Bab 26
Pemakaman Aneh
Hari ini, Mama mengajak Lala ke pemakaman salah satu teman Mama. Lala ingin memakai baju merah seperti seseorang di sebuah film yang pernah ditontonnya. Lagipula, meninggal dunia tidak selalu berarti kesedihan bagi Lala. Bisa jadi, itu adalah peristiwa yang membahagiakan. Ada saat-saat ketika ia ingin sekali mati, tetapi tidak bisa. Ia juga tidak berani bunuh diri karena takut masuk neraka. Ia hanya berdoa meminta Tuhan untuk mencabut nyawanya agar penderitaannya di muka bumi ini berakhir.
Diri ini akan beralih dari dunia fana ke alam baka. Apabila Tuhan bermurah hati dan hidup kita sudah cukup sengsara di dunia, kita bisa saja masuk Sorga. Penderitaan di dunia fana ini akan berakhir. Lala ingin sekali masuk Sorga di mana di Kitab Suci digambarkan sebagai keadaan tanpa duka dan kesengsaraan lagi.
“Copot baju merah itu! Sekarang!” hardik Mama. Alisnya saling bertautan. Keningnya berkerut. Sudut-sudut mulutnya turun ke bawah. Garis-garis senyumnya begitu kentara. Rahangnya mengeras.
“Tapi Ma …,” protes Lala. Ujung-ujung luar alis Lala turun ke bawah.
“Kenapa kamu membuat Mama jengkel. Kamu kan sudah tahu dari dulu kalau memakai baju merah di acara pemakaman itu tidak layak. Mama kan sudah pernah memberitahumu. Harus pakai bahasa apa Mama mengatakannya kepadamu?!” bentak Mama.
Lala berpikir, "Mama seperti orang kesetanan. Apakah Mama kerasukan? Jangan-jangan, Mama yang sakit mental, bukan aku. Aku sudah curiga sejak dulu. Mengapa Mama tidak dimasukkan rumah sakit khusus. Apakah itu karena ia pintar mengelak? Apakah ia adalah seorang psikopat yang pintar memanipulasi keadaan?"
Lala menunduk sedih. Dilepaskannya baju merahnya dan digantinya dengan baju hitam. Ia keluar kamar kembali dan Mama berkata, “Nah, gitu kan cantik! Sayang, kamu tidak memakai gincu dan bedak. Setidaknya, kamu harus memakai bedak. Anak teman Mama saja pintar berdandan dan selalu kelihatan ceria setiap harinya. Pantas saja, cowok-cowok mengantri untuk memilikinya. Tidak seperti kamu.”
Mama menggandeng Lala masuk ke dalam mobil carteran. Mereka menuju ke tempat pemakaman. Lala sama sekali tidak ingin bicara atau mendengarkan orang bicara. Namun, Mama terus saja berbicara. Perkataan-perkataan yang Lala tidak mengerti artinya karena pikirannya tidak berada di sini pada masa sekarang. Pikirannya mengambara ke mana-mana. Ia ingat masa remajanya dulu sewaktu cintanya ditolak oleh teman sekelasnya.
“Buk!” Seseorang terasa menggebuk pundak Lala.
“Apakah itu teman yang mau mengerjaiku lagi?” pikir Lala. Ia menoleh dan melihat teman perempuan sekelasnya yang berambut cepak. Temannya itu sedang menyeringai.
“La! Lala!” Terdengar suara seruan. Tiba-tiba, pandangan Lala menjadi buram. Ketika pandangannya menjadi jelas kembali, Lala melihat Mama yang sedang menyapu-nyapukan tangan di depan mata Lala.
“Kamu ini! Melamun saja! Apa kamu tidak mendengarkan Mama bicara?” tegur Mama.
Lala terdiam, tak tahu harus bicara apa. Sementara itu, Mama mulai mengomel. Nada suaranya tinggi rendah, tetapi tidak seperti orang bernyanyi. Lala mulai memikirkan sebuah radio yang rusak.
Lala berusaha keras untuk tidak melamun dan berusaha memfokuskan telinganya. Akhirnya, suara Mama terdengar juga, “Kamu ini! Kamu memang tidak pernah mendengarkan Mama bicara.”
Tak berapa lama, mobil hitam ini berhenti di depan sebuah tempat dengan gerbang hitam. Di atasnya, terdapat tulisan ‘Tempat Pemakaman X’. Mama berteriak di telinga Lala, “Ayo turun! Masa kamu mau di sini saja?”
