Udara pagi ini terasa lembab, embun belum sepenuhnya menguap dari dedaunan di halaman kampus ketika Amalia berjalan menuju studio.Langkahnya lambat tapi pasti, membawa tas kain berisi peralatan gambar, sketsa yang digulung, dan secangkir kopi yang masih mengepulkan aroma robusta. Studio masih kosong, dia sengaja datang lebih awal agar bisa segera menyelesaikan tugasnya.Sinar mentari pagi mengintip malu-malu dari jendela. Ia membuka pintu, dan aroma familiar dari kayu, cat dan debu menyambutnya. Ia berdiri sejenak diambang pintu, memandangi hasil kerja mereka kemarin. Sketsa di dinding, tali lampu yang memantulkan cahaya pagi dengan cara yang aneh, seolah-olah mengingatkan pada percakapan yang telah disepakati.
"Jangan menyentuh fragmen masa lalu."
Amalia menghela nafas, lalu berjalan ke sudut di mana ia biasa mengerjakan sketsanya. Ia duduk bersila, membuka gulungan kertas sketsa, dan mulai menggambar ulang apa saja yang dilihatnya dalam mimpi semalam. Sebuah ruangan penuh bayangan samar, dan di tengahnya, sosok tanpa wajah yang berdiri menghadap jendela.
Baru beberapa garis terbentuk suara langkah kaki terdengar mendekat ke studio.Narasoma muncul dari balik pintu. Ia membawa notebook kecil dan flash disk yang menggantung di lehernya.Mereka bertukar pandang sejenak.
'Kamu berangkat pagi juga?" kata Amalia tanpa menoleh dari sketsanya.
"Nggak bisa tidur."
"Aku juga."
Narasoma duduk di lantai,bersandar pada dinding di dekat Amalia , tapi tidak terlalu dekat. Cukup jauh untuk memberi ruang, cukup dekat untuk membiarkan kehadiran mereka saling terasa.
"Aku bawa footage instalasi cahaya dari tugas lamaku. Mungkin bisa kita kembangkan untuk bagian akhir proyek ini."
Amalia mengangguk. Ia menggeser sketsanya agar Narasoma bisa melihat, tanpa benar-benar menunjukkan.Hanya isyarat, tanda bahwa ia membuka sebagian pintu.
"Aku mimpi tentang ruangan ini.Tapi lebih gelap banyak bayangan."
"Aku juga bermimpi tentang warna yang meledak kayak pecahan kaca. Dan semua warnanya bergerak. Nggak diem."
"Warna yang bergerak?"
Narasoma mengangguk, kemudian membuka notebook kecilnya, diperlihatkan nya halaman penuh dengan coretan dan kode warna dan garis-garis patah yang membentuk pola seperti labirin.
"Kadang aku ngelihat bentuknya, kadang cuma dengar suaranya. Setiap warna punya suara. Tapi cuma muncul kalau aku sendirian."
Amalia menatapnya. Hening. Tapi matanya bicara: Aku percaya.
Beberapa menit kemudian, Ziva datang sambil menguap lebar, membawa roti tawar isi keju dan minuman kotak. Ia menghampiri mereka dan langsung berkomentar, “Dua-duanya kayak habis mimpi buruk semalaman.”
Amalia dan Narasoma saling melirik. Tapi tak satupun tertawa.
Siang harinya, mereka memutuskan untuk mencoba sketsa instalasi cahaya pertama. Studio mulai dipenuhi kabel, proyektor mini, potongan cermin, dan lembaran plastik transparan yang mereka susun untuk menciptakan efek bayangan bergerak.
Narasoma sibuk memasang kabel dan menyambungkan sistem sederhana yang ia buat dari bekas lampu belajar dan program pemutar cahaya dari laptop. Ziva mengatur suara latar dan posisi kamera dokumentasi. Sementara Amalia memantau bentuk bayangan yang mulai muncul di dinding.
Saat semua siap, Narasoma menekan tombol play. Sinar warna-warni meledak di permukaan dinding studio, memantul dari cermin ke plastik, membentuk pola tak beraturan. Bayangan mereka sendiri ikut menari di antara warna.
"Wow..." bisik Ziva. "Ini... gila sih. Kayak masuk ke dalam isi kepala seseorang."
Amalia mengangguk perlahan, tapi dalam hatinya, ia merasa ada yang tidak beres. Warna yang ditampilkan terlalu tajam. Ada merah menyala yang menusuk matanya, mengingatkannya pada sesuatu yang tidak ingin ia ingat.
"Stop dulu," katanya tiba-tiba.
Narasoma menghentikan pemutaran. Semua menoleh padanya.
"Ada yang salah?" tanya Narasoma.
Amalia diam sesaat. "Merahnya terlalu... marah. Nggak bisa dipakai. Aku nggak mau ada emosi itu di sini."
