“Ehem, Kakak Pita Fragile. Makin laris nih jualannya!” Sapa Rara pagi itu.
“Kamu bisa aja. Itu cuma ide asal kok. Aku sebenarnya malu, tahu. Tapi gimana lagi. Biar punya suatu ciri khas. Aku lihat belum ada kreator pake pita fragile buat hiasan waktu live. Ya udah aku pake itu aja.” Zindy mengeluarkan uang dari dompetnya. “Ehm, aku mau mencicil lagi. Maaf ya kalau lama. Aku merasa nggak enak merepotkan kamu.” Dua lembar uang pecahan seratus ribuan itu diserahkan kepada Rara.
“Ya elah, santai aja kali. Iya, aku terima. Nanti bikin challenge sama aku ya. Aku udah belikan pita fragile baru buat kita!” Rara memperlihatkan pita fragile warna merah dan warna pink di dalam tasnya. “Aku juga udah beli bando kualitas yang bagus. Bisa buat kamu live juga!”
Zindy termenung sejenak. Dia heran dengan tingkah sahabatnya itu. “Iya, iya. Nanti kita buat challenge ya.”
“Aku udah jarang main Toktok. Di rumah Papi sama Mami minta aku buat les tambahan. Sumpah capek banget. Mereka takut aku nggak masuk siswa eligible. Mungkin tahu kali ya otak anaknya pas-pasan. Jadi mulai disuruh buat les UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer) sejak kelas sebelas. Capek banget, mana soalnya susah-susah. Gurunya privat lagi! Aku nggak punya alasan buat nggak perhatiin materi.” Keluh Rara.
“Sabar. Ini demi masa depanmu juga. Kamu kan pasti juga pengen kan masuk ke PTN (Perguruan Tinggi Negeri) favorit. Ayah dan ibumu cuma berusaha memenuhinya.” Hibur Zindy.
Hidup yang kamu keluhkan adalah hidup yang diinginkan orang lain, Ra. Setidaknya kamu nggak perlu mati-matian kerja putar otak dan jungkir balik cuma buat bayar SPP. Nggak boleh iri, Zin. Rara temen baikmu.
“Iya,sih. Tapi capek. Aku tuh pengennya habis sekolah main. Atau nonton drama korea. Pokoknya aku nanti mau minta hadiah dari Papi. Aku pengen jalan-jalan akhir pekan ini. Pengen minta handphone logo apel yang seri 16 pro. Otakku udah kebakar gara-gara les privat.” Keluh Rara lagi.
“Iya,iya. Nanti bisa minta itu. Sekarang semangat dulu buat hari ini ya.” Zindy tersenyum.
Enak ya akhir pekan bisa jalan-jalan sama ayah. Aku sampe lupa kapan terakhir kali aku bersama dia. Ayah, apakah kamu benar-benar lupa padaku. Aku sudah membuat vlog di Toktok. Mungkinkah salah satunya bisa sampai di halaman akunmu?
“Udah, nanti aku mau santai-santai aja. Nanti pinjam catatanmu ya buat di foto. Aku mau mengistirahatkan otak.” Rara lesu melihat ibu guru matematika memasuki kelas.
“Iya, Nona. Iya. Silahkan istirahat.” Canda Zindy.
Bel elektrik tanda istirahat berbunyi. Zindy ditemani Rara mulai berjualan. Nampak anak-anak menghampiri Zindy.
“Aku mau beli dagangan Kakak Pita Fragile yang lagi viral!” Celetuk seorang teman. Dia mengabadikan momen membeli dan membayar dagangan itu dengan kamera smartphone-nya.
“Iya. Kamu baru viral dan FYP di Toktok. Kakak Pita Fragile. Kapan live lagi?” Celetuk teman lain.
“Ah nggak. Itu cuma iseng aja. Makasih udah beli daganganku. Aku mungkin live sabtu atau minggu sore.” Zindy menjawab sambil tersenyum.
