Amalia mengira semuanya akan kembali seperti biasa setelah pameran.Kuliah, tugas, dan hari-hari yang berjalan dalam ritme biasanya.Tapi yang tak ia duga, seseorang dari galeri seni independen ternyata datang diam-diam di hari pameran .Mereka tak bicara dengan siapa pun, hanya berdiri di luar lingkaran cermin, menonton, mendengarkan, lalu pergi tanpa sepatah kata pun.
Beberapa hari kemudian, Amalia mendapatkan surel dengan subjek yang singkat.
"Pertemuan?"
Isinya : undangan dari kurator galeri kecil di Jogja yang sedang menyiapkan pameran "Ruang Tak Bernama" Mereka tertarik dengan pendekatan Amalia dan timnya. Dan ingin mengundang mereka untuk membuat versi lanjutan dari intalansi tersebut.Bukan lagi tugas kampus.Tapi karya nyata.Untuk publik.
Amalia membaca surel itu tiga kali.Lalu menelepon Ziva.
"Ini bukan cuma tugas lagi, zi. "katanya pelan. "ini bisa jadi awal."
Ziva menghela napas panjang, kamu serius ? Kamu tahukan kamu akan sering melihat berbagai warna emosi secara langsung dari lebih banyak orang.
"Serius."
Dan di situlah semuanya berubah.Mereka bertiga mulai bertemu lagi. Bukan di ruang studio , tapi di kamar kost Amalia, di warung kopi ,di taman tempat Narasoma sering duduk diam dan menulis catatan suaranya.
Kali ini mereka tak lagi hanya membuat untuk nilai. Tapi untuk pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam. Tentang identitas, tentang keheningan, tentang apa yang tak terucapkan tapi tetap hidup dalam tubuh. Intalasi yang dulu mereka pamerkan berkembang lebih gelap,lebih intim , lebih berani.
Dan di tengah semua itu, Amalia mulai merasa sesuatu yang selama ini samar mulai menemukan bentuk. Bahwa kejujuran artistik bukan sekedar keberanian tampil beda, tapi juga keberanian untuk mendengar yang tak bersuara.Baik dalam orang lain, maupun dalam dirinya sendiri.
Amalia mulai menyadari satu hal, semakin ia menyentuh lapisan terdalam dari proses kreatif mereka, semakin kuat pula kemampuan itu muncul.
Warna-warna emosi bukan lagi sekadar kilasan samar. Mereka menjadi nyata, kadang terlalu nyata. Seorang dosen lewat , dan Amalia melihat semburat oranye keruh seperti luka yang belum sembuh. Teman sekelas tertawa di lorong, tapi warna biru yang koyak mengalir diam-diam dari pundaknya. Ia belajar memalingkan pandangan. Tapi semakin menghindar, semakin keras dunia warna itu menariknya kembali. Seolah berkata "hey, lihat lah aku disini."
Termasuk pada Narasoma.
Aura ungu samar itu, sejak awal, tak pernah pergi. Tapi kini, warnanya berubah tak lagi hanya gelap, tapi seperti pusaran. Ada retakan halus di pinggir-pinggirnya, seperti kaca yang menahan tekanan terlalu lama.
Suatu malam, saat mereka bertiga mendiskusikan ulang detail instalasi soal suara napas, pantulan cahaya, dan waktu jeda. Amalia merasa pandangannya bergeser. Udara di sekelilingnya mendadak berat. Dingin. Seolah seseorang baru saja membuka pintu ke ruangan yang telah lama terkunci.
“Narasoma,” ucap Amalia pelan. “Kalau kamu nggak nyaman cerita... nggak apa-apa. Tapi aku harus bilang ini. Ada sesuatu yang berat di kamu, dan aku takut itu keluar saat pameran. Dalam bentuk yang kita nggak bisa kendalikan.”
Ziva menghentikan gerakannya. Hening mengembang, tebal seperti kabut.
Narasoma menatap meja. Tangannya terkepal, buku jarinya memucat. “Aku pernah... kehilangan. Adikku. Bunuh diri. Dua tahun lalu.”
Ziva tertegun. Amalia hanya menunduk. Tapi warna itu ungu pekat, nyaris hitam menyeruak seperti gelombang panas.
“Aku... aku yang nemuin dia. Di kamar mandi. Aku teriak. Tapi semua sudah terlambat.”
Suara Narasoma pecah di akhir kalimat itu. Tapi lebih mengerikan dari kata-katanya adalah warna yang muncul di mata Amalia bayangan tembok kusam, suara tetes air yang tak kunjung berhenti, dan pagar tinggi di benaknya yang seolah berkata:
Aku kehilangan seseorang, tapi orang itu masih hidup dalam kepalaku. Dan itu lebih menyakitkan.
