"Lo gak suka sama Yara, ya?"
Pertanyaan Alvi mungkin terdengar polos dan hati-hati.
Tapi entah kenapa, Alvi bisa merasakan emosi Fana yang sedang marah. Sangat marah.
"Kalo gua suruh pilih, lo milih gua atau dia?"
Alvi terkejut.
Fana biasanya bicara dengan imut lembut dan sopan. Ini pertama kali Alvi mendengar Fana menggunakan lo-gua.
Alvi tau dia sangat marah.
Walau begitu, dia tidak tau alasan pastinya.
Kalau Fana memang tidak suka dengan Yara, bukankah itu urusan mereka?
Selama ini, Yara memperlakukan Alvi dengan baik. Repot-repot menjemput Alvi tiap pagi, makan siang bersama Alvi, bahkan mengantar Alvi pulang setiap Selasa.
Tapi selama ini, Alvi juga melihat bagaimana Yara memperlakukan Fana. Dingin, cuek, jutek. Sama seperti saat Alvi pertama bertemu dengan Yara.
Dari situ Alvi menyimpulkan, "Oh, mungkin mereka gak suka satu sama lain."
Biar begitu, Alvi tidak ada hubungannya. Jika Yara dan Fana tidak mau berteman, ya sudah.
Alvi bisa berteman dengan Yara, dan Alvi bisa berteman dengan Fana. Mereka tidak harus berjalan bertiga beriringan setiap saat.
Begitu pikirnya.
"Kok lo diem, Vi?" suara Fana bergetar. Sepertinya ia akan menangis.
Alvi menatap wajah Fana lekat-lekat. Kulit kuning langsatnya sedikit memerah. Rambut lurus panjang nya sedikit lepek karena keringat. Tapi wajahnya yang hampir menangis masih sama manisnya seperti biasa.
"Gue... gue gak bisa pilih, Fan. Gak bisa ya kalo gue tetep temenan sama kalian berdua?" jawab Alvi perlahan.
"Gak bisa!" Fana langsung menjawab.
"Gak bisa! Gak bisa! Gak bisa!" Fana berteriak sambil menghentakkan kakinya seperti anak kecil.
Karena hentakannya itu, beberapa siswa yang melewati lorong untuk pulang memperhatikan mereka.
"Eh, itu bukannya si Fana?"
"Imut banget ya kayak malaikat?"
"Kok kayak nangis sih? Jangan-jangan si Gendut itu lagi yang nangisin?"
Alvi memegang siku kirinya. Kesadaran diri Alvi meningkat. Ia merasa seluruh dunia sedang melihatnya dan ia merasa ia yang salah.
"Fan.. lo... gue... gue gak tau kenapa lo kayak gini. Kalo gue salah lo kasih tau gue. Apa yang salah, Fan?" tanya Alvi lirih.
Fana menghapus air matanya dan menarik tangan Alvi.
"Ikut aku!" perintahnya.
Alvi menurut, membiarkan tangannya ditarik oleh Fana yang bertubuh mungil.
---
"Vi, kamu tuh mirip sama kakak aku. Makanya aku suka banget temenan sama kamu. Aku mau jalan bareng kamu, mau ngobrol bareng kamu, pokoknya bareng kamu," Fana mengaku.
"Aku selalu keinget kakak aku kalo bareng kamu. Kakakku itu baik, pendiem, dan pemalu. Persis kayak kamu,"
"Bahkan sampe terlalu baik mungkin. Makanya tragedi kayak gitu bisa kejadian,"
Alvi, sekarang sedang duduk di warmindo dekat SMA mereka, mendengarkan cerita Fana dengan seksama.
"Yara pernah satu SMP sama aku, tapi di tengah-tengah semester, dia tiba-tiba pindah. Banyak yang bilang karena dia berantem sama siswa SMP situ sampe siswa itu masuk rumah sakit,"
Alvi menyeruput pop-ice coklatnya tanpa memindahkan matanya dari wajah Fana.
"Kakakku itu benci sama senioritas. Dia gak masalah main sama adek kelas satu tingkat di bawahnya. Waktu itu, ada adek kelas yang suka main bareng dia, dan adek kelas itu kebetulan sekelas sama Yara,"
"Sehari setelah pindah, Yara jadi pusat perhatian kelas. Semua orang mau main bareng dia, mau ngobrol, mau makan bareng. Akhirnya adek kelas kakakku yang udah dia anggep temen deket gak mau main lagi sama dia,"
"Kakakku gak curiga apa-apa waktu itu. Dia pikir mungkin temennya cuma kebawa suasana karena ada murid baru. Dan karena kakakku baik, dia juga berusaha berteman sama Yara,"
"Kakakku itu mirip kamu, Alvi. Fisik dan sifat, mirip," Fana menekankan.
"Seminggu itu, dia bangun tiap pagi buat siapin bekel makanan tinggi protein, khusus buat Yara, karena kakakku tau dia bakal tanding sebentar lagi,"
"Awalnya Yara seneng-seneng aja dan terima dengan senyum. Kakakku kira, dia udah sukses temenan sama Yara. Sampe suatu har, tiba-tiba Yara berubah,"
"Yara lempar bekel yang dibuatin sama kakakku itu di depan kelas, ke lantai,"
"Dia nantangin kakakku makan makanan yang udah dia buang ke lantai,"
"Dan kakakku lakuin perintah dia, karena kakakku pengen jadi temen Yara,"
Mata Alvi terbuka lebar. Ia hampir saja mengeluarkan pop-ice dari hidungnya.
"Kakakku dibuli selama SMP karena kejadian itu. Orang-orang terus manggil dia "babi" dan Yara gak pernah ngebela dia sama sekali,"
Fana meneteskan air mata.