“Iya, Gaes. Kakak Pita Fragile itu temen kita, lho. Nih, kita mau beli dagangannya.” Nampak suara Sella mendekat ke arah Zindy. Tangannya sibuk merekam dengan kamera dengan smartphone.
“Ih, itu anak jangan dibiarkan cari perhatian. Mereka kan pernah buat kamu menangis. Aku nggak terima kamu mau dimasukin ke kontennya!” Rara tersulut emosi.
“Jangan gitu. Udah biarin aja. Kalo mereka mau beli silahkan. Aku udah memaafkan mereka. Nggak bagus menyimpan dendam lama-lama. Bikin cepat tua nanti.” Zindy tak terpancing emosi.
“Zin, kasih salam dong ke follower-ku!” Ujar Sella.
“Hay, Gaes. Aku Zindy.” Zindy menyapa dengan ramah ke arah kamera Sella.
“Tuh, dia benar temenku. Kakak Pita Fragile. Nih, aku beli dagangannya, Gaes. Bangga jadi teman wirausahawan muda seperti dirinya!” Sella membayar cemilan yang dia beli. “Hitung juga punya Dhea sama Vira. Kembaliannya simpan aja.” Sella menekan tombol berhenti merekam pada layar smartphone-nya.
“Iya. Makasih ya.” Zindy tersenyum.
“Tumben jajan dan nge-vlog. Nggak belajar nih hari ini? Nanti nilainya turun, lho.” Sindir Rara. Sorot matanya tajam.
“Kan baru beli jajan. Aku lapar, tahu!” Celetuk Dhea.
“Iua. Belajar butuh tenaga. Support temen yang jualan kan juga bagus.” Sahut Vira.
“Maaf ya pernah bikin kamu nangis.” Celetuk Sella tiba-tiba. “Please, jangan kasih tahu Leon. Aku takut dimusuhi.” Tangan Sella terulur ke arah Zindy.
“Iya. Aku juga minta maaf buat waktu itu.” Ujar Dhea dan Vira hampir bersamaan.
“Udah aku maafin. Makasih udah beli daganganku.” Zindy menghitung uang dari Sella.
“Untung aja. Aku takut dimusuhi Leon. Zindy kan pacarnya Leon!” Ujar Vira. Kalimat itu seperti lebah yang masuk ke telinga Zindy.
“HAH?” Teriak Zindy. Dia sampe berdiri dari tempat duduknua. “Pacar? Siapa? Aku nggak pacaran.”
“Tapi kata anak-anak Leon sweet banget ke kamu. Katanya Leon pernah ngasih jaketnya ke kamu. Waktu nunggu di lobi. Itu kalo, bukan pacar terus apa?” Dhea mempertanyakan gosip yang dia dengar.
“Ha? Leon ngasih jaket ke Zindy. Zin, kok kamu nggak bilang udah sejauh itu. Ih, tega kamu nggak ngasih tahu aku.” Rara ikut heboh.
“Itu salah paham, Ra. Sumpah. Aku nggak ada apa-apa sama Leon.” Zindy membela diri.
“Jadian juga nggak papa kok. Aku senang kalo temen sekelasku bisa jadi pacarnya Leon.” Mata Sella berbinar.
“Iya. Apalagi dia sweet banget. Ah, kayak di drama korea. Ngasih jaket. Aduh, kapan ya aku bisa digituin. Nggak usah sama Leon, deh. Sama anggota gengnya yang anak basket juga boleh.” Vira mulai berkhayal.
“Aku mau dagang ke kelas lain dulu.” Zindy segera merapikan dagangannya ke dalam keranjang hijaunya.
“Aku ikut, Zin!” Rara langsung mengikuti Zindy.
“Aku beneran nggak ada apa-apa sama Leon. Waktu itu cuma kebetulan aja nunggu hujan reda. Dia tahu-tahu ngasih jaketnya ke bahuku. Aku kira sekolah udah sepi, tapi kok tetap aja ada yang lihat.” Zindy heran.
