Dibawah segala gemerlap ini,
Kami hanyalah sekumpulan kapas ringan
Yang dibawa angin mengudara
Angin ke barat, kami turut taat
Angin ke timur, kami dibawa melantur…
Lalu dimana esensi kebahagiaan,…
Yang nampak hanyalah kesemuan….
Petang kian merapat bersama matahari yang makin terhimpit di ufuk barat. Jingga kian memucat dan langit berganti busana malam yang ungu violet dan masih meremang jingga di ufuk barat. Lembah nun jauh di barat nampak rimbun tertutup dedaun dan belukar. Suasana meremang seiring petang. Segalanya menjelma sunyi, seluruh santri yang tadi masih sibuk menyapu pelataran, kini semua telah masuk ke pondok, bersiap-siap shalat. Aku pun baru saja hendak bangkit dari dudukku dan beranjak meninggalkan gundukan tanah yang sudah hampir rata, yang pada salah satu ujungnya terpancang batu penanda, tanpa nama. Gundukan itu terletak diantara rimbun rumpun Jasminum sambac yang sangat aromatis.
Matahari tinggal sepenggal lenyap dalam pandang mata. Suasana Jingga yang romantis menyelimuti senja.
“Ummi,…” Aina menghampiriku. Aku masih mematung di tepian makam itu dengan buku catatan merah yang penuh goresan kata sarat makna. Buku merah yang berusaha kusembunyikan dari Aina. Sementara, aina menatap pagelaran sunset yang hampir usai. Gadis yang tingginya sudah melampaui tinggiku itu menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu kananku. Aku tersenyum.
Kami melangkah masuk pondok, sementara angin petang berhembus begitu dingin menggugurkan bunga-bunga melati hingga berjatuhan diatas makam itu.
“Ummi, sebenarnya itu makam siapa? Mengapa letaknya begitu dekat dengan pondok kita? Lalu mengapa hampir setiap sore ummi mengunjunginya?” Aina bertanya untuk kesekian kali. Pertanyaan yang kerap diulangnya ketika mendapati aku duduk di dekat makam itu. Pertanyaan yang hingga kini belum kujawab dengan pasti.
“Nanti, ummi beri tahu Kamu, Sayang….” Ujarku seraya membelai kepala Aina yang tertutup hijab hijau, warna kesukaannya.
***
Aina, umurnya baru tujuh belas tahun. Kerlip bola mata indah pada setiap tatapannya begitu mampu meluluhkan hatiku, bahkan disaat aku marah dan sedih. Karena itu pula aku memberinya nama Aina. Aina Awa. Usiaku kian tua, tapi di hati ini masih mengganjal satu kebenaran, yang belum dapat kusampaikan padanya. Suatu kebenaran yang suatu saat harus ia tahu.
“Tunggulah, sampai dia dewasa! Tunggulah sampai kita menemukan cara yang tepat untuk menyampaikannya!” Abah, suamiku tercinta, selalu berkata begitu. Meski jarang berbincang dengan Aina atau bahkan sekedar menanyakan perkembangannya, tapi jauh di dasar hatinya, aku tahu ia sangat menyayangi Aina. Begitu juga sebaliknya. Aina sangat sayang pada Abahnya, bahkan ia begitu bangga menjadi seorang Aina Awa putri Abah.
“Namaku Aina Awa binti Abdul Rasyid. Ummi bilang, aku adalah bidadari Ummi yang cantik. Aku,…” Aina begitu lantang ketika tiba giliran dirinya memperkenalkan diri di depan kelas. Dan aku melihat itu dari balik jendela madrasah ibtidaiyah dengan hati bangga sekaligus sedih. Momen itu sudah lama. Perkenalan itu dulu, saat Aina tujuh tahun. Tapi, meskipun sudah berlalu bertahun-tahun, aku masih terbayang jelas, saat Aina begitu lantang berujar,…Namaku Aina Awa binti Abdul Rasyid,…. Aina Awa binti Abdul Rasyid,… binti Abdul Rasyid,…
***
Pagi itu Aina tidak berangkat ke Madrasah. Setelah Selesai mengikuti Ujian Akhir Sekolah pekan lalu, Aina tidak lagi memiliki jam belajar di Sekolah. hanya sesekali hadir jika ingin menemui Guru Bimbingan Konseling untung membahas rencananya melanjutkan studi. Saat ini, dikamarnya yang tertata rapi dan indah dengan nuansa hijau muda yang menyegarkan, Aina duduk di atas karpet sambil memilah milah lembaran-lembaran di hadapannya, sesekali ia mencatat sesuatu pada buku catatannya.
