“Cita-citaku memang jadi pegawai BUMN tapi itu perlu proses. Harus lulus SMA dulu baru kuliah. Lama juga ya prosesnya….” Zindy sejenak melamun memikirkan masa depannya. Suaranya berbisik. Melamun di perjalanan sepulang sekolah adalah salah satu caranya menata hati. Sejenak mengumpulkan tenaga agar tetap bisa kokoh memghadapi dunia.
Suara bising motor jadul Zindy sudah pasti membuat orang-orang di sekitarnya menolehkan pandangan. Hal itu diacuhkan oleh Zindy. Dia lebih memilih fokus ke depan jalan.
Mata Zindy menyipit sejenak saat sampai di halaman depan rumahnya. Rumah sederhana itu masuk ke dalam gang. Nampak seseorang ada di depan pintu rumah itu.
Cowok itu datang memakai jaket tebal. Ada koper hitam tergeletak di dekat pintu hijau. Cowok itu putih, hidungnya mancung. Badannya tinggi semampai.
“Siapa ya? Cowok putih dan tinggi. Tinggi kayak Leon. Ih, kok aku malah kepikiran Leon sih!” Zindy segera memarkirkan motornya. “Ada perlu apa ya, Kak?”
“Apa benar ini rumah Ibu Mirna Surya Utami?” Cowok itu menyebutkan nama lengkap ibu Zindy.
“Benar. Itu ibuku. Kamu ada perlu apa? Ibu masih kerja. Jam segini belum pulang.” Mata Zindy menatap ke arah jaket yang dikenakan cowok itu. “Kalibrasi Samudera Dimas?” Lontar mulutnya tanpa sadar. Dahi Zindy mengernyit.
“Eh, iya. Itu namaku. Namaku Kalibrasi Samudera Dimas. Bisa dipanggil Kalib. Ehm, aku SMK kelas sebelas jurusan multimedia. Mau ada praktek kerja lapangan atau PKL di kota ini. Ibuku sahabat baik, Ibu Mirna waktu kuliah. Aku butuh tempat kos yang murah. Ibuku menyuruhku kos di sini.” Kalib menjelaskan maksud kedatangannya.
“Hah? Tinggal di sini?” Zindy kaget. “Ibuku nggak bilang apa pun.
Terdengar suara sepeda listrik ke arah rumah itu. Ibu Mirna sudah pulang dari tempat kerja. Seragam biru cleaning service masih dia kenakan.
“Eh, kamu Kalib ya?” Sapa Ibu Mirna ramah.
“Iya, Tante. Saya Kalib.” Kalib mencium tangan kanan Ibu Mirna.
“Jauh lebih tampan daripada foto yang dikirim Sindhy….” Puji Ibu Mirna.
“Sindhy? Aku nggak ngirim foto ke Ibu. Aku disini!” Zindy bingung. Dia menunjuk ke arah wajahnya sendiri.
“Sindhy itu teman baik Ibu waktu kuliah di luar kota. Dia orangnya baik dan ramah. Pintar juga makanya kamu Ibu kasih nama Zindy. Terinspirasi dari nama sahabat baik Ibu. Ayo, Nak, masuk dulu. Udah Ibu siapkan kamar kamu.” Ibu Mirna mempersilakan Kalib masuk.
Kalib diantar masuk ke kamar yang berada di depan rumah dekat ruang tamu. Itu adalah kamar Simbah Kakung Zindy. Kamar itu kosong cukup lama. Mata Kalib mengamati kamar sederhana itu.
“Ini dulu kamar almarhum kakeknya Zindy. Oh ya, udah kenalan belum sama anak Ibu? Namanya Zindy Embun Anindya. Dia seumuran sama kamu Kalib. Kelas dua SMA juga.” Ibu memperkenalkan Zindy pada Kalib.
“Tadi udah sempat kenalan dikit, Tante.” Kalib melepas jaket yang dipakainya. Dia duduk di tepi tempat tidur. “Kamarnya lebih luas daripada kamarku di rumah, Tan.”
“Maaf ya kalo sederhana. Semoga kamu nyaman. Kalau mau makan, jangan sungkan. Meski sederhana, tapi Tante usahakan nasi selalu ada. Udah ya, kamu istirahat dulu aja. Pasti capek perjalanan jauh.” Ibu memberi isyarat Zindy untuk ikut keluar.
“Bu!!” Panggil Zindy. Dia langsung menarik tangan Ibunya. “Ibu apa-apa sih! Kok nampung anak orang nggak bilang dulu!” Zindy hendak protes.
