“Makasih ya Kalib, kamu udah bantu jaga Nenek di sini selama kami pergi….” Ibu menyerahkan cemilan yang dibelinya saat pulang dari luar kota.
“Aduh, Tante nggak perlu repot-repot. Aku ikhlas. Kalib nggak enak buat menerima. Tante kan ehm … sedang berduka. Turut berduka cita atas wafatnya ayahnya Zindy.” Tangan Kalib ragu menerima cemilan itu.
“Nggak apa-apa. Buat menemanimu main game ya. Makasih. Mohon doanya buat ayahnya Zindy.” Ibu tetap menyerahkan cemilan itu ke tangan Kalib. Mata Ibu nampak masih sembab. Senyumnya belum tergelar dengan sempurna.
“Makasih, Tante.” Kalib akhirnya menerima cemilan itu.
“Aku mau lanjutin video terakhir waktu itu, Bang.” Zindy membuka kembali laptop usang milik ayahnya. Suara berisik dari kipas laptop nampak terdengar jelas. “Ini laptop ayahku. Kira-kira bisa diperbaiki atau gimana gitu nggak ya? Biar kipasnya nggak berisik dan tidak lemot?” Mata Zindy menatap ke arah Kalib.
“Kamu baru saja berduka. Yakin mau lanjut sekarang? Matamu kelihatan banget sembabnya. Baru tadi sore sampai di rumah lagi.” Kalib merasa ikut larut dalam kesedihan Zindy.
“Aku kan harus profesional. Nanti mungkin mataku bisa dipakein make up aja kali ya. Namanya pekerjaan kan harus tanggung jawab. Meskipun aku juga sudah menghubungi brand Emcaya.” Zindy menatap wajahnya di cermin.
“Ya sudah. Kamu kuat, Zin. Soal laptop ini ehm … masih bisa direstorasi. Nanti kipasnya diganti sama tempat CD room-nya diganti SSD biar lebih cepat. Mungkin biayanya satu jutaan.” Kalib mencoba memeriksa laptop itu. “Sudah tergolong jadul untuk digunakan di tahun 2025. Tapi jika untuk mengetik dan menyimpan foto saja masih bisa.”
“Ada karya ayah di dalam sini. Dia menulis novel di platform online. Gajinya dia kumpulkan untuk tabungan pendidikan dan Zean. Ayah juga membelikan aku kalung ini!” Zindy menunjukkan kalung di lehernya. “Ini sangat berharga.”
“Aku mengerti. Rasanya kehilangan sosok ayah itu berat. Jangan ditolak rasa sedihnya. Meratap boleh tetapi jangan terlalu larut. Doakan beliau agar tenang di sana.” Hibur Kalib.
“Iya, Bang. Aku dandan dulu ya. Biar nggak pucat-pucat amat.” Zindy masuk ke dalam kamarnya. Dia mulai merias wajahnya dengan sedikit bedak yang lebih tebal daripada biasanya. Eyeshadow coba digunakan di kelopak matanya.
“Tinggal produk lipstick ya kalo nggak salah?” Tangan Kalib sibuk mengatur ring lights dan tripod itu. Dia berusaha mengatur angle yang pas.
“Iya. Produk lip cream. Ini sampel produk tapi aku suka warnanya. Tidak terlalu mencolok tapi friendly digunakan buat remaja. Masih kelihatan fresh.” Zindy membuka salah satu shade dan mengoleskannya di punggung tangannya.
“Eh, jangan lupa. Pita ajaibmu. Itu penglaris. Biar yang nonton tetap notice.” Kalib mengambil bando pita fragile yang belum digunakan Zindy.
“Hampir lupa. Penglaris unik ini. Mungkin kalo nggak pake ini belum di-notice brand besar.” Zindy berusaha tersenyum.
“Kita mulai ya, action!” Kalib bertindak seolah-olah seorang sutradara.
“Halo Gaes,welcome to Zivlog edisi review product lagi.” Zindy bertepuk tangan. “Kali ini aku mau review produk dari brand yang sama. Masih satu saudara dari video kemarin. Brand Emcaya. Kali ini aku punya produk lipcream.” Zindy menunjukkan lip cream itu ke arah kamera. “Ini tuh produk lip cream yang bagus banget. Sudah bisa bikin bibir cantik kayak bintang cemerlang di langit. Bisa melembabkan juga menghempas serangan hawa panas. Good bye to bibir kering dan crack, pokoknya!” Zindy berusaha tersenyum. Lipcream itu dia gunakan di bibirnya. “Maaf jika telat upload dari jadwal biasanya, Gaes. Hari ini aku baru upload karena ada janji yang harus ditepati, hehehe. Bukan karena aku baik-baik saja. Tapi karena kerjaanku bukan cuma hobi, ini juga bentuk tanggung jawab. Stok terbatas, jangan lupa check out di keranjang kuning!” Zindy menunjuk ke arah kanan framd kamera.
