“Hari ini pakai keranjang seadanya dulu ya. Yang penting aman dan bisa dipakai buat bawa makanan.” Tangan Ibu sibuk mengelap keranjang warna hijau itu. Keranjang plastik yang biasa digunakan belanja sayuran ke pasar.
“Nggak papa, Bu. Yang penting bisa buat bawa jajanan.” Zindy dengan semangat mulai membuka kantong keresek berisi jajanan pasar yang dibeli dari pasar. “Setting kamera dulu, jangan lupa.”
“Lah, ngapain direkam?” Wajah Ibu bingung.
“Buat bahan konten, Bu. Zindy mau jadi konten kreator. Siapa tahu banyak yang follow akun Toktok Zindy. Butuh 600 followers biar bisa pasang keranjang kuning.” Tangan Zindy berusaha mengambil angle yang bagus dengan kamera belakang smartphone-nya.
“Ya udah,nggak papa. Biar kamu happy jalaninnya. Ibu doakan yang kamu mau tercapai.” Ibu tersenyum.
Aku ingin jadi konten kreator dan affiliate. Bukan untuk mencari kepopuleran tapi demi bertahan hidup. Ada masa depan dan perut yang harus diperjuangkan.
Setelah mengantar Zean, Zindy berangkat ke sekolahnya. Rara sudah menunggu Zindy di depan kelas. Wajahnya nampak antusias melihat dagangan Zindy.
“Wah, beneran jualan. Sini, aku bantuin bawa!” Rara menenteng satu kresek berisi makanan dari tangan Zindy. “Siapa yang pagi-pagi lapar? Nih, Zindy bawa banyak dagangan, Gaes. Enak-enak, lho.”
“Hush, Rara.” Zindy masih ragu mempromosikan dagangannya di dalam kelasnya sendiri.
“Emang jualan apa? Roti ada?” Celetuk seorang teman.
“Ada, dong. Warung Zindy, tuh lengkap, lezat dan ekonomis!” Rara makin gencar promosi.
Beberapa anak mulai membeli dagangan Zindy. Roti, cemilan kering, minuman dalam kotak serta jajanan pasar menjadi barang dagangan Zindy. Keuntungannya tipis, tapi bagi Zindy recehan itu amat berharga.
“Aku tadi udah ngambil video pendek waktu kamu jualan.” Rara menunjukkan rekaman itu.
“Duh, malu keliatan mukaku. Aku nggak pake make up.”
“Jangan malu. Ingat, mulai aja dulu. Biar akunmu bisa dipasang keranjang kuning tuh butuh 600 followers tahu. Nanti ini diedit pake sound yang baru viral. Aku juga udah ngerekam dikit buat bahan konten a day in my life gitu. Edisi bantu temen jualan hari pertama.” Rara tersenyum lebar sambil melihat rekaman itu.
“Iya, makasih, Ra. Nanti kirim ya ke handphone-ku. Udah, ayo duduk dulu ke kursi kita.” Zindy membenahi dagangannya.
“Akun Toktok-ku follower-nya baru belasan. Mau naikin jadi 600 kayaknya susah. Apa kayak yang baru viral ya? Share, comment back. Saling follow orang gitu…”
“Jangan kayak gitu. Kita tuh mau dagang. Kalo pengikutnya juga pedagang, buat siapa promosinya. Udah, konsisten upload konten aja dulu. Nih, aku baru mencicil ngedit videoku tadi.” Rara memperlihatkan hasil pekerjaannya.
Tolong mudahkan jalanku, Tuhan. Aku ingin jadi affliate bukan untuk pamer. Tapi demi menyambung hidup dan mengubah nasib agar masa depan cerah.
“Oh ya, skincare buatmu udah sampai. Kemarin aku pakai pengiriman instan. Aku juga bawain bedak sama liptint. Nanti dipake ya. Biar keliatan cakep waktu jualan sambil bikon konten. Sekarang belajar dulu deh. Sapa tau kalo nilaiku bagus semester ini, aku bisa masuk siswa eligible.” Rara mulai mengeluarkan buku catatannya.
“Nah, gitu dong. Harus semangat dulu. Makasih, Ra. Kamu emang bestie-ku.” Zindy tersenyum.
