Bab 29
Pekerja Lepas
Di hari yang lain, Lala mendapatkan pekerjaan sebagai guru Bahasa Inggris lepas. Ia mengajar di sebuah tempat kursus. Lala kembali mengenakan kemeja merah muda dan rok hitam selutut. Soso mengantar jemputnya dengan sepeda motor. Soso sesumbar bahwa ia adalah orang kaya, tetapi ia hanya menraktir Lala sekali-kali. Bahkan, Lala pernah beberapa kali menraktirnya karena ia mengeluh tidak bawa uang.
"Ingat, aku hanya tidak bawa uang, bukannya tidak punya uang. Rumahku kemasukan burung walet yang sarangnya bisa dijual dan harganya mahal. Kamu tahu kan berapa harga es sarang burung walet? Untung burung walet itu bersarang di rumahku yang satunya, bukan rumah yang sedang kutinggali. Kalau tidak, rumahku bisa kotor dan tidak layak huni." Soso berusaha meyakinkan Lala.
"Aku mendapatkan warisan yang sangat besar, sekitar satu milyar, tetapi omku tidak terima. Ia berusaha untuk merebut warisanku. Ia membayar seorang pengacara. Aku sedang berusaha mempertahankan warisanku. Aku tak sudi berbagi warisan dengannya. Kamu beruntung jika menikah denganku. Aku ini orangnya royal. Uangku adalah uang istri. Tapi aku tidak suka cewek matre," yakin Soso.
Lala tidak begitu memedulikan perkataan Soso itu. Lala sedang senang. Beberapa hari ini, penyakitnya tidak kambuh. Ia tidak mengerti mengapa kadang, ia kambuh dan kadang, ia stabil. Ia tetap meminum obatnya dengan teratur.
Pada suatu hari, Lala mengajar dari sore sampai malam. Ia berangkat dengan diantar Soso. Malamnya, Lala dijemput lagi oleh Soso. Namun, Soso menemukan Lala sedang berbincang-bincang dengan Mas Admin, bertanya tentang jadwal les berikutnya. Sepertinya, Soso yang tiba-tiba saja sudah datang dan berdiri di ambang pintu, merasa cemburu. Ia berseru sambil melotot ke arah Lala, “Pulang!!”
Lala menoleh. Terkejut. Jantungnya berdegup kencang. Ia cepat-cepat berpamitan kepada Mas Admin dengan menganggukkan kepalanya. Ia mengikuti Soso ke sepeda motornya di halaman tempat kursus yang ditumbuhi berbagai macam pohon buah-buahan.
Karena Lala menderita skizofrenia, pikirannya menjadi tidak fokus. Kini, ia malah mengingat saat-saat ketika ia memakan buah rambutan bersama dengan guru-guru lain di tempat kursus itu. Buah rambutan itu diambil dengan jala dari sebuah pohon di halaman oleh seorang guru pria yang hobi memakai celana selutut.
Seorang guru pria melintas di dekat Lala dan Soso. Guru itu memakai kaos oblong, celana jeans, dan sandal jepit. Lala berpikir, "Kenapa ia bisa berpakaian seperti itu dan tetap tidak dimarahi oleh Pak Bos?"
"Heh! Aku bicara padamu sedari tadi. Apakah kamu tidak mendengar?" tegur Soso yang tiba-tiba terdengar di telinga Lala.
"Apa?" Lala memasang muka tak berdosa.
"Sudahlah!" Soso naik ke sepeda motornya.
Lala menyadari bahwa ia sudah duduk di boncengan sepeda motor Soso, tetapi Lala tidak memeluk pinggang Soso dari belakang. Mereka tidak seperti orang yang sedang berpacaran karena saking kakunya.
Soso memacu sepeda motornya dengan kencang segera setelah Lala naik ke atas boncengan. Namun, tubuh Lala tidak mengenai tubuh Soso karena tas hitam besar Lala menjadi penghalang di antara mereka berdua.
Di sepanjang perjalanan, Soso berceloteh, tetapi Lala tidak begitu mendengarnya. Kata-kata yang Lala dengar samar-samar karena suara bising kendaraan di jalanan hanya, "Aku sebenarnya kepingin mengajakmu nonton film horor yang aku sukai di bioskop. Tapi paling nanti kamu kumat. Aku lagi yang repot. Padahal, asyik nonton film horor berdua di bioskop tengah malam. Sayang, kamunya yang tidak asyik."