“Aku nggak tahu kenapa dia ngelakuin itu. Tapi aku juga nggak pernah nanya. Aku terlalu sibuk dengan kegiatanku, jadi 'kakak yang baik' tanpa benar-benar ada.”
Amalia menahan napas. Untuk pertama kalinya, auranya tidak hanya dilihat tapi terasa. Menghantam. Dan menembus dinding dalam dirinya sendiri.
**
Sementara itu, Ziva perlahan berubah. Semakin dekat ke hari pameran, semakin ia gelisah.
Semua harus sempurna.
Cahaya harus simetris.
Suara harus jernih.
Pantulan cermin harus pas.
“Ini bukan tugas kuliah, ini real deal! Kita harus bikin orang terkesan!” katanya suatu malam, dengan suara yang menggigit.
“Ziv, ini bukan soal tampil rapi,” sahut Amalia pelan. “Kita bikin ruang, bukan pertunjukan.”
Ziva terdiam. Tapi bibirnya bergetar, matanya berkaca. Lalu pecah juga.
“Aku nggak bisa gagal. Aku nggak pernah diajarin cara gagal. Kalau ini berantakan, aku juga ikut runtuh.”
Ia membuang muka, tapi suaranya sudah terlalu terlambat untuk ditarik kembali.
“Aku selalu harus jadi yang terbaik, Amalia. Kalau nggak... aku takut nggak dianggap.”
Amalia hanya berdiri diam. Di antara aura ungu yang berdebar keras dan merah jernih Ziva yang meledak dari dada, ia merasa tubuhnya seperti kaca.
Transparan. Retak. Terlalu banyak warna yang menabrak sekaligus.
**
Malam itu, saat sendirian, ia berdiri di depan cermin kecil di kontrakannya cermin dari studio lama yang kini menggantung tak sempurna.
Ia menulis satu kalimat di post-it, lalu menempelkannya di bawah pantulan wajahnya:
“Melihat bukan berarti harus menanggung.”
Bukan kutipan. Tapi mantra. Untuk menjaga batas. Untuk tetap waras.
**
Dan karya mereka pun terus tumbuh. Seiring konflik. Seiring pengakuan. Seiring keberanian untuk percaya meski tak semua luka bisa sembuh, dan tak semua pertanyaan butuh jawaban.
Mereka sedang menciptakan sesuatu yang bukan hanya bisa dilihat tapi bisa dirasakan.
Dalam diam. Dalam gelap. Dalam ruang yang menampung bahkan yang tak sanggup diucapkan.
Karena terkadang, karya paling jujur...
adalah yang paling menyakitkan untuk dibuat.
Amalia tidak bisa tidur. Sudah tiga malam berturut-turut . Kamar kost nya senyap, hanya suara kipas angin berderit pelan di langit-langit. Tapi di balik keheningan itu, kepalanya dipenuhi warna-warna yang tidak bisa ia namai. Kilatan ungu kelam yang seperti menyayat,hijau tua yang menggulung seperti ombak pecah, dan merah yang berkedip tak beraturan. Semuanya bukan miliknya, tapi menempel di dalam dirinya.
Sejak percakapan terakhinya dengan Narasoma, penglihatannya tidak lagi sama. Sebelumnya, emosi orang-orang muncul di matannya seperti kabut halus, lembut dan samar. Tapi sekarang, warna-warna itu membanjiri pandangannya, menembus kulit dan tulang, menusuk langsung ke dalam dada.
Lebih buruknya, warnanya tidak hanya muncul pada orang. Ia melihatnya di dinding lorong kampus, di pantulan cermin kamar mandi, bahkan di udara yang ia hirup. Seolah setiap rasa sakit, ketakutan, dan rahasia orang lain kini bersemayam di pori-porinya.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap jari-jarinya yang gemetar. Di sekitarnya, dunia tampak biasa. Tapi dalam dirinya, ada sesuatu yang retak.
"Kenapa aku." bisiknya.
Ia membuka buku sketsa, mencari halaman kosong. Tangannya terulur, memegang pensil, dan mulai menggambar garis-garis tak tentu. Tapi seperti air. Ia menggambar gelombang, melingkar, lalu pecah. Ia tidak tahu itu apa, hanya merasa harus mengeluarkannya.Seperti muntah dari dalam kepala. Begitu selesai, ia menyadari itu wajah Narasoma. Terpecah, mengambang di tengah laut. Setengah tenggelam, setengah terbakar cahaya jingga. Saat ia menyentuh gambar itu, sesuatu yang aneh terjadi. Kertas itu, basah. Benar-benar basah,seperti air laut meluber dari pensilnya sendiri. Ia terpental ke belakang , Jantungnya berdegup kencang . Tangannya bergetar hebat.