“Aku tuh udah dengar gosipnya. Tapi aku baru mau percaya kalo dengar dari mulutmu langsung. Kamu peka deh. Leon tuh masuk ke live-mu. Dia juga ngasih gift, lho. Mungkin ini kode!”
“Tapi, mungkin saja dia cuma perhatian. Aku kan nggak cantik. Mana mungkin dia suka?” Zindy tetap mengelak.
“Heh! Kamu tuh cantik, tahu! Cuma nggak percaya diri dan nggak sadar aja. Udah, kalo suka kejar aja.” Rara ikut menyusuri lorong kelas bersama Zindy.
“Aku balikin jaket Leon dulu.” Zindy beranjak menuju ke kelas Leon.
“Kenapa nggak bilang dari tadi? Ayo, cepetan!” Rara justru yang sangat semangat.
“Eh, ada Kakak Pita Fragile.” Celetuk anak-anak di depan kelas Leon.
“Cemilannya masih nggak? Aku mau beli.” Celetuk seorang anak kelas itu.
“Aku juga mau.” Celetuk anak lain. Dagangan Zindy kembali ramai pembeli.
“Kak, kapan jadian sama Leon?” Tanya seorang anak.
“Hah?” Zindy bingung harus menjawab apa.
“Ehm, maaf. Zindy mau ngembaliin jaketnya Leon.” Rara membelah jalan agar Zindy bisa masuk ke dalam kelas.
“Wah, so sweet banget!” Ujar seorang anak di dalam kelas itu.
Nampak Leon sedang berkumpul bersama gengnya. Dia ada di tengah menjadi pusat perhatian. Mereka nampak sibuk main game.
“Yon,ada yang nyariin elu!” Celetuk seorang anak.
“Siapa sih? Lagi mabar juga.” Leon cuek.
“Eh, maaf kalo ganggu….” Zindy menyapa dengan lirih.
Mata Leon langsung beralih. Dia tersenyum ke arah Zindy. “Eh, Nona Wirausahawan Muda!” Panggil Leon lembut.
“Aku ganggu ya. Ini cuma mau mengembalikan jaket. Maaf kalo ganggu.” Zindy menyerahkan jaket itu.
“Nggak kok nggak ganggu. Waktuku luang. Oh, daganganmu masih ya?” Leon menatap keranjang hijau Zindy.
“Iya, masih.” Zindy hanys menggangguk.
“Aku borong deh. Buat nemenin anak-anak mabar. Tuh, ambil.” Leon menyerahkan uang pecahan lima puluh ribu rupiah kepada Zindy.
“Banyak banget. Kemarin juga kamu udah ngasih aku gift waktu live.” Zindy enggan menerima uang itu.
“Udah, nggak papa. Ini baru mabar buat turnamen. Pasti pada butuh asupan. Iya, nggak?” Leon menoleh ke arah temannya.
“Iya. Baru butuh asupan.” Jawab gengnya kompak.
“Makasih.” Zindy menaruh keranjang hijaunya di atas meja Leon. Cemilan itu langsung ludes hanya bersisa sedikit.
“Kapan live lagi? Aku siap nonton.”
“Belum tahu. Mungkin weekend. Aku balik dulu ya. Makasih.” Zindy merasa jantungnya dag dig dug.
“Semangat. Nona Wirausahawan Muda!” Teriak Leon.
“Cie cie cie!” Goda Rara.
Aduh. Kok aku dag dig dug sih. Tapi kenapa ya rasanya lebih nyaman waktu bareng Abang Kalib.
“Zin, jam kosong nih. Ayok bikin challenge!” Rara sudah menyiapkan peralatannnya. Gulungan pita fragile warna merah dan warna pink itu mulai dia lilitkan pada bando hitam. Tak lupa dua buah pita dibentuk di bando sebelah kanan dan kiri. Ekor pita yang panjang sengaja ditambahkan. “Lihatlah mahakarya tangan Rara!”
