Genangan air mata yang bertumpuk tak lagi mampu Aina bendung. Air kekecawaan itu mengalir deras di pipinya. sekila ia lirik berkas-berkas brosur dan pendaftaran yang berserakan di atas karpet. ini adalah air mata kecewa aina yang pertama dari ummi. Aina tak pernah sepatah ini. bibirnya bergetar, bergumam, 'mengapa?' dari tempatnya berdiri, Aina meihat ke arah pintu yang terbuka. dari balik pintu, muncul seorang pria. nampaknya pria itu sudah berada disana sejak tadi.
"Siapa ?" Seru Aina.
Abah muncul tanpa kata. Wajahnya nampak datar tanpa ekspresi, namun cukup berwibawa dan memiliki aura kuat yang membuat Aina segan. Dulu, saat Aina masih kecil, Abah merupakan sosk ayah yang hangat, ceria, lucu, dan merupakan tempat paling nyaman bagi Aina untuk bercanda dan bercerita banyak hal. Namun, seoring berjalannya waktu dan Aina semakin beranjak remaja, peran itu sedikit demi sedikit tergeser oleh Ummi yang menjadi lebih dekat. Bahkan Aina kini sangat jarang mengobrol dengan Abah. Setiap pagi, Abah selalu sudah berangkat ke Madrasah, dan seolah menyibukkan diri sehingga hampir tak memiliki waktu banyak untuk Aina. Namun, Aina yakin, Abah sangat menyayanginya. dan itu tak akan berubah.
"Aina,..." Abah mengambil duduk di kursi yang terletak di depan meja belajar AIna. Aina kembali duduk di atas permadani yang dipenuhi formulir dan brosur yang berserakan. Aina tak menjawab. wajahnya tertunduk. Aina yakin, Abah sudah mendengar semua perdebatan Ummi dan dirinya.
"Aina, boleh Abah berbicara?" tanya Abah lembut.
“Kenapa, Bah….?”
"Abah rasa, Ummi Benar, Aina." Ujar Abang tenang, datar, tapi tegas. Pandangannya lurus menatap Aina. Sementara Aina kian tertunduk. tak mau mendebat Abah. Untuk saat ini rasanya ia sudah lelah berdebat.
***
Keesokan Paginya, Aina nampak sudah rapi seperti hendak pergi. Ummi dan Abah yang tengah duduk di ruang tamu, teralihkan sepenuhnya kepada sosok Aina yang berjalan pelan menghampiri mereka, ingin mencium tangan Ummi dan Abah.
"Mau kemana, Aina?" tanya Abah.
"Aina... Aina harus ikut ujian seleksi PTN, Bah." Ujar Aina dengan wajah yang serba salah. " Ummi, Abah, Aina mohon. Aina mohon restu." Ujar Aina dengan tatapan sungguh-sungguh. netra indah miliknya sudha nampak berkaca-kaca.
"Dimana, pilihannya? Dikota ini kan?" tanya Ummi.
"Maaf, Mi, Aina sudah memilih dua PTN ternama di Jakarta. Aina ingin buat Ummi dan Abah bangga." Ujar Aina sungguh-sungguh.
"Tidak Boleh, Aina." Ummi bangkait dari duduknya. Menatap Aina tak percaya. Ummi mengira, perdebatan kemarin membuat Aina mengerti, tapi kini sebaliknya.
"Mi..." Suara Aina tercekat. Wajah cantiknya amat sedih. "Kenapa, Mi?"
“Ummi bilang tidak boleh, berarti tidak boleh,.. Kamu belum tahu dunia, Aina…” suara Ummi meninggi tanpa kontrol. Abah pun terkejut. Wajah Aina berubah kian sedih.
“Apa yang Aina belum tahu, Ummi,..? Syifa, Janna, Amira, teman-teman Aina banyak yang melanjutkan kuliah di kota, disana kami bisa menyalurkan segala potensi kami…. Disana bebas berekspresi dan berkreasi…kenapa Aina tidak bisa….?” Suara Aina memelas. Hati Ummi dan Abah sangat iba melihatnya, namun kasih sayang mereka membuat mereka harus teguh melarangnya.
“Sudahlah, Ummi ada benarnya. Disini juga banyak perguruan tinggi. Tidak usah jauh-jauh ke ibukota.” Abah akhirnya bicara, seraya bangkit dari duduk, memegang kedua pundak Ummi seolah menyuruhnya sabar. Suara Abah sangat tenang namun mengandung ketegasan luar biasa yang serasa sulit untuk membantahnya. Ummi berusaha mengatur nafas, seraya beristigfar, sementara Aina langsung lari ke kamar.
***
Malam kian larut, namun Ummi masih belum bisa tertidur nyenyak. Ummi masih mendengar suara tadarus mengalun merdu dari kamar Aina. Begitu lembut, dan sesekali terisak, Ummi tahu Aina sedang kecewa. Namun, Ummi sungguh belum bisa melepasnya ke dunia yang begitu merah.
