Siapa yang menjamin luka yang terlalu lama larut tak membentuk presipitat lara?
❤️❤️❤️
Dalam ruangan dingin berbalut cat putih dan suara monitor yang terus berbunyi mengabarkan kondisi. Di sinilah Argon berada, di ruangan rawat ibunya.
"Mah, ada Kak Ago."
Suara itu berasal dari adiknya yang ternyata sudah lebih dulu sampai. Dengan hanya satu tangan yang adiknya miliki, ia melihat adiknya memijat ibunya dengan sabar dan tenang. Argon masuk dan duduk di samping ibunya. Ia melihat ibunya kini membuka mata, menoleh padanya. Dari wajah ibunya yang kini sudah lemah dengan tubuh yang dibalut selang oksigen, masih saja bisa memberikan tatapan yang selalu membuat Argon merasa tak nyaman. Sebuah tatapan sayu yang untuk melihatnya saja, Argon enggan untuk mengecewakan.
"Papah selingkuh lagi, Go."
Suara ringkih yang tetap bisa Argon dengar, memberitahukan kabar lara yang entah keberapa kali ia telan. Lelah, sedih, marah, kecewa, sudah terlalu larut untuk Argon ceritakan. Sudah lama ia mengetahui dan ia pendam sendiri mengenai hal itu. Tapi kini, di titik kritis ini, selain dirinya dan ayahnya, siapa yang sudah memberitahu kabar itu pada ibunya?
"Dine," panggilnya pada adiknya.
"Iya, Kak."
"Kamu bisa tolong keluar dulu?"
Di pembicaraan serius ini, Argon merasa tak tega kepada adiknya yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar untuk mendengarkan. Oleh karenanya, Dine yang kian mulai mengerti apa arah pembicaraan selanjutnya hanya menuruti titah sang kakak.
Argon kembali menatap ibunya, menggenggam jari jemari yang setengah dingin. "Mamah tau darimana?" tanya Argon lembut.
Ibunya tersenyum getir. "Mamah tau sendiri."
Argon mengernyit meminta penjelasan.
"Iya, Mamah juga tau kamu dan Papahmu mencoba menyembunyikannya dari Mamah," lanjut ibunya masih dengan suara yang lemah.
"Argon ngga bermaksud gitu, Mah," sanggahnya dengan cepat. "Sekarang jawab Ago, Mamah tau darimana?" desaknya kemudian dengan nada yang lembut.
Ibunya kembali menampilkan senyuman. "Papahmu itu udah sering selingkuh, masa Mamah ngga hafal gerak geriknya."
Ago yakin dibalik senyuman ibunya itu terdapat lara yang sudah terlalu jenuh untuk dipaksa larut. Namun memang benar yang ibunya ucapkan, tapi selingkuhan yang terakhir ini sudah setahun lamanya Argon tidak mendengar kabarnya. Bahkan ibunya ini bukan tipikal orang yang masih mau membicarakan yang sudah lalu, tapi sekarang apa?
"Tapi Mah, bukannya papah udah ngga hubungan lagi? Setau Ago itu kabar dari setaun lalu," sangkalnya.
"Kamu pikir keharmonisan satu tahun ini karena Papah kamu udah jera?"
"Lalu apa, Mah?" Argon balas bertanya, keharmonisan yang ia rasakan memang sedikit janggall, lalu sekarang ia akan mendapatkan jawaban dari ibunya sendiri?
"Papah kamu memutuskan untuk menikah lagi." Satu kalimat yang sangat menyakitkan diucapkan oleh ibunya.
Buliran air mata kian jatuh menggenang di pipi ibunya, sedangkan Argon masih tak bisa untuk berkata apa-apa.
"Kapan, Mah?" Hanya itu kata yang bisa ia lontarkan.
"Sekitar setaun lalu, saat kamu lagi sibuk-sibuknya buat belajar ujian masuk perguruan tinggi. Saat tiba-tiba hadir Dine diantara kita yang ternyata merupakan anak ayahmu dengan selingkuhannya dan malah meminta Mamah buat ngerawatnya. Karena selingkuhannya nggak mau buat ngerawat Dine yang punya cacat fisik," ungkap ibunya itu dengan suara yang semakin lemah, memberitahukan kenyataan mengenai asal Dine yang sebelumnya Argon pikir adalah anak dari panti asuhan yang sengaja ibu dan ayahnya adopsi karena keterbatasan Dine.
Argon terdiam menatap ibunya. Di saat itu, saat Argon terlalu sibuk untuk sekedar mengerti bagaimana hancurnya perasaan ibunya. Ia membayangkan bagaimana luka yang ibunya paksa untuk larut, tapi garam yang ditambahkan ayahnya membuat luka itu berekasi dan membentuk presipitasi lara.
"Kenapa Mamah baru cerita sekarang?"
"Mamah nggak mau ganggu belajar kamu, Go."
"Tapi tanpa Mamah yang ganggu pun, Papah tetep ngasih tau Ago. Mamah tau? Ago mencoba menghindari Mamah karena Ago merasa bersalah nggak ngasih tau Mamah," tutur Ago. "Terus kenapa Mamah masih mau cerita? Ada kabar baru apa lagi?"
