Ada sesuatu tentang malam itu yang tak pernah lepas dari pikiranku. Bukan suara, tetapi justru diamnya.
Maureen selalu tidur lebih dulu dariku. Biasanya, ia akan menggumam pelan sebelum tertidur—lagu yang tak pernah selesai, doa yang nyaris seperti bisikan. Namun, malam itu … tidak ada suara apa pun dari sisi tempat tidurnya. Bahkan napasnya terasa jauh.
Aku ingat sempat menoleh, melihat siluetnya di balik kelambu. Diam. Terlalu diam. Aku tak bertanya. Tak mendekat. Kupikir, dia hanya lelah. Kupikir, besok pagi semuanya akan baik-baik saja. Namun, pagi tak pernah datang untuknya.
Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana jika malam itu aku menyalakan lampu? Bagaimana jika aku sesaat menyentuh bahunya dan bertanya, “Kamu baik-baik aja?”
Namun, sekarang yang tersisa hanya kamar yang terlalu rapi, meja belajar yang kosong, dan surat yang tak pernah benar-benar selesai ditulis.
Sejak hari itu, aku mulai takut pada keheningan, karena di dalamnya, terlalu banyak kata yang tak pernah sempat terucap.