Alvi ikut simpati.
"Aku gak mau itu kejadian sama kamu, Vi," Fana melihat mata Alvi. Matanya penuh kesedihan, tapi ada beberapa emosi yang Alvi tidak bisa mengerti.
"Awalnya mungkin dia ramah sama kamu. Tapi siapa yang tau kalo satu hari dia bakal begitu sama kamu?"
"Gimana kalo dia tiba-tiba bosen temenan sama kamu dan malu-maluin kamu di satu sekolah sampe orang-orang ngehujat kamu?"
"Aku gak mau kamu kayak gitu. Cukup kakak aku aja yang alami itu,"
"Tolong dengerin aku, Vi. Jangan deket-deket sama Yara lagi,"
Jujur, dalam hati, Alvi merasa dilema.
Tapi ia tidak bisa menunjukkannya kepada Fana.
Jadi Alvi hanya mengangguk dan memeluk Fana untuk menenangkannya.
---
"Emm, Yar?" panggil Alvi.
"Yes, princess?" Yara menyahut.
"Lo... gak usah jemput gue lagi tiap pagi,"
Mereka sedang ada di tanjakan. Tiba-tiba, mesin motor Yara mati.
"Ah... sorry, gua kaget. Kopling-nya..." gumam Yara.
Alvi menutup mulut. Membiarkan Yara menginjak-injak motornya dan menggerakkan gas, membuat suasana jadi kondusif.
"Gimana, Vi? Lu gak mau gua jemput lagi?" tanya Yara segera setelah ia bisa membawa motor ninja hitam itu dengan stabil.
"Iya, Yar. Gue... diomelin sama Ibu gue. Katanya... ngerepotin lo," jawab Alvi.
"Maaf ya, Bu. Alvi gak maksud buat fitnah Ibu," pikir Alvi dalam hati.
"Lu gak ngerepotin, kok. Toh, jalannya searah," Yara menanggapi.
"Ya kan tapii... ummm... bensin... gitu-gitu, tetep bayar. Ibu gue gak suka kalo gue numpang," Alvi membuat alasan.
"Gua perlu jelasin ke Ibu lu kalo gua yang selalu ajak lu berangkat atau balik bareng?"
"Gak! Gak gitu, Yar. Udah gak apa-apa, gue bisa naik angkot, kok, buat balik atau berangkat. Gue gak mau diomelin Ibu gue lagi. Mulai besok, lo gak usah jemput lagi ya?" Alvi sekali lagi menekankan dengan lirih.
Yara hanya diam, tidak tertarik menjawab.
Ini pertama kalinya perjalanan Yara dan Alvi ke sekolah sangat diam. Biasanya, Yara akan memancing pertanyaan dan bertanya tentang Alvi. Kemudian, Yara akan kaitkan semuanya dengan silat.
Biasanya perkalanan mereka penuh canda tawa ceria. Namun kali ini, hanya awan gelap dan perasaan tidak enak yang tersisa.
---
"Vi, lo bisa--"
"Umm, maaf, Nur, gue lagi... berantem sama Yara. Mungkin lo bisa kasih sendiri atau cari orang lain lagi buat anter bekel lo?"
Nur, siswi yang duduk di belakang Alvi mencengkram paper bag-nya. Ia terlihat kesal.
"Kalo lo gak ikhlas, dari awal lo bilang aja lo gak mau. Jangan malah berenti ditengah-tegah gini," ucap Nur.
"Maaf ya,"
Alvi hanya tersenyum kikuk dan berbalik badan, nyaman di mejanya.
Nur, dibutakan kekesalan, menendang kursi Alvi dengan kencang dari bangkunya.
Alvi hanya bisa diam dan berpura-pura fokus pada tugasnya.
"Alviii! Lu kangen sama gua gakk?" Yara datang menuju kelas Alvi.
Nur berhasil yang melihat Yara hari ini. Dan Alvi baru saja beralasan bahwa mereka sedang tidak akur karena bertengkar.
"Aduh, Yaraaa... timingnya pas banget" pikirnya dalam hati. Saat ini, Alvi merasa setengah lega, setengah berat.
Berkat Yara, Alvi bisa menghindari keisengan Nur. Tapi berkat Yara juga, ia bisa tambah diisengi setelah mendengar alasan bohong Alvi.
Mungkin saat Yara pergi, Nur bakal mulai mengancam lagi.
"Eh... Yara! Hai!"
Yara melihat paperbag di atas meja Nur, sedangkan Alvi sedang menengok kebelakang. Ia menyimpulkan.
"Alvi! Lu marah sama gua ya? Sampe bekel buat gua lu kasih orang segala!" Yara menuduh dengan nada bercanda.
Nur tersenyum kecil.
"Iya nih, Yar! Parah banget ya si Alvi! Nih, ambil balik!" seru Nur, menyodorkan paperbag itu.
"Thanks!"
Yara menerimanya dengan senang hati. Nur ikut tersenyum melihatnya.
"Ayo makan, Vi! Gua udah laper, nih!" ajak Yara.
"Ummm... gak dulu deh, Yar. Gue... gue... lagi... diet,"
Nur yang sibuk menatap Yara itu tiba-tiba menengok ke arah Alvi.
Begitu juga teman-teman sekelasnya yang lain. Mereka menengok, terkejut dengan deklarasi Alvi.
"Diet?!" pikir mereka bersamaan.
Yara menatap ke arah Alvi aneh. Kemudian menanggapi.
"Oh... gitu... oke..." katanya lirih sebelum berbalik badan.
Entah kenapa perasaan Alvi tidak enak.
bersambung