Amalia menutup bukunya, tapi pikirannya tidak ikut tertutup. Di layar matanya yang tak pernah benar-benar bisa ia matikan masih tertinggal bayangan ungu tua yang bergerak seperti asap, melingkari dada mahasiswa tadi. Seolah warnanya punya denyut, punya ingatan.
Ia mencoba mengusirnya. Mengalihkan. Tapi seperti musik latar yang tak tahu kapan harus berhenti, fragmen itu terus berputar. Bayangan samar itu muncul di sela-sela pikirannya, menyusup bahkan ke dalam diamnya. Tak peduli berapa kali ia menarik napas panjang, menggenggam tangan erat, atau memejamkan mata, warna itu tetap ada. Menunggu.
Sore hari, Amalia duduk sendirian di studio kriya. Di antara meja-meja besar berbau kayu, lempung, dan cat yang mengering, ia mencoba menyibukkan diri dengan sketsa rancangan logam. Cahaya matahari senja menyelinap dari kisi jendela, menimpa tumpukan alat dan bahan, menciptakan siluet yang panjang dan pudar. Tapi tangannya tak mau menurut.
Alih-alih menggambar bentuk geometris seperti yang diminta dosen, konsep simbol dalam kriya logam. Amalia justru menggambar... warna itu. Ungu tua yang hampir hitam, dengan guratan berliku seperti akar kering. Tangannya bergerak sendiri, seperti dituntun oleh rasa yang belum ia pahami. Setiap goresan terasa seperti membuka pintu ke tempat yang asing, tapi akrab.
Ia tak sadar berapa lama ia larut, sampai sebuah suara memecah keheningan.
“Wow. Gelap, tapi indah,” suara itu muncul tiba-tiba, ringan tapi jelas.
Amalia menoleh. Seorang gadis berambut pendek dengan anting di telinga kiri berdiri di belakangnya, mengamati gambar Amalia dengan mata terang penuh rasa ingin tahu. Bajunya longgar, warnanya cerah kontras dengan aura yang mengitari gambar Amalia.
“Aku Ziva. Anak kriya tekstil. Baru pindahan. Kamu Amalia, kan?”
Amalia mengangguk kecil, gugup tapi tetap diam. Ia tak terbiasa disapa lebih dulu, apalagi oleh orang yang begitu langsung.
Ziva duduk tanpa diminta. Ia meletakkan tas kanvasnya dan menyandarkan dagu ke tangan. “Tugasnya bikin pusing, ya? Tapi gambar kamu… beda. Kamu ngerasain bentuk dari dalam kepala?”
Amalia terkejut, walau raut wajah tetap datar.Dalam dada tegang juga .Apakah dia ketahuan? Tapi Ziva hanya tersenyum ramah.Dia seolah tahu apa yang Amalia pikirkan.
“Kadang aku juga kebayang tekstur aneh waktu lagi ngerasa sedih. Tapi kayaknya kamu... ngerasain lebih dalam,” lanjutnya.
Amalia tidak menjawab.Dia mengamati gadis yang ada di depannya itu , ia merasa ada sesuatu yang... nyaman. Ziva berwarna hijau lembut, seperti embun pagi di antara dedaunan. Warna yang jarang ia temui di kampus yang penuh tekanan. Warna yang tidak menyakitkan.
Ziva tidak menuntut percakapan. Ia hanya duduk sebentar, lalu berkata pelan, “Kalau kamu mau, aku bisa bantu beresin ruang ini nanti. Studio kriya sering terasa kayak hutan kalau udah sore.”
Amalia hanya mengangguk, tapi anggukannya itu bukan sekadar basa-basi. Untuk pertama kalinya sejak awal semester, ia merasa ada seseorang yang tidak ingin menembus pertahanannya, tapi tetap memilih duduk di dekatnya.
Malamnya, Amalia pulang ke kamar indekosnya yang sunyi. Ia tinggal sendirian di bangunan dua lantai milik seorang janda pensiunan guru. Kamarnya sempit tapi cukup: satu meja belajar kayu, rak buku yang separuhnya berisi barang peninggalan ibunya, dan satu lukisan tua di dinding. Lukisan itu belum pernah ia lepas: wajah ayah dan ibunya, yang ia gambar dari kenangan samar dan potret kecil yang tersisa.
