Loading...
Logo TinLit
Read Story - Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
MENU
About Us  

Aku terbangun dan menatap langit yang begitu gelap tanpa cahaya bulan, kepalaku terasa sangat pusing. Apakah aku tertidur dari sesudah wisata Malioboro sampai pagi? Segera aku buka handphone untuk mengecek dan ternyata saat ini pukul 19.26. Aku menggaruk-garukkan kepala. Mungkin, ini gara-gara aku tidur saat waktu Maghrib ya? Astaghfirullah maafkan hamba Ya Allah.

Lampu jalan bercahaya redup sepertinya mereka tidak bersemangat karena tidak ada bulan atau para bintang di langit. Hampir 1 hari aku berkelana mengikuti kegiatan study tour, kini aku teramat rindu dengan rumahku. Ragaku memanglah di sini, tetapi jiwaku melayang-layang menuju rumah, mencari kehangatan di tengah dinginnya udara malam.

Tak berselang lama kemudian, bus melewati gerbang. Aku pun bingung. Aku tidak tahu ada di mana kami sekarang. Bukankah seharusnya kami pergi ke hotel? Kenapa kami kini berada di sebuah tempat yang tidak kami kenali? Apalagi suasananya sangat mencengkam karena begitu gelap. Tidak ada banyak lampu di sini, membuat bulu kudukku berdiri.

“Anak-anak, kita makan dulu lalu ke hotel ya,” ucap guru pendamping yang membuatku terheran.

Makan? Bahkan aku tidak melihat rumah makan di sekitar sini. Saat kami semua turun dari bus dan mengikuti guru pendamping menuju rumah makan yang katanya berada di dekat sini, karena jarak yang dekat itu kami berjalan kaki.

Lampu berkedip-kedip seperti mencari perhatian, hawa dingin begitu menusuk hingga rongga terdalam, suara burung hantu membuat atmosfer berubah menjadi lebih mencengkam. Aqila pun sampai tersenyum-senyum karena suasana ini mirip film horor. Siapa sangka seorang yang takut dengan serangga malah tidak takut oleh makhluk halus. Penggemar film horor memang tidak bisa dilawan.

“Lihatlah Aqila, dia seperti ingin bertemu artis Korea saja sampai tersenyum-senyum begitu,” bisik Zura yang membuatku tertawa kecil.

Tak lama kemudian, aku melihat sebuah toko yang menjual cincin batu akik. Saat aku melihat ke arah dinding, aku terkejut bukan main karena lukisan Roro kidul terpampang dengan hawa yang aneh, terasa begitu misterius dan menyeramkan. Aku merasa ada yang tidak beres dengan lukisan itu. Matanya! Matanya seakan mengamati kami yang sedang berjalan melewatinya. Lampu kini berkedip lebih cepat daripada sebelumnya, hawa semakin menusuk dan beberapa menit kemudian “Bzzt” lampu tiba-tiba saja mati.

AAAA!” Salah satu dari siswi menjerit dan menambah rasa takut kami.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Kenapa jadi horor begini? Apa aku masih berada di dalam mimpi? Mungkin saja aku belum terbangun, siapa pun bangunkan aku! Aku cubit pipiku sebagai pembuktian dan kemudian aku merasakan sakit. Sungguh? Ini bukan mimpi?

“Nyalakan senter HP-nya ya! Tidak ada apa-apa kok, tidak ada hantu yang berani menyerang kalian, soalnya kalian lebih menyeramkan daripada hantu.” Perkataan itu kemudian di lanjutkan gelak tawa olehnya. Aku hanya bisa mendengar suaranya saja, sepertinya yang berkata itu guru pendamping.

“Pak ...” keluh kami berbarengan yang membuat guru pendamping itu makin tertawa. Tak lama kemudian, ia menghentikan tawanya bersamaan dengan kami yang menyalakan senter di handphone kamu.

Aku lihat Rini memegang tangan Zura begitu erat seperti mencekiknya, Zura pun merintih kesakitan karenanya. Aku baru tahu sisi Rini yang seperti ini. Ia yang berani dan berwibawa saat presentasi, kini takut oleh hal-hal mistis.