“Kalib itu di sini sewa kamar. Ya meski setengah harga dari kos-kosan yang ada di sini. Sindhy dulu sering bantu Ibu waktu kiriman uang dari kampung telat. Ibu sering dipinjemin yang bahkan sering berbagi makanan. Ibu mau balas budi. Kalib itu yatim. Ayahnya meninggal waktu masih dalam kandungan.” Ibu Mirna memberi penjelasan kepada Zindy.
“Oh begitu.” Zindy tak jadi protes. Dia merasa menemukan seorang teman yang senasib. Tak punya sosok ayah dalam hidup.
“Ibu berusaha nambah pemasukan juga. Daripada kamar di rumah kosong mending disewakan meski setengah harga. Sekalian bantu orang. Kalib jurusan multimedia. Itu jurusan di SMK yang fokus belajar edit video juga. Kamu bisa tanya-tanya sama Kalib.”
“Wah, itu hal yang aku butuhkan, Bu. Aku butuh orang yang bisa ajarin edit dan take video lebih profesional.” Mata Zindy berbinar. Dia nampak antusias.
“Panggil dia kakak ya. Dia jauh lebih tua. Ibi mau mandi sama menyiapkan makan dulu.” ibu berlalu pergi menuju ke dapur.
Wah, ini hal yang aku butuhkan. Pertolongan Tuhan datang. Aku bisa punya teman untuk lebih banyak sharing tentang cara buat video.
“Jangan malam-malam tidurnya. Besok masuk sekolah.” Tangan Ibu sibuk merapikan baju yang selesai disetrika malam itu.
“Iya, Bu. Ini cuma take satu video pendek kok. Mau bikin ASMR jajanan yang pake micin. Biar akun Zindy ada konten.” Zindy sudah menyiapkan background berupa kain warna coklat nude. Lampu belajar warna putih menjadi lighting darurat andalannya. Di dalam otaknya yang penting konsisten daripada tidak sama sekali.
Peralatan pembuatan konten Zindu masih seadanya. Dia belum memiliki tripod. Tripod diganti dengan hanger dari kawat yang dibentuk menyerupai tripod. Background kain juga tidak baru. Memanfaatkan kemeja polos yang sudah lama tidak terpakai.
“Zean, jangan ganggu. Kakak baru mau bikin konten.” Ujar Zindy dengan nada meninggi.
“Wah, kamu konten kreator juga ya?” Kalib menghampiri Zindy.
“Ehm, iya. Aku pengen jadi affiliate Toktok. Makanya belajar konsisten buat upload video.” Zindy merasa canggung. Tapi dia tidak menampik. Wajah Kalib yang tampan membuatnya terpesona.
Ini cowok cakep juga. Manis kayak madu. Mata nggak bisa dibohongin.
“Boleh aku bantu? Kebetulan aku bawa tripod dan lighting.” Kalib menunjuk ke arah kamarnya.
“Boleh banget, Bang!” Zindy nampak antusias.
Kalib bergegas mengambil peralatan dari dalam kamarnya. Sebuah tripod dan peralatan lighting sudah ada di tangannya. Zindy merasa kagum dengan peralatan itu. Mulutnya sejenak menganga.
“Biar aku bantu setting tripod dan pencahayaannya. Aku bantu setting juga ya buat kameranya biar angle lebih dapet!” Kalib melakukan hal itu seperti seorang profesional.
Zindy mulai melakukan take video ASMR jajanan dari alumunium foil yang biasa dia jual. Suara riuh dari proses pembukaan kemasan menjadi fokus utama. Dia juga fokus me-review makanan itu di dalam piring.
“Wah, lebih bagus, Bang. Eh, aku izin panggil Abang boleh?” Zindy masih sedikit canggung.
“Boleh, Kalib juga boleh. Kita kan seumuran. Aku nggak tua-tua banget kok. Hehehe. Aku juga konten kreator di Yutub dan Toktok.” Kalib memperlihatkan akun miliknya. “Masih merintis sih.”
“Wah, tapi udah bisa pasang keranjang kuning tuh, Bang!” Zindy takjub.
“Iya. Tapi, aku lebih fokus ke Yutub. Akunmu apa? Sini, aku follow.” Kalib memberikan smartphone-nya pada Zindy. Kedua akun itu telah saling follow. “Ini kamu beneran edit sendiri ya? Wah, udah lumayan, lho buat pemula. Konten kreator profesional sungguhan ini.” Puji Kalib.
“Ah, jadi malu. Nggak juga. Masih belajar kok.” Zindy tersipu malu.
Siapa sih cewek yang nggak dag dig dug dipuji cowok seganteng ini. Aku punya teman sekaligus kakak senior buat bertanya ilmu. Benar-benar rencana indah dari semesta.