Maura duduk di meja belajar dengan kertas kosong di tangan. Kalimat itu—“Jangan cari jawaban, temukan pertanyaan yang belum kau ajukan”—masih menari di benaknya seperti gema yang tak kunjung hilang.
Sejak menemukan kertas itu malam tadi, Maura merasa seolah sedang mengikuti jejak yang ditinggalkan Maureen, seperti sebuah perburuan hening yang belum jelas arahnya. Pertanyaan apa? Tentang siapa?
Pagi itu, ia bangun lebih awal. Riana sudah ada di dapur, tetapi tak menyapanya. Hanya aroma roti panggang dan suara sendok di gelas yang menyambutnya. Seno sudah berangkat, seperti biasa. Kantor arsitek tempatnya bekerja menuntut jam panjang dan Maura tahu itu bukan satu-satunya alasan Seno menghindari rumah.
Riana menaruh secangkir susu di meja tanpa menoleh. “Kamu nggak mau sarapan?”
“Enggak lapar.”
“Kamu harus makan, Maura.”
“Aku nggak butuh nasihat, aku cuma butuh sedikit kejujuran.”
Riana menghentikan gerakannya. “Apa maksudmu?”
Maura memandangi ibunya. “Tentang Maureen. Tentang apa yang sebenarnya terjadi.”
Riana menatap putrinya lama, lalu berkata dengan suara pelan, “Kamu harus ke sekolah.”
Tak ada jawaban. Tak ada penjelasan. Seperti biasa.
ꕤꕤꕤ
Hari itu, di sekolah, Maura berjalan dengan perasaan genting. Kepalanya dipenuhi tanda tanya. Tentang puisi dalam buku Maureen. Tentang simbol cahaya. Tentang laci yang berisi teka-teki. Ia merasa seolah Maureen masih mengajaknya bermain seperti dulu—permainan rahasia, hanya untuk mereka berdua. Namun, permainan ini terasa lebih berat. Lebih gelap.
Saat kelas usai, Nana menghampirinya di koridor. “Maura, kamu tahu nggak, kemarin aku lihat Harry di depan gerbang sekolah.”
Maura menoleh cepat. “Harry?”
“Iya. Harry teman kamu waktu SMP, kan? Aku ingat kalian bertiga dekat banget dulu. Dia nanya … kamu masih sekolah di sini nggak.”
Maura terdiam. Nama itu membuat sesuatu dalam dirinya bergerak. Harry—anak yang dulu selalu ada di antara mereka, teman masa kecil yang tiba-tiba pindah ke luar kota dua tahun lalu. Ia dan Maureen biasa menyebutnya “penjaga rahasia ketiga.”
“Aku belum ketemu dia,” jawab Maura pelan.
Nana mengangkat bahu. “Kayaknya dia balik ke Jakarta. Kalau ketemu, sapa dia. Dia keliatan beda sekarang. Kelihatan lebih Dewasa.”
Maura tak bisa melepaskan pikiran dari nama itu. Harry adalah bagian penting dari cerita mereka bertiga. Ia ingat saat-saat mereka membuat sandi rahasia, menulis catatan kecil, dan menyembunyikannya di bawah pot di taman sekolah. Mereka menyebut tempat itu “Titik 0”—awal dari semua misi rahasia.
ꕤꕤꕤ
Sore itu, Maura pulang lebih cepat. Ia melewati taman kecil di depan sekolah, tempat yang sudah lama ia hindari. Di sana, di bangku tua di dekat pohon kamboja, ada sosok yang berdiri. Rambutnya kini lebih panjang. Ia mengenakan jaket hitam dan celana jeans. Tatapannya kosong, tetapi ketika melihat Maura, ia tersenyum.
“Maura?”
“Hai… Harry.”
Hening beberapa detik. Lalu mereka duduk berdampingan. Tak ada sapaan canggung. Hanya keheningan yang menggumpal seperti awan sebelum hujan.
“Aku dengar tentang Maureen,” ucap Harry akhirnya. “Aku … ikut berduka.”
Maura mengangguk. Matanya terasa panas. Namun, ia tak menangis. “Kamu balik ke sini sejak kapan?”
“Baru seminggu. Papaku pindah dinas lagi.”
“Kenapa kamu datang ke sini?”
Harry menarik napas. “Aku cuma … penasaran. Dan ada yang ingin aku kasih ke kamu.” Ia membuka tasnya, lalu mengeluarkan sebuah buku kecil berwarna biru tua. Sampulnya kosong. Namun, Maura mengenali bentuknya. Itu buku catatan mereka bertiga. Buku yang dulu mereka pakai untuk mencatat misi dan teka-teki rahasia.
“Aku nemu ini di kotak barang lama,” kata Harry. “Kupikir kamu mau.”
Maura membuka halaman pertama. Ada coretan tulisan Maureen: “Untuk kita yang tak selalu bisa bicara dengan suara.” Lalu simbol: bintang lima sisi dan mata tertutup—dua lambang yang mereka buat untuk “bahaya” dan “rahasia mendalam”.
Maura membalik halaman demi halaman. Banyak coretan masa kecil. Namun, di bagian belakang, ada halaman yang terlihat baru—tinta yang masih pekat, tulisan yang jauh lebih rapi. “Jika aku hilang, kembalilah ke awal. Di titik pertama. Di sana, satu cahaya masih menyala.”
Maura membeku.
Harry melihatnya. “Aku nggak tahu maksudnya, tapi … kupikir kamu harus tahu.”
Maura memandang halaman itu lama. Ia tahu persis apa itu “Titik Pertama”. Taman sekolah. Tempat mereka menanam botol kecil berisi surat rahasia, tetapi itu sudah lama sekali.
Mungkinkah Maureen menyembunyikan sesuatu di sana?
ꕤꕤꕤ
Malam itu, Maura kembali ke kamar. Ia menarik buku Maureen dan menatanya di lantai bersama buku dari Harry. Ia mulai menyusun satu per satu simbol yang muncul: cahaya terputus, huruf “R” terbalik, puisi tentang bayangan, bintang lima sisi. Ia mulai mencatat:
“Cahaya padam” → kematian? Atau kehilangan arah?
Huruf “R” terbalik → simbol waktu kecil mereka untuk “Rahasia Orang Dewasa”
Titik pertama → taman belakang sekolah
Mata tertutup → sesuatu yang harus dilihat tanpa logika?
Tiba-tiba, Maura merasa dadanya sesak. Terlalu banyak isyarat. Terlalu sedikit jawaban. Ia mengambil pena dan menulis di buku catatannya: “Maureen, jika ini permainanmu, aku akan bermain. Tapi aku ingin tahu… kenapa kau tidak bicara langsung padaku sebelum memilih pergi?”