Ziva tertegun. Narasoma hanya mengangguk. Ia tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu batas itu penting.
"Kita ganti komposisinya," ucapnya pelan. "Biar lebih lembut."
Dan malam itu, mereka bertiga mengulang lagi dari awal. Mengutak-atik warna, menggeser cermin, menyamakan tempo musik. Mereka tidak berbicara banyak, tapi setiap gerakan seperti telah disepakati dalam bahasa yang tak terdengar.
Saat akhirnya lampu dimatikan dan uji coba kedua diputar, studio berubah menjadi ruangan yang terasa seperti mimpi tenang, mengambang, dan tak sepenuhnya nyata.
Amalia berdiri dalam cahaya itu. Tubuhnya dibingkai oleh warna yang lembut, dan sesaat ia merasa seperti berdiri dalam pikirannya sendiri tapi kali ini, ia tidak sendirian.
Keesokan paginya, mereka menerima pesan dari kampus, dosen pembimbing akan datang meninjau progres proyek. Ziva langsung panik, membongkar ulang sketsa konsep mereka yang selama ini lebih bersifat intuitif daripada akademis.
"Gawat. Kita belum punya 'konsep akademik' yang bisa dipertanggungjawabkan secara teoritis," katanya sambil menepuk-nepuk kertas presentasi yang masih kosong. "Semua ini terlalu personal. Terlalu... raw."
Amalia menatap instalasi mereka: serpihan emosi, potongan-potongan kenangan, warna-warna yang saling menyerap. Ia tahu Ziva benar, tapi bagian dalam dirinya menolak menjelaskan karya itu dengan teori kaku.
"Gimana kalau kita pakai pendekatan fenomenologi?" usul Narasoma tiba-tiba. "Bahwa karya ini adalah representasi pengalaman emosional sebagai data sensorik yang tak bisa diobjektifikasi."
Ziva memutar bola matanya. "Kamu pikir dosen kita ngerti kata-kata itu?"
"Kalau nggak ngerti, kita bikin mereka ngerasain."
Amalia dan Ziva saling pandang. Dan untuk sesaat, mereka bertiga tahu : tidak ada jalan mundur. Mereka harus berdiri di antara dua dunia dunia akademis yang menuntut kerangka dan argumen, dan dunia batin mereka sendiri, yang berusaha berkata jujur lewat cahaya dan fragmen.
Dosen pembimbing datang siang itu. Bu Ratmi, perempuan dengan rambut yang disanggul ketat dan ekspresi seperti sedang menilai setiap milimeter dinding yang ia lihat. Ia mengitari studio tanpa berkata-kata, lalu berhenti di depan instalasi cermin dan lampu LED.
"Apa ini? Tanya nya datar.
Narasoma melangkah maju. "Ini representasi fragmen identitas yang tidak bisa dijelaskan secara verbal. Refleksi cahaya mewakili bias persepsi yang berubah tergantung dari posisi audiens."
Bu Ratmi mengernyit. " Terlalu abstrak , seni itu harus bisa dibaca. ini seperti instalasi museum kontemporer yang tidak punya narasi.
Ziva mencoba menjelaskan, " Kami ingin menghadirkan pengalaman bukan hanya sekedar visual. Kami ingin pengunjung mengalami dan merasakan , proyek ini adalah kolaborasi dari emosi dan visual.
Bu Ratmi mendesah, "Saya butuh draft tertulis. Argumen teoristis. Minimal 2000 kata. Kalau tidak saya tidak mengizinkan proyek ini dipamerkan."
Ia lalu berjalan keluar tanpa menunggu respon.Suasana studio membeku.
"Sial, " gumam Ziva . " Kita nggak bisa sekedar merasakan, di kampus ini, harus bisa menjelaskan."
Amalia duduk diam. Ia menatap instalasinya yang seolah kehilangan warna.
Narasoma mendekat " Kita bisa hadapi ini. Tapi kita perlu gabungkan dua dunia , bahasa akademik dan bahasa batin.Kamu bisa jadi jembatannya, Amalia."
Amalia menatapnya. "Kita butuh waktu." Kita masih punya waktu selama dua minggu. Dan kita pernah mengalami hal yang lebih rumit dari ini.
Malam itu, Amalia duduk di kamar kost nya. Laptopnya menyala, tapi belum satu kata pun nampak pada layarnya. Dia memandang lama layar laptop itu. Kemudian jarinya mulai digerakan, ragu-ragu. Dia mulai mengetik.
"Warna adalah bahasa pertama yang saya kenal, sebelum bisa membaca kata, saya sudah bisa membaca merah. Emosi datang bukan dalam bentuk kalimat, tapi bayangan dan cahaya. Dalam proyek ini, kami mencoba menerjemahkan perasaan yang tak bisa disuarakan menjadi objek, yang bisa dirasakan, bukan lewat definisi, tapi lewat pengalaman."
