Prince pulang terlambat. Dia tiba di rumah sekitar pukul setengah empat sore. Biasanya di jam itu kami sudah membahas soal-soal materi. Tapi, wajah lelahnya terlihat begitu kusut.
Dia cuma melirikku saat kami pas-pasan di ruang tengah. Tanpa mengatakan apa pun cowok itu langsung naik ke lantai atas.
"Apa dia habis kena hukuman?" gumamku lantas mengangkat bahu. Kalau pun iya, aku rasa itu ganjaran yang wajar buat kelakuannya.
Setengah jam kemudian, cowok itu turun sembari menenteng buku. Dia menghampiriku yang sedang beres-beres di dapur.
"Kita belajar sekarang," ucapnya saat pandangan kami bertemu. Dia langsung berbalik menuju ruang tengah.
Aku segera meninggalkan pekerjaan dan menuruti kemauannya. Sangat jarang Prince sendiri yang meminta belajar. Biasanya aku harus gedor pintu kamarnya berulang-ulang baru dia mau keluar.
Di atas selembar permadani, dia duduk di hadapan sebuah meja sambil membolak-balik lembar kerja. Aku menghampirinya seraya membuka buku catatan.
"Sistem persamaan linear ada yang belum paham?" tanyaku langsung.
"Semua belum paham."
Saat itulah napasku sudah mulai berat. "Soal kemarin bisa ngerjain enggak?"
Dia menggeleng masih terus membolak-balik lembaran kertas pada bukunya.
"Oke, gue jelasin lagi sedikit. Habis itu langsung ke soal."
Sistem persamaan linear dua variabel atau biasa disebut SPLDV bagi aku itu materi yang menyenangkan dan mudah. Apalagi kalau sudah memasuki bagian penyelesaian.
"Komponennya meliputi variabel, koefisien dan konstanta. Langsung gue contohin aja deh. 3x+2y = 12." Aku menulis pada buku catatan dan seperti biasa Prince akan memperhatikan.
"Angka 3 dan 2 ini disebut koefisien. X dan Y disebut variabel sementara angka 12 adalah konstanta. Sampai di sini paham?" tanyaku menatap cowok di hadapanku sejenak.
Prince mengangguk tanpa suara. Aku anggap dia paham.
"Lanjut ke bentuk persamaan linear. Gue langsung ke contoh aja." Aku menulis lagi di buku catatan. "Karakteristik SPLDV persamaan itu memiliki pangkat tertinggi dari semua variabel dalam persamaan adalah satu. Nggak bisa lebih atau kurang. Bisa bedain kan?"
Aku menunjuk beberapa contoh SPLDV dan yang bukan padanya.
"Gue udah paham kok. Sampai di bagian metode substitusi gue paham," ujarnya.
"Oke, kalau gitu langsung kerjain soal dengan metode itu." Aku mendorong buku catatan yang berisi soal padanya. "Lima menit kayaknya cukup deh buat ngerjain."
Nggak seperti biasanya. Kali ini Prince nggak protes sama sekali. Benar-benar hal yang langka. Aku mengawasi dengan kepala penuh tanya. Sebenarnya apa yang sudah Pak Rudy lakukan sampai membuat Prince jadi beda begini?
Seandainya tiap hari dia rajin dan nggak banyak protes begini, mungkin kepalaku nggak akan kemebul tiap kali memberinya les.
"Satu menit lagi."
Prince tampak nggak ada kendala mengerjakan soal demi soal yang aku berikan. Dan kurang dari lima menit dia bisa mengerjakan lima soal yang aku ajukan. Daebak!
"Udah?" tanyaku takjub campur heran.
"Liat aja."
Aku menarik buku catatan dan mengoreksi soal yang dia kerjakan. Dari lima soal itu semua jawabannya benar. Kalau metode substitusi dia paham, metode lain pasti akan lebih mudah dia pahami juga.
Senyumku mengembang tanpa sadar, dan harapan kecil tiba-tiba muncul. Semoga ulangan materi persamaan linear dia bisa mendapat nilai tinggi.
"Oke. Kita lanjut ke—"
"Pulang tadi lo sama Regan?" tanya Prince tiba-tiba, membuatku melongo seketika.
"Hah?"
"Lo, pulang sekolah tadi Regan nganterin lo?" tanya dia sekali lagi.
"Oh ... itu... enggak, gue pulang naik angkot," sahutku menarik buku materi.
"Sepeda lo masih belum bener?"
Aku menggeleng dan jujur aneh dengan pertanyaan cowok itu. Bukan kebiasaan dia banget menanyakan hal remeh seperti itu. Biasanya juga nggak peduli.
"Sekarang lanjut metode eliminasi. Caranya menyamakan salah satu koefisien dari variabel x atau y dari kedua persamaan dengan cara mengalikan konstanta yang sesuai. Gue kasih contoh."
Aku menuliskan dua persamaan ke buku catatan. Namun baru menulis satu persamaan, Prince mendistraksi.
"Mulai besok lo pulang pergi sekolah bareng gue."
Mata pena yang kugenggam refleks mengambang di atas kertas. Penaku baru menulis variabel X dan tanda plus saat ucapannya meluncur.
"Kenapa?" tanyaku spontan menatapnya.
"Ya nggak kenapa-kenapa. Nyokap kan emang nyuruh gue buat berangkat dan pulang sekolah bareng lo. Gue cuma nurutin perintah nyokap," ujarnya mengalihkan pandang. Bola matanya bergerak seperti orang gelisah.
Ini aneh. Dan malah bikin aku makin bertanya-tanya. Apa yang sudah Pak Rudy lakukan padanya? Sore ini Prince benar-benar beda. Bukan seperti Prince yang aku kenal.
"Lo baik-baik aja, kan?" tanyaku hati-hati.
"Maksud lo?" Dia mendelik.
"Lo sore ini aneh."
Lelaki berponi itu mengembuskan napas kasar. "Serah lo mau bilang apa. Yang jelas mulai besok lo harus berangkat dan pulang sekolah bareng gue. No debat," pungkasnya penuh penekanan.
"Lo nggak salah minum obat, kan?"
Prince menggeram. Tanpa peduli pertanyaanku dia merebut buku catatan soal. "Ini soal buat metode eliminasi kan?"
Aku mengangguk. Dan detik berikutnya dia tenggelam bersama soal-soal itu.
Wah, pekerjaanku bisa ringan kalau manusia satu ini salah minum obat setiap hari. Diam-diam aku mengulas senyum melihatnya jadi begitu rajin tanpa harus aku teriaki. Namun, ada satu hal yang membuat keningku mengerut.
Kenapa telinga cowok itu memerah?
Spontan aku mengecek meja yang kami gunakan. Takut kalau-kalau banyak semut hitam berkeliaran. Siapa tahu kan telinga Prince digigit semut?
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2