rindu Zindy. Itu menuliskan perasaan rindu ayah kepadaku. Baru jadi semacam premis saja tapi rasanya hangat. Kasih sayang ayah terasa sangat dalam. Aku adalah bagian berharga dari dirinya.” Senyum Zindy tanpa sadar terkembang. Dia merasa hangat saat mengingat sosok ayah.
“Mau di-spill dong Kak. Mau tahu Simfoni Rindu Zindy. Wah, itu novel belum jadi. Baru ada sepenggal tulisan. Tapi, kalo Gaes penasaran aku bacain ua. Zindy, dia adalah permata yang diberikan Tuhan padaku. Tangis kelahirannya adalah wujud anugerah yang indah. Murni seperti embun di pagi hari. Megah dan bersinar seperti bintang di langit. Anak perempuanku yang paling cantik. Itu draft atau premis bab 1 dari Simfoni Rindu Zindy. Novel yang baru akan dibuat ayahku.” Tangan Zindy masih sibuk scroll dan melihat komentar mayoritas.
“Kak, berarti SPP udah lunas ya? Masih mau jualan dan live kah? Masih jualan. Aku punua cita-cita mau kuliah. Masih perlu mengumpulkan uang. Hidup yang tidak diperjuangkan tidak akan dimenangkan. Pernah dengar kalimat itu sih waktu scroll Toktok.” Zindy minum sejenak dari dalam tumblernya.
“Kakak ada cita-cita mau jadi penulis novel seperti ayah?” Zindy bingung harus menjawab apa. “Aku belum pernah mencoba menulis, tapi sepertinya bisa dicoba. Darah seni ayah kuharap mengalir padaku. Jika aku menulis, kalian berkunjung ya. Wajib itu! Hehehehe, bercanda, Gaes. Aku berharap bisa meneruskan karya ayah yang belum selesai. Mungkin aku bakal menulisnya dengan versi diriku. Aku akan buat Simfoni Rindu Zindy jadi kompilasi singkat vlog-vlog-ku. Mungkin, nadaku bukan berupa tulisan tapi berusaha potongan frame video. Jika ayahku menulis untaian nada dalam wujud kata, maka aku merangkai nadaku lewat script video yang diwujudkan dalam karya video. Bentar lagi mungkin mah mengakhiri live.” Zindy menatap jam yang ada di kamarnya. Matanya melotot saat ada yang memberi gift senjata uang.
“Terima kasih sudah mampir, Leon. Kamu selalu baik. Semoga sehat selalu.” Zindy menyapa Leon.
“Sapa aku juga dong! Aku temen sebangkumu, tahu!” Zindy tertawa. “Iya, iya. Aku sapa Rara yang cantik juga. Temen sebangku dan bestie-ku juga gabung di live-ku, Gaes.