“Tugasnya dikerjain dulu, Ra!” Zindy mengingatkan. Dia sibuk mengerjakan tugas dari guru yang tak masuk.
“Aku udah selesai kok. Tugasnya gampang. Nanti cocokkan jawabanku sama punyamu ya.” Rara sibuk menata riasannya.
“Iya, iya.” Zindy masih fokus mengerjakan tugas. “Akhirnya selesai. Nih, kalo mau dicocokkan.” Dia menyerahkan buku tulisnya pada Rara.
“Ana beberapa jawaban yang beda sih. Tapi, nanti sesuai keyakinan masing-masing aja. Nah, tinggal dikumpulin.” Rara menghela napas panjang. “Ayo, temenin Tiktok-an dulu. Nanti pulang sekolah udah harus belajar lagi aku!”
“Iya, iya. Ayo, Nona!” Zindy mengikuti kemauan Rara. Dia memakai bando lakban fragile karya Rara.
“Aku mau dance yang lagi viral. Latihan dulu. Ikuti nih petunjuknya.” Rara mengajarkan gerakan itu pada Zindy.
Zindy coba mengikuti secepat yang dia bisa. “Susah juga ya. Kamu memang ahli kalo tari-tari kayak gini.”
“Aku tuh pengen masuk jurusan tari juga. Tapi masih bingung. Udah, ayo take!” Rara memberikan aba-aba pada Zindy.
“Lumayan nggak hasilnya?” Zindy penasaran. “Kalo bagus boleh nanti upload juga di akunku buat ramein kontenku, hehehe.”
“Agak kurang. Iya, nanti tag akunku. Biar pengikutmu follow akunku juga.” Take ulang segera dilakukan. “Nah, ini baru bagus. Aku edit-edit sedikit. Terus upload.”
Mata Zindy mengamati apa yang dilakukan Rara. Konten itu diupload di akun Rara. Captionnya berbunyi: Bikin challenge viral sama Kakak Pita Fragile @zindy888_
#challenge #fyp #affiliatepemula
“Capek juga bikin konten.” Zindy merebahkan tubuhnya di sandaran kursi. “Eh, aku mau ke Ruang Tata Usaha. Mau mencicil SPP.”
“Ikut, aku temenin!” Rara segera beranjak dari kursinya. “Kelas lain nggak ada jam kosong. Kelas kita aja yang jam kosong.”
Nampak lorong sekolah yang sunyi. Nampak kelas lain sedang pertemuan tatap muka dengan guru. Ada yang sedang ujian. Ada yang sedang presentasi.
“Permisi, Bu.” Zindy menengok sambil mengintip ruangan tata usaha itu.
“Iya, masuk aja. Oh, kamu Zindy. Yang suka jualan di sekolah itu ya?” Staf tata usaha itu langsung mengenali Zindy.
“Ehm, iya, Bu. Ini mau mencicil bayar SPP.” Zindy duduk di meja administrasi. “Mau mencicil bayar tujuh ratus ribu dulu, Bu.” Tangan Zindy menyerahkan uang dari dalam dompet kecilnya.
“Iya. Ibu buatkan kwitansinya dulu ya. Tetap semangat sekolahnya. Semoga kalo ada tambahan kuota beasiswa kamu bisa masuk. Ini belum ada tambahan kuota lagi.” Ujar Ibu itu sambil memasukkan data di komputer. Tak berselang lama suatu kertas kecil dari HVS tercetak di printer. “Ini, Nak. Tetap semangat ya. Ibu dulu juga orang nggak punya. Sebelum berangkat sekolah dulu bantu jualan di pasar dulu. Melihat kamu yang semangat seperti ini, Ibu doakan semoga apa yang kamu usahakan selalu berhasil.”
