PAGI terakhir di bumi perkemahan dibuka dengan matahari yang baru naik sepenggalah dan udara dingin yang mulai mencair perlahan. Anak-anak mulai menggeliat di dalam tenda, beberapa sudah keluar menjemur sleeping bag, yang lain mulai antri di kamar mandi seadanya.
Tapi di antara hiruk-pikuk persiapan pulang, suasana di tenda ABAS terasa berbeda.
Laras keluar duluan dengan wajah murung. Di belakangnya, Hannah dan Jasmine menyusul, saling berbisik dengan ekspresi gelisah. Dwipa menyusul paling akhir, diam dan enggan menyapa siapa pun.
Tyas berdiri tak jauh dari mereka, seolah-olah tak ikut campur. Tapi matanya berkeliaran, memantau sekeliling dengan sorot menang seperti seseorang yang baru saja memutar balikkan arus.
Dan Arien?
Arien duduk sendirian di batu datar dekat lapangan utama. Rambutnya masih sedikit berantakan, kacamata sedikit berembun karena uap dari termos kecil yang ia bawa. Tapi tatapannya kosong. Tenang, tapi jelas terlihat... dingin kembali.
Di sisi lain, di bawah pohon besar tempat biasa mereka ngumpul pagi-pagi, anak-anak cowok Strigiformes duduk melingkar.
Gilang duduk dengan tangan menyilang di dada. Dilan sibuk ngoyak rumput tanpa tujuan. Ivan hanya diam, memandangi Arien dari jauh. Arsel sesekali menengok ke arah ABAS, lalu balik lagi, bingung.
Tapi Elen, yang biasanya paling santai, justru hari ini menghela napas paling berat.
“Kukira...” katanya pelan, “kukira bakal makin dekat.”
“...Ternyata malah nggak dekat lagi,” sambung Gilang datar.
“Capek sih. Baru semalam kayak keluarga, eh sekarang kayak nggak saling kenal,” gerutu Dilan.
Ivan tidak bicara. Menghela napas pelan, membuat uap terbentuk disekeliling wajahnya. Tapi sorot matanya tetap mengarah ke satu titik: Arien. Dan seperti malam-malam sebelumnya, ada keresahan yang tak ia ucapkan.
Seolah semuanya kembali ke titik awal.
Dan angin pagi hari itu membawa sesuatu yang lebih dingin dari embun:
jarak yang kembali tumbuh,
dan luka yang belum sempat sembuh... dibuka lagi.
***
Rupanya sejak subuh tadi, Tyas diam-diam bicara lagi pada masing-masing anak ABAS. Lewat nada kasual, ia mengulang narasi lama — bahwa Arien itu dingin, manipulatif, nggak peduli siapa pun, cuma pura-pura berubah demi perhatian cowok-cowok Strigiformes.
“Tadi malam, pas semua sibuk urusin Kirana, gue sempat lihat ada yang ngeliatin gue terus,” katanya pelan, suaranya dibuat seolah penuh pertimbangan.
Empat anak ABAS langsung menoleh.
“Siapa?” tanya Hannah setengah penasaran.
Tyas senyum kecil, bibirnya ditarik miring.
“Enggak tahu sih, tapi... rasanya gak nyaman aja. Tatapannya sinis banget. Kayak... aku ganggu suasana gitu."
Dwipa mulai melirik sekitar, agak gelisah.
“Maksud lo siapa?” gumamnya.
“Enggak penting sih, mungkin aku aja yang baper.” Tyas mengangkat bahu. “Tapi kalau memang ada yang gak suka sama aku, harusnya ngomong aja langsung. Nggak perlu... tatap-tatap dari jauh kayak—”
Ia berhenti, lalu tertawa kecil.
“Aduh, aku kebanyakan mikir kali, ya.”
Tapi kata-katanya udah cukup.
Suasana jadi canggung. Jasmine langsung nengok ke arah Arien yang masih duduk sendiri. Laras dan Hannah saling pandang. Mereka tahu Arien bukan tipe yang suka drama, tapi... selama ini Arien memang paling sering pasif saat Tyas ada.
Dan karena Arien jarang ngomong, gampang buat orang lain mengisi celah diamnya dengan prasangka.
Arsel yang menontoni lima anak perempuan itu mendengus "aneh gue lama-lama sama anak cewek tuh, kok bisa ya masalah gitu doang bisa sampai se-menjauh gitu? "
Gilang terkekeh, nyeletuk ke cowok-cowok Strigiformes, “Kukira tadi dramanya udah kelar, ternyata ada after credit scene.”
Dilan ngakak. “Yah, biasa. Anak ABAS, plot twist-nya selalu premium.”
Semua akhirnya duduk lebih dekat. Angin sore tak lagi terasa seganas tadi. Hari hampir selesai, tapi ikatan yang sebenarnya baru mulai tumbuh kembali.
***
Begitu semua sudah rapi dan perut sudah terisi sarapan, mereka naik ke truk-truk yang sama seperti berangkat. Tapi suasana sudah berbeda.
Arien duduk di pinggir truk, dekat pintu belakang, earphone di satu telinga, menatap ke luar. Tak ada yang menyapa, tak ada yang mengajak ngobrol.
Hannah dan Laras saling pandang, tapi belum berani bicara. Jasmine gelisah. Dwipa mencoba bersikap netral, tapi jelas hatinya kacau.
Sementara itu, Tyas—duduk nyaman di tengah anak-anak Caper—tersenyum kecil.
Anak-anak cowok Strigiformes yang biasanya membuat tertawa teman-teman kelompoknya hanya bisa ikut terdiam menatap empat anak perempuan yang nampak menjauh dengan seorang anak
Mereka tidak ada yang berani membuka pembicaraan di truk, walau hanya celetukan karena melihat sesuatu yang aneh yang tak pernah mereka lihat dikota
Bahkan Ivan yang paling pintar menengahi masalah pun terdiam, ikut terbawa keheningan Arien. Tidak berani untuk sekedar menegurnya
"Ini nggak ada yang mau mulai ngomong gitu? " Dilan menyikut Arsel, berbisik pekan sekali
Arsel mengangkat bahu " Kalau mau, elo aja deh, Lan. Lihat mukanya saja sungkan gue"
Inilah mereka, lelaki yang takut wanita