Malamnya, Lala sudah sikat gigi dan memakai piyama merah mudanya. Tiba-tiba, ia kembali sakit kepala dan mencari-cari obatnya di atas nakas. Karena ini di rumah, Lala memutuskan untuk meminum air sebanyak-banyaknya agar tidak sakit ginjal. Di luar rumah, ia sering kesulitan untuk mendapatkan air minum. Kalau membawa dari rumah, tasnya yang sudah berbobot dua kilogram itu akan menjadi bertambah berat. Sementara, kalau ia membeli, ia merasa kesulitan karena ia tidak bisa berkonsentrasi. Ketika membuka dompet, uangnya akan berjatuhan. Bicaranya kepada penjual minuman juga akan terbata-bata dan tidak jelas.
Lala kembali masuk kamar. Ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Ia berpikir bahwa semenjak ia berpacaran dengan Soso, ia menjadi jarang menghabiskan waktu bersama dengan Mama Papa. Tak berapa lama kemudian, Lala tertidur.
Hari berikutnya, Lala harus mengajar lagi. Kali ini, ia harus pergi ke rumah murid. Di peta, rumah muridnya itu sekitar tujuh kilometer dari rumahnya. Soso yang bertugas mengantar jemput Lala, mulai marah-marah. Warna wajahnya yang semula putih pucat berubah menjadi merah padam seperti warna seekor naga.
“Biar aku hajar bosmu itu! Aku beli tempat kursusnya! Memangnya aku tidak bisa?!” kecam Soso.
“Jangan … nanti aku dipecat,” bujuk Lala. Nyalinya menjadi ciut. Ia ingin sembunyi di belakang Mama tetapi tidak bisa. Entah di mana Mama sekarang. Papa juga tidak kelihatan batang hidungnya. Papa memang jarang sekali kelihatan, sejarang bulu-bulu di kakinya. Sebagai laki-laki, kaki-kaki Papa hanya ditumbuhi bulu-bulu halus, entah mengapa.
Soso terdiam. Ia pulang begitu saja tanpa berkata-kata apa-apa lagi.
Lala mengetik-ngetik di handphone-nya. Katanya kepada bosnya, “Pak, maaf, tempatnya kejauhan. Saya tidak bisa ke sana.”
“O, ya sudah!” jawab bosnya, enteng.
Besoknya, Soso mengirim chat, “Aku mau kita putus!”
“Tapi kenapa? Apa salahku?” tangis Lala.
“Salahmu banyak. Kamu tidak bisa membuatku bahagia,” gerutunya.
Hati Lala terasa hampa. Beberapa hari ini, ia tidak masuk kerja. Beruntung, ia tidak dimasukkan ke rumah sakit khusus lagi seperti yang sudah-sudah oleh kedua orang tuanya. Ia terus saja mengurung diri di kamarnya. Mama menyuruhnya makan, tetapi ia enggan.
Lalu, Lala meminum obatnya di atas nakas dan berusaha menguatkan hati. Ia menulis chat kepada Soso, “Buku yang pernah kupinjamkan kepadamu, tidak usah kamu kembalikan. Aku sudah tidak mau melihat rupamu lagi. Kalau bertemu denganku di jalan, tolong jangan sapa aku.”
Lala memencet tombol blok di kontak Soso. Ia memblok nomor handphone Soso. Dengan demikian, mereka sudah tidak akan bisa saling menghubungi lagi.
Sekali lagi, Mama berteriak, "La, makan dulu! Kalau tidak, kami terpaksa membawamu ke rumah sakit khusus."
Mau tidak mau, Lala keluar kamar dan menuju meja makan. Walaupun Mama memasak ayam goreng kesukaannya, ia tetap saja tidak selera. Namun, ia memaksakan diri untuk makan juga. Sesekali, ia melakukan gerakan dan mengeluarkan suara seperti orang yang akan muntah, tetapi ia terus berusaha untuk menelan makanannya. Beberapa saat kemudian, ia berhasil menghabiskan makanannya. Untung, tadi ia hanya mengambil dua sendok makan nasi.
Beberapa hari kemudian, sambil mendekatkan diri kepada Tuhan, Lala pun merasa lega dan sudah bisa move on. Namun, ia masih tetap meminum obatnya dengan teratur.