“Terima kasih, Bu atas doanya. Saya pamit dulu.” Zindy keluar dari ruangan tata usaha. Mata Zindu menatap nominal pada kwitansi itu. “Hasil dari keuntungan jualan dan affliate Toktok. Sudah sedikit berkurang.”
“Udah?” Rara beranjak bangkit dari kursi di depan ruang tata usaha itu.
“Udah. Agak lega bisa mencicil sedikit. Maaf ya. Utangku ke kamu masih sisa. Uangnya aku pake buat mencicil SPP dulu.”
“Santai aja. Aku paham kondisimu kok. Kamu orangnua kuat. Aku bangga jadi sahabatmu. Mungkin belum bisa membantu banyak tapi aku juga bantu doa.” Rara berjalan di samping Zindy.
“Kalo udah bantu banyak. Modal jualannya kan pinjam uangmu. Kamu juga ngasih aku bando sama pita fragile baru. Itu berkah buatku.” Zindy tersenyum.
“Aku juga senang bisa punya sahabat kayak kamu.” Rara tersenyum.
Sore itu Zindy sibuk mengajari Zean mengerjakan tugas matematika. Kalib juga ikut belajar di ruang tamu. Dia berkutat dengan laptopnya.
“Zean maunya belajar sama Abang Kalib!” Rengek Zean. Dia menarik buku tulisnya lalu membawanya ke hadapan Kalib.
“Zean!” Zindy sudah berkacak pinggang. Wajahnya gusar. Bibirnya manyun.
“Bang, aku nggak mau belajar sama nenek lampir. Takut. Maunya belajar sama Abang aja!” Zean merengek pada Kalib.
Kalib tersenyum. Dia merangkul bahu Zean. “Iya, sini. Abang ajari. PR matematika ya? Ehm, mana yang belum bisa?”
Zean tersenyum. Dia mulai menunjuk bagian yang dia tidak pahami. Zindy merasa tak enak hati.
“Abang baru sibuk buat laporan PKL ya?” Zindy membaca sampul depan laporan yanv dibuat Kalib.
“Iya. Tapi aku malas ngedit kalo soal printilan-printilannya.” Ujar Kalib sambil sibuk mengajari Zean
“Ya udah, aku bantu. Searching di internet atau tanya AI pasti ada kan?” Zindy mulai membantu mengerjakan draft laporan itu.
“Hore! PR-nya udah selesai!” Zean kegirangan. “Aku mau main game dulu. Pinjam hape baru kakak!” Tangan Zean langsung mengambil smartphone Zindy.
“Hih, katanya tadi nenek lampir. Kok pinjem!” Sindir Zindy. Zean hanya terkikik sambil masuk ke kamar.
“Video challenge kamu sama temenku banyak yang kasih komentar.” Kalib membuka video challenge yang dibuat Zindy dan Rara tadi siang.
“Itu Rara memang suka iseng. Mumpung jam kosong jadi buat aja.” Mata Zindy fokus menatap ke layar laptop.
“Udah. Dicicil sampe kata pengantar aja cukup kok. Nanti isinya aku coba liat punya temenku juga. Di video ini banyak ya yang nge-ship kamu sama Leon.” Mata Kalib nampak tenang, namun matanya tak menatal ke arah Zindy.
“Mereka cuma bercanda. Aku juga nggak tahu harus gimana. Tadi malah dikira aku pacarnya Leon. Padahal nggak ada apa-apa.” Zindy merasa tak enak mengatakan hal itu.
“Zin, kamu harus bahagia. Sama siapa pun nanti….” Ujar Kalib. Ruangan itu tiba-tiba hening. Zindy seolah terpaku mendengar ucapan itu.
“Bang!” Terdengar teriakan Zean. “Ayo temenin aku mabar!” Tangan Kalib ditarik menuju kamar Zean.
“Iya, iya. Ayo!” Kalib mengiyakan ajakan itu.
Kenapa rasanya aneh. Aku cuma pengen bilang nggak mau jauh dari kamu, Bang. Tapi kenapa rasanya lidahku kelu.