“Telinga Lala sakit, Ma …,” keluh Lala. Namun, Mama seakan-akan tak peduli dan turun meninggalkan Lala sendirian di mobil. Airmata mulai membanjiri pipi Lala, tetapi suara tangisnya tidak terdengar. Setelah ia berhasil menguasai diri, ia menghapus airmatanya. Sejenak, ia kuatir kalau matanya nanti akan terlihat sembab. Lalu, ia memberanikan diri turun dari mobil.
Lala melangkahkan kaki ke tempat di mana banyak pelayat memakai baju hitam yang menangis di depan kuburan baru. Terdapat beberapa gadis yang memakai baju merah. Mereka tampak tertawa bahagia. Lala memberanikan diri bertanya kepada salah seorang dari mereka, “Kenapa kalian memakai baju merah?”
“Apakah kamu tidak tahu? Umur nyonya itu sudah seratus tahun sewaktu ia meninggal. Dalam tradisi kami, kalau bisa meninggal dalam usia seratus tahun atau lebih, itu dianggap suatu kebahagiaan,” jelas gadis itu.
Kini, Lala tampak menyesal. Matanya nanar memandang gadis-gadis itu. Seandainya, tadi, ia memakai baju merah, ia akan bisa berbaur dengan gadis-gadis itu. Apa boleh buat. Mama sama sekali tidak bisa dibantah.
Mama muncul di dekat Lala, entah dari mana. Ia membawa sekeranjang bunga tabur yang terdiri dari mawar merah dan entah bunga apa lagi, Lala lupa namanya. Suruh Mama, “Ayo taburkan bunga ini!”
Lala menaburkan bunga ke kuburan baru. Sebenarnya, ia hendak menaburkan bunga juga ke kuburan-kuburan di sekitarnya yang tampak sepi tak berpengunjung dan tak terawat. Rumput ilalang menjulang tinggi di kuburan-kuburan itu. Pikir Lala, “Kasihan.”
Namun, sewaktu Lala meraup bunga tabur dan hendak menaburkannya ke salah satu kuburan yang tak terawat itu, Mama menghardiknya, “Dasar orang gila! Menaburkan bunga di kuburan tak dikenal.”
Lala urung menaburkan bunga ke kuburan itu. Ia berpikir, “Betapa pemborosan kalau bunga yang ditaburkan sudah sebanyak itu ditambah yang ini juga hanya untuk satu petak makam.
“Tahukah kamu? Nyonya yang meninggal itu orang kaya. Beruntung yang dapat warisan darinya,” cerita Mama.
Lala berpikir, “Untuk apa Mama cerita seperti itu padaku? Yang dapat warisan kan bukan aku.”
Seorang cowok berpakaian serba hitam menghampiri Mama dan Lala. Ia menyalami mereka dan mengajak berkenalan. Katanya, “Aku Soso. Aku adalah ahli waris.”
“Ini Lala. Saya Mamanya, teman baik nyonya yang meninggal itu,” sodor Mama.
“Saya sedari tadi memperhatikan kalian. Anak tante cantik juga,” puji Soso.
Mama menyenggol bahu Lala dan mengedipkan mata kepadanya seakan-akan berkata, “Pucuk dicinta ulam tiba. Kamu tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan.”
Akhirnya, mereka berdiri bertiga, yaitu Mama, Soso, dan Lala, sampai prosesi pemakaman berakhir.
“Mau saya antar pulang, Tante?” tawar Soso.
“Sebenarnya senang sih diantar pulang. Sayang, kami tadi sudah carter mobil,” sesal Mama.
“Boleh minta nomor handphone anak Tante?” pinta Soso.
“Boleh. Boleh banget,” jawab Mama. Ia mengerling ke arah Lala. Lala yang melihat isyarat dari Mama segera menyebutkan nomor handphone-nya kepada Soso. Tak buang-buang waktu, Soso segera mengetikkan nomor itu di handphone-nya sendiri untuk disimpan.
“Nanti aku hubungi, ya? Dag!” Soso meninggalkan Mama dan Lala. Soso masuk ke mobil hitamnya sendiri dan pergi. Pelayat-pelayat lainnya sudah banyak yang pergi juga. Mama mengajak Lala pulang.
“Alangkah tidak sopannya! Bahkan, ia tidak mengucapkan terima kasih,” pikir Lala.