Keesokan paginya, warna-warna itu mulai menyakiti tubuhnya.Bukan hanya pandangan tapi kulitnya terasa panas, otaknya berdengung seperti tersambung langsung ke perasaan orang lain tanpa filter. Satu-satunya yang ia rasakan dari dirinya sendiri hayalah kelelahan.Kebingungan. Dan rasa takut yang tumbuh setiap detik.
Amalia nyaris tidak hadir dalam rapat minggu itu. Tapi ketika Ziva menyeretnya untuk datang ke koordinasi teknis pameran di sebuah galeri independen jogja, ia tak punya pilihan. Galeri itu berlantai dua, bergaya industrial dengan tembok putih polos dan jendela besar yang menghadap ke jalan. Sore itu, ruang tengahnya dipenuhi mahasiswa dari berbagai kampus yang tergabung dalam kolaborasi lintas program studi. Meja panjang, catatan-catatan, dan suara sumbang proyektor yang menampilkan daftar karya . Udara terasa tebal oleh tekanan, ambisi dan kecemasan. Amalia langsung mencium aromanya bukan lewat hidung , tapi lewat warna. Ziva duduk disampingnya, mengutak-atik ponsel sambil sesekali menatap layar depan. Tapi aura Ziva kali ini berbeda. Dulu dia memancarkan warna orange tenang dan bersemangat, percaya diri , dominan. Kini warna itu berubah merah menganga. Seperti luka yang mengering terlalu cepat, meninggalkan kerak.
"Ziva... kamu nggak apa-apa?" tanya Amalia pelan.
Ziva menoleh sekilas. Senyum tipis." Aku baik.
Bohong. Itu tak hanya nampak pada wajahnya , tapi terasa. Dan saat Amalia menatapnya lebih lama, warna merah Ziva mengalir keluar.Menetes dari tubuhnya ke lantai, merambat seperti tinta.
Tiba-tiba dunia Amalia berputar .
Suaranya sendiri terasa jauh. Ia menutup mata, tapi warna-warna itu tetap muncul di balik kelopak . Menyerbu, menggulung, berteriak. Seperti ada ratusan orang dalam satu kepala. Ketakutan , Rasa bersalah, Kemarahan. Semuanya berteriak, berebut ruang dalam tubuhnya yang kecil. Ia berdiri mendadak. Kursinya bergeser keras. Semua kepala menoleh.
Ziva menggenggam lengan Amalia."Hei,kamu kenapa?"
Tangan Ziva menyetuh kulitnya. Dan saat itu juga, ledakan cahaya keluar dari tubuh Amalia.Tak terlihat orang lain, tapi terasa. Suhu ruangan berubah. Kaca jendela berembun, seperti napas ribuan orang bersamaan. Salah satu lampu gantung bergetar dan padam.Layar proyektor berkedip. Speaker menggema sendiri dengan suara mendengung. Salah satu karya instalasi yang sudah terpasang bergoyang dan roboh.
Ziva terlempar ke belakang . Tidak jauh, tapi cukup untuk membuat semua orang berdiri dan panik. Amalia menutup telinganya, berusaha menghentikan jeritan dalam kepala.Tapi bukan jeritan dari luar, itu suara dari ingatan orang-orang di ruangan. Seseorang menangis karena ayahnya meninggal. Seseorang menyimpan kebencian yang mendalam, seseorang merasa ingin mati karena gagal tugas akhir. Semua itu menyerbu, Amalia bersamaan . Tanpa pagar . tanpa batas.
Ia terjatuh.
Amalia terbangun di ruang sunyi. Bukan rumah sakit. Bukan juga kamar kosnya . Bau cat minyak dan tupentine samar menguar di udara. Ia menoleh, kanvas kosong berjajar di dinding , dan sebuah kursi kayu di sudut. Ternyata itu adalah studio yang digunakan untuk ruang transit para seniman tamu.Seharusnya ia tak berada di sini, Kepalanya berat. Tapi yang lebih berat adalah dadanya.
Pikirannya masih penuh gema , tangisan , suara-suara, warna-warna yang tak semestinya ada di dunia nyata. Semua terlalu dekat. Terlalu telanjang. Ia merasa seperti perampok yang masuk ke jiwa orang tanpa izin.
"Sudah sadar?'