Baru saja mengetik beberapa kata, ponsel Amalia menyala.Nampak nama Ziva dilayar.
"halo, sapanya.
"Aku ke kost mu ya, kita kerjain tugas bareng.
Amalia menyetujui nya, dan sambil menunggu Ziva datang, Amalia mencoba merapikan kamar kost nya.
Beberapa saat kemudian Ziva datang dengan dua cup kopi yang dia beli di perjalanan sebelum ke kost Amalia, tentu tidak lupa dengan cemilan. Setelah berbasa-basi sesaat ke ibu kost. Mereka berdua masuk ke kamar Amalia.
"Kamu nulis?" tanyanya lembut.
Amalia mengangguk. "Aku coba mulai dari yang paling aku pahami. Biar nanti kamu dan Soma bisa bantu bangun logikanya."
Ziva tersenyum dan duduk di sampingnya. "Kita tim. Bukan penulis tunggal. Aku bantu nyusun struktur. Soma bisa cari referensi pendukung."
"Dan kamu bisa bantu filter, mana yang terlalu jujur buat konsumsi dosen," gumam Amalia sambil tersenyum miring.
Ziva mengangkat alis. "Deal. Aku editor rasa penjaga rahasia."
Hari-hari berikutnya diisi dengan menulis, membaca jurnal seni, berdiskusi, dan menyusun narasi. Proyek mereka berubah bentuk : dari hanya fragmen yang terpisah-pisah, menjadi satu kesatuan yang memiliki lapisan makna.
Tapi dalam proses itu, Amalia mulai merasa tergerus.
Kadang ia ingin berhenti. Tak ingin membedah isi hatinya hanya agar bisa dimengerti orang lain. Ia takut kehilangan makna personal dari karya itu. Takut menjadi mesin akademik yang hanya mengolah rasa jadi kutipan.
Dan suatu malam, saat semua sudah pulang, ia kembali membuka sketsa lamanya. Yang bergambar siluet laki-laki di lorong ungu.
Ia menatapnya lama.
"Apa aku mengkhianati kalian kalau membiarkan ini dibaca sebagai teori?" bisiknya.
Seseorang berdiri di ambang pintu. Narasoma.
"Kamu nggak mengkhianati siapa pun. Tapi kamu berhak menjaga sisi paling rapuh dari dirimu sendiri. Jangan biarkan siapa pun mengambilnya," katanya tenang.
Amalia menunduk. "Tapi kita butuh validasi untuk lulus."
"Kita butuh ruang untuk hidup. Lulus cuma bagian kecil dari itu."
Amalia mengangguk pelan, tapi matanya tetap menatap sketsa itu. Cahaya dari layar laptop memantul di pipinya, membentuk bayangan samar di sekitar mata. Ia terlihat letih, tapi juga tenang seperti seseorang yang perlahan menerima bahwa luka bisa tinggal, tapi tidak harus terus melukai.
Narasoma duduk di lantai, bersandar pada dinding. Ia tak berkata apa-apa untuk beberapa saat, hanya membiarkan keheningan tumbuh di antara mereka. Lalu ia berkata, pelan, “Kamu tahu, aku juga sering merasa… karya itu seperti ruang pengakuan dosa. Tapi tidak semua dosa harus diceritakan.”
Amalia menoleh. “Tapi jika kita tidak jujur, apa artinya jadi seniman?”
Narasoma tersenyum tipis. “Jujur bukan berarti telanjang. Kadang, kita memakai lapisan bukan untuk berbohong, tapi untuk bertahan. Untuk tetap bisa berdiri.”
Amalia menghela napas. Ia menutup laptopnya perlahan, lalu menyandarkan kepala ke dinding. “Soma…”
“Hmm?”
“Kenapa kamu percaya kita bisa gabungkan dua dunia itu?”
Karena kamu,” jawab Narasoma singkat. “Karena kamu bisa melihat dunia bukan cuma dengan mata, tapi dengan rasa. Dan kamu punya keberanian untuk menerjemahkannya.”
Suara pintu kamar berderit pelan. Ziva mengintip dari balik daun pintu. “Ganggu ya?”
Amalia langsung duduk tegak. “Enggak. Masuk aja.”
Ziva masuk, membawa selembar kertas penuh coretan dan secangkir teh hangat yang ia ambil dari dapur ibu kos. “Aku nemu struktur buat draft kita. Aku pikir kita bisa mulai dari pengalaman sensorik dulu, baru tarik ke teori estetika dan persepsi.”