Ia menyalakan lampu, dan seketika warna-warna dari hari itu menyala kembali di benaknya. Ungu. Hijau. Jingga dari cahaya sore. Semuanya datang bersamaan, tapi ungu tua itu tetap paling dominan seperti noda yang tak bisa dicuci.
Dengan enggan, ia membuka sketsanya lagi. Menatap gambar yang ia buat tadi siang. Tapi sekarang, ia sadar sesuatu: garis-garis yang semula samar mulai membentuk sesuatu.
Siluet seseorang. Tubuh laki-laki. Dan di matanya… ada semacam kegelapan yang membuat Amalia menggigil. Bukan karena takut. Tapi karena seperti mengenali sesuatu yang tak seharusnya ia tahu.
Ia menutup bukunya cepat. Menahan napas.
Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya ia lihat?
Keesokan harinya, ia kembali ke kampus dengan langkah lebih berat. Setiap lorong terasa lebih sempit, setiap suara lebih nyaring. Ketika ia sampai di depan ruang kelas, seorang dosen memanggilnya. Bu Rahmi, dosen pembimbing proyek akhir.
“Amalia,” sapa dosennya, “kamu saya masukkan dalam kelompok seni kolaboratif untuk semester ini. Proyek besar. Sudah lama kamu kerja sendiri, ini saatnya kamu belajar membaca orang dari dekat.”
Amalia menelan ludah. Kolaborasi bukan bidang keahliannya. Ia lebih nyaman bekerja sendiri, dengan warna-warna yang tak bisa dibohongi.
“Kelompokmu ada tiga orang. Kamu, Ziva dan…” Bu Rahmi memeriksa daftar, “…Narasoma. Dari program studi seni rupa. Kalian memang satu jurusan, tapi sepertinya belum pernah satu kelas ya?”
Amalia mengerutkan kening. Nama itu asing, tapi tidak sepenuhnya. Seperti sesuatu yang pernah terdengar di antara bisik-bisik koridor, tapi tak pernah benar-benar singgah.
“Dia jarang masuk kampus,” lanjut Bu Rahmi. “Anaknya tertutup, tapi punya pendekatan visual yang unik. Saya rasa kamu akan bisa menemukan sesuatu yang menarik darinya kalau kamu cukup sabar.”
Nama itu membuat napas Amalia tercekat. Narasoma.
Ungu tua itu punya nama.
Ruang kerja kolaboratif itu berbau lem kayu dan sisa kopi instan. Di sudut, Ziva sedang merapikan gulungan kain batik dan kabel-kabel lampu hias. Ia melambaikan tangan begitu melihat Amalia masuk.
“Yo! Selamat datang di sarang kita,” katanya ceria.
Amalia berusaha tersenyum. Tapi langkahnya terhenti saat pintu belakang terbuka. Seseorang masuk. Suara sepatunya menyeret pelan di lantai. Rambut ikalnya acak-acakan, hoodie-nya kusut, dan matanya... kosong tapi dalam. Seperti jurang yang diam-diam mengawasi.
Jantung Amalia mencelos.
Ungu tua itu masuk ke ruangan.
Laki-laki itu menatap sekeliling, lalu pandangannya tertumbuk pada Amalia. Sekejap. Tapi cukup lama untuk membuatnya menggigil.
“Kamu Narasoma, kan?” tanya Ziva, mendekat.
“Iya.” Suaranya dalam, berat, nyaris tanpa ekspresi.
Amalia ingin berpaling, tapi tidak bisa. Matanya terpaku pada sosok itu. Dan seperti sketsanya tadi malam, silakan sebut kebetulan, atau kutukan, siluet tubuh, sorot mata, bahkan cara laki-laki itu berdiri, semuanya cocok.
“Kita pernah ketemu ya?” tanya Narasoma, tiba-tiba. Tatapannya kini langsung ke Amalia.
Amalia gelagapan. “Nggak. Mungkin cuma, pernah lihat dari jauh.”
Bohong kecil. Tapi entah kenapa ia tak mau mengaku. Belum.
Mereka duduk berjauhan. Ziva mulai memaparkan ide proyek : menggabungkan seni tekstil, gambar, dan cahaya dalam satu instalasi. Sementara Amalia mencatat seadanya, dan Narasoma hanya menatap pola pada meja seperti membaca sandi rahasia.
“Kalau kamu, biasanya mulai dari mana?” tanya Ziva pada Amalia.
“Aku…gambar dulu. Baru ngerti maksudnya nanti.”