"Istri baru Papahmu mau ngambil Dine dan meminta rumah baru untuk mereka tinggal, karena sebelumnya Papahmu cuma ngasih sebuah apartemen kecil buat dia," papar ibunya yang semakin membuat Argon tercengang. Segila itukah selingkuhannya itu? Masalah rumah tak begitu penting bagi Argon, tapi Dine? Meski Argon masih mencoba untuk menerima Dine sebagai adiknya, tapi rasanya tak rela untuk mengembalikan Dine yang sudah dibuang kini mau dipungut kembali.
"Terus Mamah jawab apa?"
"Mamah ga jawab, Dine yang jawab, dia yang ngga mau dan lebih milih ikut ke Mamah daripada ibunya sendiri."
Argon sedikit lega.
"Dine anak baik, Mamah bersyukur dikasih dan dititipin dia buat nemenin Mamah, tentunya selain kamu."
Argon mengangguk setuju.
"Yaudah sekarang Mamah ngga usah pikirin lagi ya, Mamah fokus ke kondisi Mamah aja dulu. Aku bisa jaga diri sendiri sama Dine."
Ibunya mengangguk.
❤️❤️❤️
Kosong. Itu yang dirasakan Argon saat pulang ke rumahnya. Ibunya dirawat, Dine menemani ibunya, ayahnya? Ngakunya sih dinas, tapi Argon tak percaya. Ia melangkah ke dalam kamarnya untuk mengistirahatkan diri. Di rumah yang kosong ini tak ada kegiatan yang Argon lakukan selain kembali ke kamarnya. Ia melempar sembarang tasnya ke ranjang, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam dan rasanya ia seperti sudah melewati malam yang panjang.
Mengingat seorang wanita yang tak ia kenal tadi di rumah sakit malah mengetahui dirinya. Tapi ia tak berlama-lama memikirkan itu, ia kemudian menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri setelah hari yang sibuk dan penuh kejutan ini.
Setelah selesai membersihkan diri, Argon lanjut mengerjakan tugasnya yang tadi belum sempat ia kerjakan karena terlalu malas berada di antara mereka yang lebih sering bergosip daripada menyampaikan gagasan ide. Kemudian ia juga mulai teringat seorang gadis yang menabaraknya tak sengaja. Wajah yang tak asing sedikit membuatnya penasaran. Namun tak memusingkan itu ia kembali melanjutkan kegiatannya yaitu mengerjakan tugas.
❤️❤️❤️
Di sore hari yang cerah ini, Alanin termangu di tengah taman rumah sakit. Menyendiri tanpa membutuhkan orang lain untuk menemani. Setelah infusnya selesai tadi siang, ia kini sudah harus pulang. Namun meski begitu, ia lebih memilih untuk berlama-lama di sini. Merenungi sebuah nasib yang membuatnya sesak dada untuk memikirkannya saja. Saat di mana Alanin berada pada titik terendahnya. Ketika ia merasa semua orang meninggalkannya, membiarkan Alanin seorang diri.
Buliran air mata mulai menetes melewati pipinya, mengenang sebuah memori saat dunianya terasa hancur di tempat ini. Ditinggal untuk selamanya oleh sang ayah. Kemudian saat ia belum benar-benar sembuh, kejadian kelam menimpanya. Membuatnya trauma hingga kini. Saat luka yang belum sembuh, bagaimana bisa ia menahan perih saat ikut ditaburi garam?
"Mba Alanin?" Alanin mengerjap kaget, menyadari kedatangan seorang tukang ojek yang sudah ia pesan sedari tadi. Sekilas ia melihat tukang ojek itu sangat mirip dengan sosok yang ia rindukan. Seorang paruh baya dengan badan gemuk dan tinggi, mengemudi kendaraan yang juga sama. Alanin tersenyum getir, memilih segera mengangguk dan mengusap air matanya dan kemudian naik di atas motor yang terlihat tua itu.
Tukang ojek itupun kini melesatkan motornnya di antara hiruk pikuk jalanan kota yang ramai. Alanin yang masih menampilkan wajah yang sembab, tak sengaja terlihat oleh tukang ojek itu.
"Mba lagi sedih ya?" tanya tukang ojek itu tiba-tiba.
Mendengar itu Alanin lebih memilih tak menjawabnya dan malah mengalihkan perhatiannya pada yang lain.
"Mba kalo sedih boleh kok cerita ke saya, meskipun saya bukan siapa-siapanya mba dan ppasti saya juga ngga tau masalah apa yang sedang mba hadapin, yang penting mba bisa meluapin emosi mba."
Mendengar itu, hati Alanin terenyuh hingga membuatnya kembali menangis terisak. Entah bagaimanapun ia mencoba kuat tapi saat ada orang yang berbelas kasih membuatnya mewek tak karuan. Dadanya lebih sesak daripada tadi.
"Luapin aja mba, siapa tau dengan begitu secara tidak langsung bisa bikin lega. Karena bagaimanapun emosi yang udah lama mengendap juga butuh diluapin biar ngga jadi presipitat yang keras."
Alanin memuaskan tangisannya dalam diam, menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Bagaimanapun ia masih punya malu di tengah keramaian jalanan ini. Kemudian seterusnya ia hanya menangis dan tak mau bercerita, bagaimanapun orang lain tak boleh tau bagaimana masalah yang ia punya. Ia hanya bisa pendam sendiri tanpa boleh orang lain yang mengganggunya.
Setelah sampai pun Alanin hanya berterima kasih dan tak ada kata lain yang ia ucapkan hingga ia tiba di kamarnya dan menumpahkan semua sesaknya.