Ia duduk bersila di lantai, membentangkan kertas. Narasoma mendekat. Amalia pun mengangguk dan mengambil pulpen, mulai mencoret beberapa bagian dan memberi tambahan di sisi kertas.
Tiga kepala itu merunduk di bawah lampu kamar kos yang temaram, menyatukan potongan-potongan ide, emosi, dan argumen menjadi sesuatu yang bisa diterima dunia luar, tanpa sepenuhnya mengorbankan apa yang ingin mereka jaga di dalam.
Malam semakin larut, dan di antara gelas-gelas kosong, sketsa yang terbuka, dan kertas penuh coretan, ketiganya tahu, mereka sedang menciptakan bukan sekadar karya. Tapi ruang. Untuk bertahan. Untuk bersuara. Dan untuk tetap jujur dengan cara mereka sendiri.
Hari Presentasi
Studio seni dipenuhi karya mahasiswa. Sebagian besar terlihat aman lukisan cat minyak, patung keramik, atau dokumentasi. Tapi di sudut yang paling remang, berdirilah instalasi milik Amalia, Ziva, dan Narasoma. Cermin-cermin yang digantung melingkar, lampu LED yang berubah warna perlahan, dan suara ambient samar dari speaker kecil yang tersembunyi di balik papan kayu. Tak ada label judul. Hanya ada satu kalimat kecil tertempel di dinding:
"Untuk yang pernah merasa tak bisa dijelaskan."
Bu Ratmi datang bersama dua dosen penguji. Langkahnya mantap, ekspresinya tetap seperti biasa: tajam dan nyaris tanpa emosi.
“Siapa yang akan menjelaskan?” tanyanya.
Amalia berdiri paling depan. Tangannya sedikit gemetar, tapi sorot matanya teguh.
“Saya,” katanya. “Tapi sebelum saya mulai, kami ingin meminta para dosen untuk tidak hanya melihat. Tapi masuk ke instalasi ini. Diam selama satu menit saja.”
Ada keheningan. Bu Ratmi mengerutkan kening, tapi tetap melangkah ke dalam lingkaran cermin. Dua dosen lain mengikuti.
Amalia memandang jam tangannya, lalu memberi isyarat ke Ziva. Musik ambient pelan menyala, cermin mulai memantulkan warna yang berubah-ubah: biru dingin, merah hangat, ungu yang samar.
Satu menit terasa lama. Tapi ketika waktu selesai, dan ketiganya keluar dari lingkaran, tak ada dari mereka yang langsung bicara.
Amalia memulai. “Instalasi ini adalah hasil dari pencarian akan bentuk bahasa yang tak verbal. Kami mendekatinya dari pendekatan fenomenologi mengutamakan pengalaman subjektif sebagai data. Warna, cahaya, dan suara digunakan sebagai elemen sensorik yang mencerminkan fragmen emosi yang tidak bisa dirangkum dalam narasi linear.”
Ziva melanjutkan dengan bagian struktur, mengutip Maurice Merleau-Ponty tentang persepsi tubuh dan dunia. Lalu Narasoma menutup dengan argumen tentang bias persepsi, dan bagaimana seni bisa menjadi media reflektif untuk itu.
Bu Ratmi diam lama. “Kalian tahu ini bukan karya yang mudah diterima,” katanya akhirnya. “Tapi saya akui, kalian telah berusaha menjembatani antara ekspresi personal dan konteks akademik dengan cukup cerdas.”
Ziva menahan napas.
“Karya ini... bisa dipamerkan.”
Ketiganya nyaris tidak percaya. Begitu Bu Ratmi berlalu, Ziva menarik napas dalam-dalam dan memeluk Amalia erat.
“Kita lolos,” bisiknya.
Beberapa Hari Setelah Pameran
Pameran sudah selesai. Instalasi mereka kini tinggal puing, lampu dicabut, cermin dikemas. Tapi Amalia menyimpan satu cermin kecil, dan menggantungnya di kamar kos.
Ia duduk di depan laptopnya malam itu. Menulis, bukan untuk tugas. Tapi untuk dirinya sendiri.
“Mungkin kita tidak pernah bisa benar-benar menjelaskan semua rasa. Tapi kita bisa memberi ruang untuknya. Dalam cahaya. Dalam pantulan. Dalam jeda.”
Ponselnya menyala. Pesan dari Narasoma:
“Aku simpan suaranya. Mungkin nanti kamu perlu mendengarnya lagi.”
Tak lama kemudian, Ziva mengirim foto mereka bertiga di depan instalasi, tersenyum lelah, tapi puas.
Amalia membalas dengan satu kata:
“Terima kasih.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian minggu, ia tidur dengan tenang. Karena ia tahu, karya mereka bukan hanya tentang kelulusan. Tapi tentang keberanian untuk jujur bahkan jika yang jujur itu harus memakai cahaya, bukan kata.