Loading...
Logo TinLit
Read Story - CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
MENU
About Us  

Genangan air mata yang bertumpuk tak lagi mampu Aina bendung. Air kekecawaan itu mengalir deras di pipinya. sekila ia lirik berkas-berkas brosur dan pendaftaran yang berserakan di atas karpet. ini adalah air mata kecewa aina yang pertama dari ummi. Aina tak pernah sepatah ini. bibirnya bergetar, bergumam, 'mengapa?' dari tempatnya berdiri, Aina meihat ke arah pintu yang terbuka. dari balik pintu, muncul seorang pria. nampaknya pria itu sudah berada disana sejak tadi. 

"Siapa ?" Seru Aina.

Abah muncul tanpa kata. Wajahnya nampak datar tanpa ekspresi, namun cukup berwibawa dan memiliki aura kuat yang membuat Aina segan. Dulu, saat Aina masih kecil, Abah merupakan sosk ayah yang hangat, ceria, lucu, dan merupakan tempat paling nyaman bagi Aina untuk bercanda dan bercerita banyak hal. Namun, seoring berjalannya waktu dan Aina semakin beranjak remaja, peran itu sedikit demi sedikit tergeser oleh Ummi yang menjadi lebih dekat. Bahkan Aina kini sangat jarang mengobrol dengan Abah. Setiap pagi, Abah selalu sudah berangkat ke Madrasah, dan seolah menyibukkan diri sehingga hampir tak memiliki waktu banyak untuk Aina. Namun, Aina yakin, Abah sangat menyayanginya. dan itu tak akan berubah.

"Aina,..." Abah mengambil duduk di kursi yang terletak di depan meja belajar AIna. Aina kembali duduk di atas permadani yang dipenuhi formulir dan brosur yang berserakan. Aina tak menjawab. wajahnya tertunduk. Aina yakin, Abah sudah mendengar semua perdebatan Ummi dan dirinya.

"Aina, boleh Abah berbicara?" tanya Abah lembut.

“Kenapa, Bah….?”

"Abah rasa, Ummi Benar, Aina." Ujar Abang tenang, datar, tapi tegas. Pandangannya lurus menatap Aina. Sementara Aina kian tertunduk. tak mau mendebat Abah. Untuk saat ini rasanya ia sudah lelah berdebat.

***

Keesokan Paginya, Aina nampak sudah rapi seperti hendak pergi. Ummi dan Abah yang tengah duduk di ruang tamu, teralihkan sepenuhnya kepada sosok Aina yang berjalan pelan menghampiri mereka, ingin mencium tangan Ummi dan Abah.

"Mau kemana, Aina?" tanya Abah.

"Aina... Aina harus ikut ujian seleksi PTN, Bah." Ujar Aina dengan wajah yang serba salah. " Ummi, Abah, Aina mohon. Aina mohon restu." Ujar Aina dengan tatapan sungguh-sungguh. netra indah miliknya sudha nampak berkaca-kaca.

"Dimana, pilihannya? Dikota ini kan?" tanya Ummi.

"Maaf, Mi, Aina sudah memilih dua PTN ternama di Jakarta. Aina ingin buat Ummi dan Abah bangga." Ujar Aina sungguh-sungguh.

"Tidak Boleh, Aina." Ummi bangkait dari duduknya. Menatap Aina tak percaya. Ummi mengira, perdebatan kemarin membuat Aina mengerti, tapi kini sebaliknya.

"Mi..." Suara Aina tercekat. Wajah cantiknya amat sedih. "Kenapa, Mi?"

“Ummi bilang tidak boleh, berarti tidak boleh,.. Kamu belum tahu dunia, Aina…” suara Ummi meninggi tanpa kontrol. Abah pun terkejut. Wajah Aina berubah kian sedih.

“Apa yang Aina belum tahu, Ummi,..? Syifa, Janna, Amira, teman-teman Aina banyak yang melanjutkan kuliah di kota, disana kami bisa menyalurkan segala potensi kami…. Disana bebas berekspresi dan berkreasi…kenapa Aina tidak bisa….?” Suara Aina memelas. Hati Ummi dan Abah sangat iba melihatnya, namun kasih sayang mereka  membuat mereka harus teguh melarangnya.

“Sudahlah, Ummi ada benarnya. Disini juga banyak perguruan tinggi. Tidak usah jauh-jauh ke ibukota.” Abah akhirnya bicara, seraya bangkit dari duduk, memegang kedua pundak Ummi seolah menyuruhnya sabar. Suara Abah sangat tenang namun mengandung ketegasan luar biasa yang serasa sulit untuk membantahnya. Ummi berusaha mengatur nafas, seraya beristigfar, sementara Aina langsung lari ke kamar.

***

Malam kian larut, namun Ummi masih belum bisa tertidur nyenyak. Ummi masih mendengar suara tadarus mengalun merdu dari kamar Aina. Begitu lembut, dan sesekali terisak, Ummi tahu Aina sedang kecewa. Namun, Ummi sungguh belum bisa melepasnya ke dunia yang begitu merah.