Narasoma tersenyum tipis. “Jadi kamu membiarkan sesuatu muncul lebih dulu, baru ditafsir?”
Amalia mengangkat bahu. “Lebih jujur begitu.”
“Kamu pernah takut sama apa yang muncul?”
Pertanyaan itu menggantung. Ziva tak menyadarinya, tapi Amalia merasa udara di sekelilingnya mengencang.
“Pernah,” jawabnya pelan.
Narasoma menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. Tapi Amalia bisa merasakannya. Seolah aura ungu itu bergerak, mencari celah di dalam dirinya.
“Apa kamu selalu tahu arti sesuatu sebelum kamu siap melihatnya?” tanya Amalia, nyaris seperti gumaman, tapi Narasoma mendengarnya.
Laki-laki itu tak menjawab. Tapi tatapan matanya cukup jadi jawaban.
Mereka belum cocok. Tapi ada sesuatu yang saling menarik.Tak disadari, tak dimengerti. Seperti dua pecahan yang pernah menyatu di tempat yang jauh dan gelap, lalu dipertemukan kembali oleh tangan waktu.
Tiga hari setelah pertemuan itu, mereka mulai bekerja di studio kecil yang disediakan kampus. Setiap sudut ruangan itu kini dipenuhi warna. Benang warna-warni, sketsa setengah jadi yang menggantung di dinding, dan potongan kayu,cermin pecah serta lampu LED yang menyebar seperti teka-teki yang belum terjawab. Amalia duduk bersila di sudut, menggambar garis demi garis di atas kanvas kasar. Belum pernah ia bekerja seintens ini dihadapan orang lain. Tapi sesuatu tentang proyek ini...memanggil sisi dalam dirinya yang lebih gelap.
Ziva memasang tali-tali lampu, sambil sesekali memutar musik lo-fi di ponselnya. Sementara Narasoma berdiri diam menatap bayangan dirinya di pecahan cermin.
"Kenapa kamu cuma berdiri terus?" tanya Ziva.
"Kamu bagian instalasi cahaya,kan?"
"Aku menunggu waktunya,"jawabnya datar.
Ziva cemberut, lalu berpindah ke Amalia. "Dia selalu begitu, kayak lihat sesuatu yang kita nggak ngerti."
Amalia diam.Karena ia mengerti . Ia tahu persis rasanya.Dan ketika dia menatap Narasoma sekilas, ia tahu. "Laki-laki itu juga tahu sesuatu tentangnya.
Sore hari nya Ziva keluar sebentar membeli cat semprot, hanya mereka berdua yang tersisa. Sunyi menyusup masuk seperti kabut.
"Aku lihat gambarmu kemarin , "ujar Narasoma tiba-tiba.
Amalia menoleh cepat."Yang mana?"
"Yang kamu taruh di sudut itu. Siluet laki-laki di tengah lorong ungu."
"Aku nggak pernah ngasih lihat itu ke siapa-siapa." katanya pelan.
"Aku nggak lihat dengan cara yang biasa." Narasoma mengangkat bahu." Kadang... aku juga bisa melihat emosi. Tapi tidak sejelas kamu. Aku hanya tahu arah bukan bentuknya."
Hening sejenak, Amalia merasa seperti tidak sendiri untuk pertama kalinya sejak ia kecil.Tapi juga merasa seperti baru membuka pintu menuju sesuatu yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.
"Kenapa kamu jarang masuk kelas?" tanyanya hati-hati.
Narasoma tersenyum tipis, tapi matanya tetap tenang."Karena sebagian dari diriku merasa dunia luar lebih jujur dari ruang kuliah.Aku belajar lebih banyak dari bayangan orang di jalan, daripada dari teori warna."
Amalia terdiam karena di detik itu jua, ia tahu. Narasoma bukan sekedar mahasiswa aneh yang suka menyendiri. Ia adalah seseorang yang akan mengubah cara Amalia melihat segalanya, termasuk dirinya sendiri.Dan jauh di dalam hatinya,sesuatu mulai terbentuk . Bukan cinta.Bukan juga rasa takut. Tapi pengakuan. Bahwa mereka saling mengenali, bahkan sebelum nama mereka disebut.