“Aina….” Ummu ,menghampiri Aina yang baru saja menutup kitabnya.
Ummi memandangi wajahnya lamat-lamat. wajah yang sangat cantik itu berurai air mata. Rukuh hijau muda yang dikenakannya nampak basah oleh air matanya. Oh, Aina, begitu kuatkah pesona ibukota menarik minatmu hingga seperti ini? Atau Kamu sedih karena apa?, Batin Ummi.
“Mi, kenapa ummi melarang Aina…?” Aina kembali memelas.
Ummi memeluk Aina. Sejenak mereka terdiam.
Aina melirik sekilas buku catatan berwarna merah yang Ummi genggam. Buku yang telah usang dan kertasnya mulai menguning.
“Aina, kebahagiaan itu hak setiap orang untuk mendapatkannya. Ummi hanya ingin Kamu bahagia, Sayang. Bahagia yang sesungguhnya…” Ummi menatap Aina lekat-lekat. Ummi memandang kedua mata indahnya, seolah ingin menyampaikan segala isi hatinya agar Aina bisa memahami ini semua. Aina terdiam.
“Belasan tahun yang lalu, ada seorang wanita yang pernah datang ke pondok ini, ia wanita modern yang berasal dari ibukota. Dia datang menemui ummi dan menceritakan banyak hal….”
“Apa yang ia ceritakan, Mi?” Aina bertanya antusias mendengarku menyebut ibukota.
“Banyak. Ia bercerita tentang kota megapolitan yang penuh gedung-gedung menjulang. Ia bercerita tentang lingkungan dan pergaulan di kota gemerlap yang dijadikan tujuan banyak orang….”
Aina mendengar sambil tersenyum, seolah membayangkan kota yang amat ia dambakan itu. Oh, Aina. Selamanya, bukanlah tempat yang jadi masalah, namun lingkungan dan gaya hidup disana sangat berbeda dari kenyamanan di pondok ini.
“Wanita itu datang ke pondok ini dengan sebuah harapan, Aina….”
“Harapan apa, Mi…? Bukankah kota itu sudah cukup mewujudkan segala yang ia inginkan dengan mudah….”
“Ya, memang. Namun, ada satu hal yang tidak ia dapat dari kota itu….”
“Apa itu, Mi..?”
“KEBAHAGIAAN….Ke – ba - ha- gia - an, Aina….!” Ummi member tekanan khusus pada kata itu.
Aina terperangah mendengar jawabanku. Seolah ia tak percaya bahwa ada orang yang tak bahagia tinggal dalam kota serba modern itu.
“Ke… kenapa ia bisa tidak bahagia,…?”
Aku menghela nafas panjang. Mempersiapkan kalimat yang tepat untuk Aina. Bidadariku yang menanti jawabanku dengan mata indahnya yang penuh rasa penasaran. Aina, maafkan ummi. Haruskah Ummi menceritakan ini sekarang….
tok tok tok, Suara pintu kamar Aina yang sudah terbuka diketuk. Ummi dan Aina melihat ke arah pintu. Nampak Abah berdiri dengan raut wajah yang sulit diartikan. Ummi mengerti seharusnya, ia membicarakan ini dulu dengan Abah.
"Aina, maaf, Ummi janji, suatu saat Ummi akan ceritakan semuanya, padamu." Aina terdiam, merasa tak puas. Sementara, Ummi berlalu keluar dan menutup pintu kamar Aina rapat-rapat.
Di ruang makan. Abah dan Ummi duduk bersama dalam kegalauan.
"Apa Ummi yakin, mau menceritakan itu pada, Aina?" tanya Abah.
"Aku juga tidak tau, apa yang harus aku lakukan, Bah."
"Apa Aina sudah benar-benar siap mendengar cerita itu?" tanya Abah lagi. "Dan, apakah kita juga sudah siap menerima segala perubahan yang mungkin terjadi, setelah Aina tahu?" Abah bertanya lagi dengan gusar. meskipun jarang berinteraksi dengan Aina. Abah sangat menyayangi Aina.
"kalau Aina bersikeras hendak pergi ke Ibukota, Ummi terpaksa membuka cerita ini. Semoga Aina bisa mengerti."
"Tapi, cerita tentang Yasmin, terlalu merah bagi Aina. " Ujar Abah pelan.
"Tapi, itu kebenaran, Bah." Ummi tahu yang Abah khawatirkan. mereka berdua terlalu menyayangi Aina dan tak ingin kehilangan Aina. Ummi tersedu dalam pelukan Abah yang berusaha menenangkannya.
Yasmin? Siapa dia? batin Aina, yang sejak tadi berdiri di balik tirai penyekat ruang makan dan mendengar semuanya dengan bingung.