“Aina….” Ummu ,menghampiri Aina yang baru saja menutup kitabnya.

Ummi memandangi wajahnya lamat-lamat. wajah yang sangat cantik itu berurai air mata. Rukuh hijau muda yang dikenakannya nampak basah oleh air matanya. Oh, Aina, begitu kuatkah pesona ibukota menarik minatmu hingga seperti ini? Atau Kamu sedih karena apa?, Batin Ummi.

“Mi, kenapa ummi melarang Aina…?” Aina kembali memelas.

Ummi memeluk Aina. Sejenak mereka terdiam.

Aina melirik sekilas buku catatan berwarna merah yang Ummi genggam. Buku yang telah usang dan kertasnya mulai menguning.

“Aina, kebahagiaan itu hak setiap orang untuk mendapatkannya. Ummi hanya ingin Kamu bahagia, Sayang. Bahagia yang sesungguhnya…” Ummi menatap Aina lekat-lekat. Ummi memandang kedua mata indahnya, seolah ingin menyampaikan segala isi hatinya agar Aina bisa memahami ini semua. Aina terdiam.

“Belasan tahun yang lalu, ada seorang wanita yang pernah datang ke pondok ini, ia wanita modern yang berasal dari ibukota. Dia datang menemui ummi dan menceritakan banyak hal….”

“Apa yang ia ceritakan, Mi?” Aina bertanya antusias mendengarku menyebut ibukota.

“Banyak. Ia bercerita tentang kota megapolitan yang penuh gedung-gedung menjulang. Ia bercerita tentang lingkungan dan pergaulan di kota gemerlap yang dijadikan tujuan banyak orang….”

Aina mendengar sambil tersenyum, seolah membayangkan kota yang amat ia dambakan itu. Oh, Aina. Selamanya, bukanlah tempat yang jadi masalah, namun lingkungan dan gaya hidup disana sangat berbeda dari kenyamanan di pondok ini.

“Wanita itu datang ke pondok ini dengan sebuah harapan, Aina….”

“Harapan apa, Mi…? Bukankah kota itu sudah cukup mewujudkan segala yang ia inginkan dengan mudah….”

“Ya, memang. Namun,  ada satu hal yang tidak ia dapat dari kota itu….”

“Apa itu, Mi..?”

“KEBAHAGIAAN….Ke – ba - ha- gia - an, Aina….!” Ummi member tekanan khusus pada kata itu.

Aina terperangah mendengar jawabanku. Seolah ia tak percaya bahwa ada orang yang tak bahagia tinggal dalam kota serba modern itu.

“Ke… kenapa ia bisa tidak bahagia,…?”

Aku menghela nafas panjang. Mempersiapkan kalimat yang tepat untuk Aina. Bidadariku yang menanti jawabanku dengan mata indahnya yang penuh rasa penasaran. Aina, maafkan ummi. Haruskah Ummi menceritakan ini sekarang….

tok tok tok, Suara pintu kamar Aina yang sudah terbuka diketuk. Ummi dan Aina melihat ke arah pintu. Nampak Abah berdiri dengan raut wajah yang sulit diartikan. Ummi mengerti seharusnya, ia membicarakan ini dulu dengan Abah.

"Aina, maaf, Ummi janji, suatu saat Ummi akan ceritakan semuanya, padamu." Aina terdiam, merasa tak puas. Sementara, Ummi berlalu keluar dan menutup pintu kamar Aina rapat-rapat. 

Di ruang makan. Abah dan Ummi duduk bersama dalam kegalauan.

"Apa Ummi yakin, mau menceritakan itu pada, Aina?" tanya Abah.

"Aku juga tidak tau, apa yang harus aku lakukan, Bah." 

"Apa Aina sudah benar-benar siap mendengar cerita itu?" tanya Abah lagi. "Dan, apakah kita juga sudah siap menerima segala perubahan yang mungkin terjadi, setelah Aina tahu?" Abah bertanya lagi dengan gusar. meskipun jarang berinteraksi dengan Aina. Abah sangat menyayangi Aina.

"kalau Aina bersikeras hendak pergi ke Ibukota, Ummi terpaksa membuka cerita ini. Semoga Aina bisa mengerti."

"Tapi, cerita tentang Yasmin, terlalu merah bagi Aina. " Ujar Abah pelan. 

"Tapi, itu kebenaran, Bah." Ummi tahu yang Abah khawatirkan. mereka berdua terlalu menyayangi Aina dan tak ingin kehilangan Aina. Ummi tersedu dalam pelukan Abah yang berusaha menenangkannya.

Yasmin? Siapa dia? batin Aina, yang sejak tadi berdiri di balik tirai penyekat ruang makan dan mendengar semuanya dengan bingung.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
VampArtis United
1210      739     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Finding the Star
1328      954     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Anikala
1354      592     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
2424      911     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Kaca yang Berdebu
112      92     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Imajinasi si Anak Tengah
2268      1284     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Hello, Me (30)
20143      1085     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
69      60     1     
True Story
JUST RIGHT
115      98     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
658      348     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...