Bunyi melodi dari bel elektrik bergaung di ruang kelas itu. Nampak wajah-wajah lega, hampir bersamaan menghela napas. Menuntut ilmu memang bukan hal yang mudah. Butuh perjuangan dan semangat.
“Ayo, waktunya tawarin daganganmu!” Rara menyenggol bahu Zindy.
“Aku malu. Padahal tadi pagi berasa percaya diri banget. Temen sekelas tadi pagi belum seramai ini…” Tangan Zindy ragu hendak mengambil keranjang yang dia taruh di bawah meja. Keranjang itu tertutup kresek.
“Aku lapar, tapi mau ke kantin malas gerak. Jauh banget!” Keluh seorang temen cowok.
Rara memberi aba-aba dengan mata ke arah Zindy. Zindy menghela napas. Dia dengan yakin menenteng kembali keranjang itu.
“Eh, aku jualan, lho….” Kata itu terlontar begitu saja dari mulut Zindy. Suasana seolah hening sejenak. Semua mata tertuju ke arah tempat duduk Zindy.
“Jualan? Kamu jualan apa?” Celetuk salah seorang siswa lain.
“Ini ada banyak. Ada gorengan, roti, ada minuman juga. Murah, kok. Nggak mahal!” Zindy mulai membuka keranjang plastik beserta kantong kresek besar berisi dagangannya.
“Boleh, deh. Nyoba roti berapa?” Seorang teman cewek tertarik melihat dagangan Zindy.
“Murah, tiga ribu aja kok.” Tangan Zindy menerima uang dari tangan temannya itu.
Meja Zindy mulai dikerumuni. Beberapa benar-benar membeli. Beberapa hanya ikut penasaran saja.
“Ini tuh kelas bukan pasar. Bikin ribut aja!” Sentak Sella, dia mendatangi Zindy dengan wajah masam. Di sebelah kanannya dan kirinya ada Dhea serta Vira. Duo sohib yang selalu ikut mengekor Sella
“Iya, nih. Kalau mau dagang tuh di kantin. Bukan di kelas.” Timpal Dhea, tatapan sinisnya berasa menusuk.
“Kita tuh udah kelas sebelas. Harusnya mikirkn belajar! Waktu istirahatku yang berharga jadi terganggu, tahu! Gara-gara kamu, ribut sih waktu dagang!” Vira tak mau ketinggalan memgeluarkan komentar negatif.
“Iya, iya. Udah, deh. Ayo, pindah. Orang yang komentar terganggu cuma kalian kok. Yang lain baik-baik aja tuh.” Rara mulai membantu membereskan dagangan Zindy.
“Tiba-tiba banget belajar, biasanya juga yang ramai tuh kalian. Heboh sendiri main Toktok!” Sindir Zindy balik. “Aku tadi bisik-bisik, lho nawarin dagangan. Kalian aja yang heboh menanggapinya.”
“Udah, ah. Malas aku. Buang waktu aja meladeni hal nggak penting kayak gini.” Sella pergi meninggalkan area tempat duduk Zindy.
Zindu terduduk. Kakinya seolah tak kuat menopang tubuhnya. Dia menghela napas panjang yang dalam.
Harus kuat dan tahan banting menghadapi ucapan sinis. Ini bukan soal gengsi tapi hidup dan mati. Nasib masa depanku sudah di ujung tanduk. Jika SPP tak terbayar, bisa-bisa aku nggak dibolehin ikut ujian nanti.
“Ayo, kita coba dagang ke kelas lain.” Rara menarik bahu Zindy. “Siapa tahu bisa cuci mata lihat cowok ganteng, hihihi! Aku bantuin deh.”
“Ya udah, ayo. Percuma juga malu. Aku butuh duit.” Kedua tangan Zindy menenteng keranjang dan kresek dagangannya.
Kedua gadis itu melangkah keluar kelas. Rara sibuk mengabadikan momen dengan kamera smartphone-nya. Satu tangannya membantu membawa kresek kecil berisi dagangan Zindy.
Zindy tanpa ragu menawarkan dagangannya di lorong sekolah. Hati kecilnya berusaha kuat saat ada tatapan aneh mengarah kepadanya.