"Ummi buatkan Jus Mangga kesukaan Aina." Ujar ummi sambil meletakkan segelas Jus Mangga dia atas nakas.
"Mangganya sudah banyak yang matang mi?" tanya Aina sambil tak lepas dari kesibukannya.
"Iya, sebagian sudah ummi kasihkan juga ke para santriwati, pohon di halaman depan itu selalu lebat buahnya. tapi, pohon yang di halaman belakang sampai sekarang belum juga berbuah, bahkan berbunga pun tidak." Ujar Ummi santai. Aina hanya mengangguk.
“Ummi, Aina mau kuliah di kota…” Ujarnya tenang sambil membolak-balik brosur-brosur perguruan tinggi yang didapatnya dari madrasah. mendengar ucapan Aina, Ummi yang semua santai denagn wajah biasa langsung berubah serius.
Ummi mencoba menyembunyikan kekhawatirannya lalu berujar dengan suara lembut, “Disini saja, Sayang… disini juga ada PTN yang bagus, atau Kamu mau ambil kedokteran juga ada, katanya Kamu mau jadi dokter….?”
Kali ini, Aina menghentikan aktivitasnya. Llalu sepenuhnya menatap Ummi. Mencari celah di wajah Ummi yang nampak seius. Aina mengernyitkan kening. ini adalah pertama kali keinginannya ditolak oleh Ummi. “Tapi, Mi…. Aina ingin mandiri, Mi… Aina ingin belajar di lingkungan kota yang modern,…” Ujar Aina dengan nada suara yang lembut namun penuh penekanan.
"CUKUP, Aina !" Raut wajah Ummi mengeras. Keadaan ini membuat Aina terhenyak. Seumur hidupnya, tak pernah sekaliun Ummi bersikap keras padanya. Ummi selalu memanjakan Aina. Sebagai anak tunggal Aina mendapatkan semua yang dia inginkan. Semua. dalam kesederhanaan di pesantren ini, Ummi dan Abi slelau berusaha memenuhi segala kebutuhan Aina. Aina diam sejenak, namun sepertinya usahanya belum berhenti. ia berpikir mungkin Ummi takut akan jauh dari dirinya. Aina mengira Ummi tak ingin Aina kuliah jauh karena pasti tak bisa melihat Aina setiap hari.
"Ummi, Aina janji, akan video call Ummi setiap Hari. Akan mengabari Ummi setiap akan memulai aktivitas Aina. dan Aina akan jadi anak baik selama kost di Kota. Ummi percaya kan sama Aina?" Ujar Aina dengan nada ceria khasnya. ia tersenyum jenaka seraya meraih bahu ummi untuk memeluknya seperti biasa.
Dalam pelukan hangat yang tak dibalas oleh Ummi, Aina dapat merasakan tubuh Ummi yang bergetar. Dalam hatinya Aina masih mengira bahwa ketakutan terbesar Ummi adalah berpisah darinya. perlahan, Ummi mengurai pelukan Aina, lalu menatapnya dnegan tegas.
"Aina, seumur hidupmu, Ummi tak pernah meminta apa-apa darimu. Tapi, untuk hal ini, Tolong kamu lupakan Niatmu !" Ujar Ummi seperti tak lagi memberikan ruang bagi Aina untuk sekedar membantah. wajah Aina memerah. Ummi tak akan sanggup melihatnya menangis. Tapi, sebelum air mata AIna Jatuh, Ummi sudah pergi dari kamarnya, menyisakan pintu kamar yang terbuka.
Genangan air mata yang bertumpuk tak lagi mampu Aina bendung. Air kekecawaan itu mengalir deras di pipinya. sekila ia lirik berkas-berkas brosur dan pendaftaran yang berserakan di atas karpet. ini adalah air mata kecewa aina yang pertama dari ummi. Aina tak pernah sepatah ini. bibirnya bergetar, bergumam, 'mengapa?' dari tempatnya berdiri, Aina meihat ke arah pintu yang terbuka. dari balik pintu, muncul seorang pria. nampaknya pria itu sudah berada disana sejak tadi.
"Siapa ?" Seru Aina.