Suara itu dalam . Pelan. Tenang. Narasoma.
Amalia menoleh , dan laki-laki itu duduk di lantai,punggungnya bersandar ke tembok, tangan di saku jaket.Tenang seperti biasa. Tapi mata Narasoma, mengamati seolah bisa melihat jauh ke dalam dirinya.
"Kamu yang bawa aku ke sini ?" tanyanya, parau. Narasoma mengangguk.
"ziva panik. yang lain lebih parah. Jadi aku ambil alih."
Amalia menunduk. Tangannya gemetar,"Aku...menyakiti mereka?"
"Mereka cuma kaget. Tidak ada yang terluka serius."
Amalia mengigit bibir bawahnya."Tapi aku bisa saja mencelakai orang lain yang berada di dekat ku. "Aku takut ini...aku juga benci ini. Aku bisa melihat warna orang , mendengar isi kepala mereka dan aku juga membuat ziva terlempar. Aku gak mau ini. aku gak pernah minta bisa seperti ini. Aku capek . Aku cuma mau hidup normal, kuliah, ngerjain tugas, berteman. bikin karya.Tapi sekarang...bahkan senyum orang pun bisa melukai ku."
" Apa kamu tahu kenapa kekuatanmu lepas kendali.?"
Amalia menggeleng, masih menunduk.
" Karena kamu menahan semuannya sendirian terlalu lama. Kamu menyerap, tanpa pernah membuang. Seperti spons yang sudah penuh airnya."
Amalia menatap Narasoma dengan mata basah. " Lalu aku harus bagaimana?"
"Belajar mengendalikan. Atau belajar menerima. Tapi yang jelas, bukan dengan membenci dirimu sendiri." Ia menoleh ke luar jendela, sinar matahari menembus kisi-kisi kayu. " Kalau kamu terus benci, atau menolak menerima. Kekuatan ini akan makin tak terkendali. Dan kamu akan makin jauh dari dirimu sendiri."
Amalia memejamkan mata. Air mata mengalir. Bukan karena takut. Tapi untuk pertama kali dia merasa ada seseorang yang mendukungnya. seperti support sistem yang tak pernah dia dapatkan, dikarenakan dia terbiasa hidup seorang diri.
Hari - hari berikutnya , studio kosong menjadi semacam tempat persembunyian . Bagi amalia, tempat itu terasa seperti rongga di antara dunia yang bising. Tempat ia bisa diam tanpa kewalahan. Tapi ia tidak sendiri. Narasoma sering datang. Kadang membawa kopi sachet dan pisang goreng dari angkringan depan. Sementara Ziva sejak kejadian di galeri independen sering tidak muncul disekitar Amalia. Mungkin dia takut, atau mungkin dia marah. Amalia sendiri belum punya keberanian untuk bertanya atau menghubunginya.
Sore itu mereka nikmati dengan hening. duduk. kadang membaca, kadang hanya mengamati langit dari jendela.
Amalia mulai menyadari sesuatu . Aura Narasoma tidak lagi sepenuhnya gelap. Dulu, saat pertama kali melihat laki-laki itu, spektrum warnanya seperti malam , hitam pekat , keuunguan. kadang tajam seperti pecahan kaca. Sekarang warna itu berubah .Masih ada kelam, tapi muncul semburat biru tua. Seperti langit subuh . masih sunyi, tapi ada harapan. Dan yang paling aneh Amalia tidak merasakan sakit saat melihatnya.
"Aura mu berubah,"gumamnya . Narasoma berubah aura ku? "
"Warna mu dulu menyakitkan, sekarang tidak lagi."
Ia tertawa kecil." Mungkin karena kamu juga mulai berhenti menyakiti diri sendiri."
"Maksudmu?" tanya Amalia.
"Membenci kekuatan mu sendiri itu juga bentuk menyakiti diri, bukan?" Perkataan itu mengantam seperti tamparan lembut. Ia terdiam, menatap jari-jarinya yang saling meremas.
"Aku, sebenarnya masih takut . Takut kehilangan kendali lagi.Takut melukai orang . Tapi kamu benar.Benci tidak membuatku lebih baik". Narasoma mengangguk."Sama, aku juga lama hidup dalam ketakutan. Tapi takut itu kayak kabut. Semakin kita berlari, semakin kita tersesat ." Mereka terdiam bersama, memandangi cahaya senja yang jatuh di lantai kayu. Di antara sisa-sisa trauma dan ketidakpastian, ada sesuatu yang mulai tumbuh pelan-pelan . Penerimaan. Dan di mata Amalia , aura Narasoma kini bukan lagi malam. Tapi fajar.