Setelah kami sampai di rumah makan, entah kenapa lampu jalan tiba-tiba kembali menyala. Aku tidak lagi memedulikan kejadian mistis tadi, karena fokusku kini terpaku pada makanan yang tersedia dengan konsep prasmanan. Aroma dari makanan melambung ke segala penjuru hingga perutku berbunyi karena bau itu. Aroma itu seakan mengatakan “Makanan ini teramat lezat, makanlah!” Segera aku baris dan mengambil masakan yang aku inginkan kemudian duduk di barisan belakang. Aku agak trauma dengan kursi bagian tengah karena di rumah makan sebelumnya. Ah! Iya, aku baru tersadar bahwa kami yang pertama kali sampai di rumah makan. Terima kasih Ya Allah.

Tak berselang lama, siswa-siswi angkatan yang berada di bus berbeda berdatangan dan meraup habis makanan yang telah disediakan. Beberapa menit kemudian, ada seorang biduan menanyakan lagu yang ingin dinyanyikan olehnya, lalu siswa berteriak secara bersamaan.

“JEGER!”

Aku yang sedang minum pun hampir tersedak karenanya. Zura dan Aqila pun tertawa karena melihat tingkah siswa yang tak karuan itu. Lagu Jeger kemudian dikumandangkan yang membuat telingaku tak betah dan memutuskan untuk kembali ke bus saja. Zura, Aqila dan Rini yang melihatku ingin kembali ke bus pun ikut pergi bersamaku.

Aku kembali melewati toko yang menjual cincin batu akik dan membuat Rini mempercepat langkahnya. Kami yang melihat Rini yang sudah pergi jauh pun segera menyusulnya. Saat kami sudah berada di bus, awan kembali menangis. Entah ada masalah apa hingga ia terus menangis seperti ini. Aku melihat ke arah jendela dan kemudian membayangkan aku sudah pulang ke rumah sembari membawa oleh-oleh yang cukup banyak hasil perjalanan study tourku. Apakah ibu akan tersenyum senang? Semoga aku bisa kembali dengan selamat dan melihat ibuku yang tersenyum.

Beberapa jam kemudian, siswa-siswi kembali ke bus dan kami pun akhirnya melanjutkan perjalanan menuju hotel. Aku penasaran, seperti apa rasanya tidur di hotel. Apakah rasanya begitu nikmat? Sampai rapat DPR ada yang di hotel?

Ternyata jarak antara rumah makan dan hotel tidak terlalu jauh. Kami hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk ke hotel menggunakan kendaraan bus. Saat melihat hotel yang akan aku tempati untuk tidur begitu kumuh dan angker, seperti tidak berpenghuni. Jika hotel ini ditempati untuk rapat DPR, mungkin mereka akan sangat protes. Bangunan hotel itu seakan menghantarkan kami pada zaman kolonialisme, menyeramkan sekali.

Aku berusaha tak memedulikan hotel bak rumah hantu ini dan segera menuju front desk untuk proses check-in. Setelah selesai check-in, kami mendapatkan kunci kamar dan kemudian mencari-cari di mana kamar kami. Ternyata, kamar kami berada di atas dan kami harus menaiki tangga yang cukup panjang, karena tidak ada lift. Tas yang berat aku coba bawa hingga atas, sungguh tanganku rasanya ingin remuk karenanya. Begitu juga dengan Zura, Aqila dan Rini kami sampai harus beristirahat sebentar ketika sudah 5 langkah. Inilah mengapa aku selalu berharap agar kamar kami di bawah. Yah, sudahlah bersyukur saja.

“Mantap! Ini sih kayak film horor tangganya,” celetuk Aqila dengan mata yang berbinar-binar. Semenjak di rumah makan Aqila selalu menampilkan senyum semringahnya bertolak belakang dengan Rini yang ketakutan setengah mati. Langkah demi langkah kami di tangga bergema, hawa mencengkam berkelebatan di udara yang seakan siap untuk menghantui kami selama di sini.

“La, nanti pas udah sampai di kamar baca ayat kursi terus yang pimpin kamu ya!” ucap Rini yang kemudian diangguki cepat oleh Zura. Sedangkan Aqila sedikit cemberut, tampaknya ia menginginkan setan muncul di hadapannya.

Lah, kok aku lagi?”

“Kamu kan-“

“Nilai agamanya paling besar,” potongku karena sudah hafal alasan mereka. Melihat hal itu Zura, Rini dan Aqila tertawa bersama. “Baiklah-baiklah terserah kalian.”