“Lumayan bagus. Kurasa ini saja dipake. Gimana menurutmu?” Kalib menunjukkan video itu.
“Boleh. Mungkin bisa ditambah swatch shade lain ya….” Zindy memberikan saran.
“Itu ide bagus.” Kalib setuju. Zindy mulai merekam saat dia mengoleskan lip cream itu di punggung tangannya. Berbagai macam shade dioleskan. Seolah membentuk pelangi.
“Kalau baru kepepet keadaan satu kali take aja lumayan lancar. Padahal biasanya beberapa kali.” Zindy sedikit heran.
“Mungkin sinyal biar tubuh bisa lebih banyak istirahat. Eh, kamu besok masuk sekolah?” Kalib penasaran. Tangannya sibuk mengedit video Zindy di laptopnya.
“Masuk. Aku sudah janji akan rajin sekolah. Ayah masih ingat pendidikanku meski beliau sakit.” Mata Zindy menatap liontin kalung huruf Z di lehernya. Dia menyentuh liontin itu.
“Kamu memang anak yang kuat. Hidup harus berlanjut. Nanti luka akan sembuh sedikit demi sedikit seiring waktu berjalan. Editnya sudah selesai. Tinggal masukin voice over biar suara lebih jelas.” Kalib menunjukkan hasil video editannya kepada Zindy.
“Bagus seperti biasanya, Bang. Makasih. Aku rekam dulu suaraku ya.” Zindy melakukan perekaman suara lewat mikrofon kecil. “Akhirnya selesai. Kontrak pertama dengan brand besar.” Zindy menghela napas.
Kalib tersenyum. Dia membantu mengedit voice over itu. Proses rendering video sudah mulai dilakukan.
“Permisi!” Nampak seorang ojek online yang memakai jaket hijau di luar teras rumah. “Pesanan atas nama Kalib.” Tangan pria itu nampak membawa bungkusan kotak kardus.
“Iya. Atas nama Kalib. Terima kasih, Pak!” Kalib segera keluar dari ruang tamu. Dia menerima paket itu.
“Abang pesan apa?” Zindy penasaran.
“Aku beli pizza!” Kalib tersenyum lebar. “Untuk sedikit merayakan proyek brand pertama kita. Ehm … kan kemarin aku juga dapat honor dari proyek ini. Kebetulan juga jasa edit fotoku lumayan ramai. Sekali-kali makan enak!” Kardus pizza itu dibuka Kalib.
“Bang, ini lumayan mahal, lho!” Zindy ragu untuk menyentuh makan itu.
“Udah, nggak papa. Oh ya, cuci tangan dulu!” Kalib bergegas menuju ke kamar mandi.
“Hahaha. Masih ingat buat cuci tangan.” Zindy tersenyum. Dia gantian menuju ke kamar mandi untuk cuci tangan.
“Doa dulu!” Kalib sudah menengadahkan tangannya.
“Oh iya. Ya Tuhan, makasih atas kelancaran protek pertama ini. Tolong mudahkan, lancarkan rezeki kami di hari-hari selanjutnya….” Kalib berdoa dengan serius.
“Amin. Lancarkan rezeki dari hasil konten ya Tuhan. Zindy dan Abang Kalib perlu uang buat kuliah.”
“Amin.” Kalib ikut mendoakan doa yang dipanjatkan Zindy.
“Ayo, makan!” Kalib memotong pizza itu. Dia memberikan potongan pertama kepada Zindy. “Buat yang punya proyek!”
“Bisa aja!” Zindy tersenyum. Jantungnya kembali berdegup kencang.
Aku nggak bisa berbohong. Suka dengan momen seperti ini dengan Bang Kalib. Rasanya tidak ingin waktu beranjak.
“Oh begini ya rasa pizza itu. Kayak roti dikasih topping!” Zindy memakan pizza itu dengan hati-hati. “Aku baru pertama kali makan.”
“Ini aku kedua kalinya. Dulu pernah beli yang ukurannya lebih kecil. Orang seperti kita memang harus hemat. Tapi ya sesekali mungkin boleh lah self reward sedikit. Oh ya, sisakan tiga potong buat Ibu, Nenek sama Zean.” Kalib menyisakan tiga potong.
“Hahaha. Makasih, Bang. Zean pasti senang.” Tawa Zindy sedikit kembali.
Aku senang melihatmu tersenyum, Zin. Rasanya beban dihatiku sedikit berkurang.