Esok harinya Amalia datang lebih pagi dari biasanya. Studio di kampus masih sepi, hanya suara sapu kampus di luar jendela yang terdengar.Ia menyalakan lampu gantung di sudut dan mengeluarkan sketsannya. Tangannya bekerja cepat seperti digerakkan sesuatu yang lebih kuat dari dirinya.Garis-garis itu membentuk mata. Bukan mata sembarang.Mata yang ia tahu miliik seseorang yang sedang menyimpan rahasia besar.Mata Narasoma.
Dan di belakang mata itu, ada sesuatu yang lain.Gelap.Pekat dan seperti menangis.
Amalia menahan napas. Tangannya menggambar tanpa ia sadari , potongan pagar besi, tembok lembab, dan setitik cahaya putih di ujung lorong. Saat ia selesai, jantungnya berdegup cepat. Karena gambar itu terasa nyata. Terlalu nyata.
Langkah pelan terdengar dari arah pintu. Narasoma masuk, tanpa mengucap apa-apa. Tapi begitu matanya melihat gambar di pangkuan Amalia, ia langsung berhenti.
"Gambar itu dari mana?" suaranya pelan tapi tajam.
"Aku gak tahu. Tadi tanganku bergerak sendiri."
"Jangan gambar itu lagi." Suara Narasoma terdengar berbeda, ada desakan dan juga ketakutan. Tapi bukan ketakutan pada gambar itu, Ketakutan karena ia tahu gambar itu benar.
Amalia berdiri. "Aku cuma menggambar apa yang aku lihat.
"Tidak Amalia . Itu bukan milikmu untuk dilihat." kata-katanya menghantam. Mata Narasoma kini memerah, bukan karena marah , tapi seperti sedang menahan sesuatu agar tidak tumpah. Emosi , trauma atau sesuatu yang lebih buruk .
"Kamu takut aku lihat ?" tanya Amalia .
Narasoma mundur selangkah." Karena kalau kamu terus lihat, kamu akan terseret ."
Seketika itu juga , sesuatu di dalam diri Amalia seperti pecah . Ada denyut panas di pelipisnya, dan ruangan terasa berputar. Warna ungu tua itu muncul lagi tapi sekarang bercampur merah. Ia limbung.
Narasoma bergerak cepat menopangnya sebelum ia jatuh." Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan memoriku. Aura mu belum cukup kuat."
Amalia menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Jadi ini semua nyata? Apa yang aku lihat ? Yang aku rasakan ?"
Narasoma mengangguk perlahan. "Dan kamu bukan satu-satunya."
Sore itu, setelah ketegangan mereda , mereka duduk berseberangan dalam diam.Gambar-gambar di lantai berserakan. Cahaya senja menyusup lewat kisi-kisi jendela, memecah warna menjadi bayangan panjang di dinding.
"Aku nggak tahu kenapa tanganku bisa menangkap semua itu," kata Amalia akhirnya. Suaranya pelan, seperti mengaku pada diri sendiri." Biasanya aku cuma lihat warna, kadang bentuk kabur. Tapi sejak kamu datang , bentuk -bentuk itu jadi lebih jelas."
Narasoma menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Mungkin karena kita sama . Atau mungkin karena kita saling membuka celah yang selama ini ditutup." Keheningan mengalir di antara mereka. Amalia menatap sketsanya. Garis-garis itu belum selesai, tapi ia tahu. Ia tak akan melanjutkannya. tidak sekarang.
"Kita tetap lanjut proyek kolaborasi kita. " ucap Amalia. tapi ada satu syarat."
Narasoma mengangguk, menunggu. "Jangan saling menyentuh fragmen masa lalu." Lanjut Amalia. ia juga menatap Narasoma secara langsung bukan lewat gambar, bukan lewat kata. Untuk pertama kalinya juga terlihat wajah Narasoma yang lega . Seperti tumpukan masalahnya yang menggunung selama ini memberati nya berkurang.
"Setuju, katanya."
Mereka berjabat tangan singkat, lalu sama-sama menarik napas panjang, Ada rasa letih yang samar, tapi juga semacam lega yang belum mereka mengerti sepenuhnya.
Dan saat ziva masuk membawa peralatan dan boba dalam palstik kresek, ia menatap keduanya dengan dahi berkerut.
"Kalian kenapa? kayak habis nonton film horor bareng."
Narasoma tertawa sekilas. Amalia hanya tersenyum kecil. Dan tanpa mereka sadari, itulah momen awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dari proyek kolaboratif kampus. Sebuah awal yang perlahan akan mengurai satu persatu.Warna.Luka.Dan rahasia yang selama ini tertanam diam diantara mereka.