Aku menghela nafas panjang. Aku tidak bisa memprotes lebih karena letih kini sudah menggerogotiku. Ingin sekali berkelana di alam mimpi sekarang, rasanya pasti tenang dan damai. Beberapa menit kemudian, kami sampai di depan pintu kamar kami. Perlahan aku membuka pintu menggunakan kunci yang sudah di berikan dan tak lama kemudian pintu terbuka, “Ciitt...” suara engsel pintu yang berdecit dan memecahkan keheningan. Rini memegang lenganku erat dan jantungku terus menerus berdetak kencang. Tidak bisa dipungkiri aku juga takut.

“Assalamu alaina wa alaa ibadillahish sholihiin,” ucapku yang membuat Zura, Aqila dan Rini mengerutkan keningnya.

“Doa apa itu?” tanya Zura.

“Itu salam ketika suatu rumah atau kamar tidak ada penghuninya.”

Kamar ini memiliki satu kasur yang besar dan di depannya terdapat TV yang tampaknya kebakaran, pasalnya ujung TV itu seakan menunjukkan kejadian masa lalu yang dihadapinya, di depan toilet terdapat cermin yang buram dan sedikit berkarat. Setelah mengecek kamar yang cukup kecil ini aku melaksanakan saran dari Rini yaitu membaca ayat kursi. Setelah membaca ayat kursi bersama-sama aku mengecek handphoneku, ternyata kakak mengirim pesan.

Kalau sudah sampai di hotel, telepon kakak, ibu ingin bicara.

Jantungku berdegup dengan kencang, mataku berbinar-binar.

“Zura, aku izin keluar buat menelepon ibuku ya.”

“Oke!”

Aku menuruni anak tangga dengan penuh semangat. Berjalan keluar dan duduk di depan tempat masuk hotel. Aku memencet tombol telepon dengan tangan gemetar. Tak lama kemudian, suara hangat menyapaku dengan penuh kasih sayang hingga aku tak sanggup berkata-kata.

“Assalamualaikum. Nak, apa kabar?” tanyanya yang membuat mataku berkaca-kaca. Entah kenapa sehari tanpa ibu serasa setahun. Rindu seakan melahapku habis, ingin sekali aku memeluk ibuku saat ini juga.

“Nak?”

“Waalaikumsalam iya Ibu, alhamdulillah Ila baik-baik saja.”

“Syukurlah, menyenangkan di sana Nak?”

“Menyenangkan Ibu, Ila belajar banyak hal di sini! Oh iya Laila bertemu dengan orang bule lalu foto deh! Makanan brem titipan Ibu juga sudah Ila beli, hehe. Semoga nanti Ibu suka!”

“Melihat Ila pulang dengan selamat saja Ibu sudah bahagia.” Kemudian aku dan ibu diam sejenak, membiarkan angin membawa rindu ke tempat tujuan. Air mataku meronta-ronta untuk keluar. Aku rindu, teramat rindu. Biarkanlah aku dianggap alay, itulah yang kurasakan. Perjalanan yang jauh ini membuatku takut, takut kalau aku sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

“Sudah dulu ya, Ila pasti cape karena perjalanan jauh. Tidur yang nyenyak dan pulang dengan selamat ya, assalamualaikum.”

“Waalikumsalam.”

Telepon dimatikan bersamaan dengan air mataku yang berlinang. Tak lama kemudian, aku merasa ada seseorang yang memperlihatkanku. Saat aku melihat ke arah depan, ternyata itu Biru. Biru menatapku erat tanpa berekspresi, dia membawa kantong plastik yang sepertinya ia dari supermarket dan baru kembali. Kemudian, Biru kembali berjalan melewatiku dan tiba-tiba berhenti.

“Masuk, kamu gak kuat dingin.”

Aku memalingkan wajah ke arah belakang dan melihat Biru yang melenggang pergi. Sungguh? Ada apa dengannya? Jangan-jangan dia suka padaku. Ah! Mana mungkin, sudahlah tidak baik menebak-nebak hati seseorang. Lebih baik aku segera ke kamar.

Setelah menaiki tangga, aku dikejutkan oleh Rini yang berlari menghampiriku dan memelukku erat. Tiba-tiba saja ia berlari lalu memelukku seperti koala yang menemukan pohon yang nyaman.

“Tadi ada yang mengetuk-ngetuk pintu kamar, ih seram!”

“Mungkin ada yang usil saja.”

“Tapi, mungkin saja-“

“Setan?”

“Iya! Tolong kamu yang tidur di kasur pinggir dekat cermin ya, aku takut.” Muka Rini memelas yang membuatku menggaruk-garuk kepala yang tidak terasa gatal.

“Kenapa tidak Aqila atau Zura?”

“Mereka sudah ketiduran.” Mendengar hal itu aku menghela nafas kasar. Sungguh, ia sudah lelah. “Baiklah.”

Sebelum menginjakkan kaki di kamar aku baru teringat bahwa aku belum salat Maghrib dan Isya.

“Astagfirullah, aku belum salat! Kamu sudah salat? Kalau belum ayo kita salat dulu!”

“Belum, kita salatnya jangan di kamar ya! Di musala saja.”

“Memangnya ada ya?”

“Ada! Ayo kita ke sana!”

Aku melangkah ke kamar dan melihat Zura dan Aqila yang sudah berada di alam mimpinya masing-masing. Segera aku ambil peralatan salat kemudian menuju musala yang dipandu oleh Rini. Setelah sampai, kami mengambil wudu lalu masuk ke dalam musala. Ternyata, Musala hotel ini sangat besar bahkan saking besarnya bisa menampung 1 angkatan kami. Tak ada karpet yang biasa dipakai musala-musala lain untuk salat, hanya lantai yang sepertinya selalu dibersihkan sehingga sangat bersih sampai memantulkan cahaya lampu di musala.

Setelah selesai salat, kami kembali ke kamar. Rini segera menaruh mukena lalu menaiki kasur dan tidur di samping Zura. Melihat hal itu aku menghela nafas kasar. Kasur ini besar hingga muat untuk kami berempat, selain karena kasur ini besar juga karena kami yang bertubuh kurus. Ternyata ada manfaatnya juga tubuh kurus.

Segera aku menaiki kasur karena sudah semakin malam. Tetapi, AC di kamar ini begitu mengganggu, AC ini membuatku kedinginan setengah mati dan membuatku tidak bisa tertidur. Tak ada remote untuk AC dan tak ada satu pun selimut di kamar ini, seolah-olah membiarkan penghuninya kedinginan. Tak lama kemudian, pikiranku melayang dan mengingatkanku pada sesosok wanita bagai matahari, ibuku. Aku rindu, aku rindu rumah, rindu masakannya, rindu senyuman yang selalu ia tampilkan di hadapanku. Aku teramat rindu.

Aku putuskan untuk menghiraukan semua gangguan yang menyerangku entah itu AC atau bisingnya kamar sebelah yang penghuninya belum mau kalah dengan kantuk. Beberapa jam kemudian, aku terlelap dan berkelana di alam mimpi dengan bebas.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ameteur
187      167     2     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
No Life, No Love
3029      1821     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
My First love Is Dad Dead
113      100     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
No Longer the Same
1096      798     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Andai Kita Bicara
1627      1048     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Konfigurasi Hati
1130      659     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Premium
Cinta Dalam Dilema
41492      5971     0     
Romance
Sebagai anak bungsu, Asti (17) semestinya menjadi pusat perhatian dan kasih sayang ayah-bunda. Tapi tidak, Asti harus mengalah pada Tina (20) kakaknya. Segala bentuk perhatian dan kasih sayang orang tuanya justru lebih banyak tercurah pada Tina. Hal ini terjadi karena sejak kecil Tina sering sakit-sakitan. Berkali-kali masuk rumah sakit. Kenyataan ini menjadikan kedua orang tuanya selalu mencemas...
TITANICNYA CINTA KITA
0      0     0     
Romance
Ketika kapal membawa harapan dan cinta mereka karam di tengah lautan, apakah cinta itu juga akan tenggelam? Arka dan Nara, sepasang kekasih yang telah menjalani tiga tahun penuh warna bersama, akhirnya siap melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, jarak memisahkan mereka saat Arka harus merantau membawa impian dan uang panai demi masa depan mereka. Perjalanan yang seharusnya menjadi a...
Perahu Jumpa
585      441     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
When Flowers Learn to Smile Again
2337      1501     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...