Bab 23
Ribuan Jarum yang Menusuk
Lala sering mengalami tubuh dan kepalanya terasa sakit bagaikan ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Ia teringat Papa mengatakan sesuatu setelah ia pulang dari Rumah Sakit Lokipili. Beberapa hari sebelumnya, ia menemukan dirinya tersadar di sebuah ranjang dengan seprai putih.
Setelah sampai di rumah kembali, Papa berkata bahwa ia telah menyetujui kalau Dokter Hadi menyetrum kepala Lala. Maka, Mama Papa membiarkan dokter itu menyeret Lala ke ruangan khusus, mengikatnya di sebuah kursi besi, dan memasangkan alat yang terbuat dari besi di kepalanya. Dokter itu menekan tombol dan seketika itu juga, alat itu dialiri dengan Listrik yang terasa menekan-nekan dan mengguncang-guncang kepala Lala sedemikian rupa. Lala merasa kesakitan dan tak sadarkan diri.
Sejak kejadian itu, Lala sering merasa sakit kepala. Terdapat sesuatu yang berdentam-dentam di kepalanya, serasa isi kepalanya diaduk-aduk. Rasa sakit itu menjalar-jalar sampai ke seluruh tubuhnya. Memang benar bahwa ia masih bisa menggerakkan tubuhnya. Namun, gerakan yang dibuatnya, sekecil apa pun itu, menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa di sekujur tubuhnya.
Sekedar mengerang kesakitan pun Lala tidak berani, walaupun sesekali ia tidak tahan juga. Orang tuanya tidak bisa terima kalau ia sakit. Mereka tidak mau tahu dan tidak mau dibuat repot olehnya. Ia harus bisa mengurus dirinya sendiri. Maka, ia seringkali tertatih-tatih ke kamar mandi saat ia sedang kesakitan. Ia segan untuk mengompol di celana dan membasahi ranjang tempat ia berbaring. Beruntung, terdapat sebuah kamar mandi yang dilapis porselen putih bermotif angsa beberapa langkah dari kamar Lala di loteng. Namun, kalau Lala sedang berada di lantai bawah ketika ia sedang kesakitan, ia akan memilih untuk tidur di kamar tamu saja ketimbang naik ke loteng.
Lala harus terus meminum obat rutinnya dan terkadang ditambah obat bila perlu. Namun, psikiater yang selalu berganti sesuai dengan kehendak orang tuanya itu selalu saja memberikan obat yang berbeda kepada Lala. Tidak ada satu pun yang benar-benar bisa mengobati rasa sakitnya seketika itu juga. Setidaknya, rasa sakitnya akan berangsur-angsur pulih setelah beberapa jam kemudian. Tidak jarang, ia menemukan dirinya terbangun dari tidur pulas setelah meminum obatnya dalam keadaan sudah sembuh. Namun, saat ia dalam keadaan tidur, ia pernah bermimpi bahwa ia sedang kesakitan. Begitu bangun, rasa sakit itu sudah lenyap. Tak lupa, ia mengucap syukur.
Lala masih mengingat bahwa obat-obatan itu beraneka warna. Ada kapsul merah hitam, biru, kuning, putih, cokelat, dan oranye. Yang Lala ingat, yang biru bernama Stelazin, yang kuning Closaryl, yang merah muda Haloperidol dan yang putih Trihexypenidil. Namun, tidak semua yang kuning bernama Closaryl dan tidak semua yang putih bernama Trihexypenidil.
Nama-nama obat lainnya yang pernah dikonsumsi Lala dan ia masih mengingatnya sampai sekarang adalah Chloformacyn, Seroquel, Haloperidol, dan Hexymer. Trihexypenidil dan Hexymer berguna untuk mengatasi kekakuan dan gemetar karena mengonsumsi obat. Efek samping kedua obat yang sepertinya sama tetapi merek dagangnya berbeda itu adalah menurunkan fungsi otak. Untuk mengatasinya, Lala menjadi banyak membaca dan belajar. Oleh karena itu, ia masih mampu mengajar Bahasa Inggris sampai sekarang. Ia juga terus menulis buku. Namun, kehidupannya tidak selalu tenang.
Dalam halusinasinya, Lala seperti melihat Dokter Hadi dan kedua orang tuanya merencanakan sesuatu di sebuah ruangan yang sempit dengan bangku-bangku kayu cokelat yang saling berhadap-hadapan. Mereka duduk di bangku-bangku itu. Mama sedang mengenakan gaun merah dan gincu merah kesayangannya.
Mama Papa dan Dokter Hadi saling berbisik satu sama lain. Mereka kuatir kalau ada yang mendengar, terutama Lala. Mereka sedang sengaja bersepakat untuk membuat Lala kesakitan kecuali kalau ia meminum obatnya. Mereka membuatnya mengalami rasa sakit berulang dengan cara menyetrum kepalanya dan memaksanya meminum kapsul merah hitam itu.
Rasa sakit yang luar biasa itu menjadi bisa kambuh sewaktu-waktu terutama ketika Lala sedang tertekan atau kecapekan. Namun, Mama seperti tidak mau tahu. Ia menuntut Lala untuk bekerja layaknya orang normal. Papa berkata, “Kalau tidak bisa bekerja kantoran, kamu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.”
Maka, Lala harus bekerja sepanjang hari. Ia juga berusaha mencari uang dengan menjadi pekerja lepas, yaitu sebagai guru Bahasa Inggris, penerjemah, dan penulis. Namun, ia hanya mendapatkan sedikit hasil, sangat tidak sebanding dengan kebutuhannya dan keluarganya. Belum lagi, jari-jari tangannya mulai terasa sakit karena ia terlalu banyak mengetik.
Lala tidak hanya mengetik di notebook, tetapi juga di handphone. Mengetik di handphone lebih dapat membuat sakit ketimbang mengetik di notebook. Ia baru menyadarinya belakangan setelah rasa sakit dan kekakuan mulai menjalari jari-jarinya. Ia pun mengonsumsi vitamin B kompleks dan D3 K2 seperti saran Papa. Hal itu lumayan menahan rasa sakitnya sehingga ia bisa terus mengetik hampir setiap hari.
Pada suatu hari, Lala menulis surat lamaran ke salah satu SMA di Yogyakarta. Setelah mengikuti tes tertulis dan tes wawancara, ia dinyatakan lulus dan sudah bisa mulai bekerja. Namun, ia tidak mengatakan yang sesungguhnya kepada pewawancara, sesuai saran Mama, karena zaman sekarang begitu sulit mencari pekerjaan.
"Apakah kamu bisa bekerja di bawah tekanan?" tanya Kepala Sekolah yang mewawancarai Lala.
"Bisa ...," jawab Lala. Padahal, ia mudah stress dengan sedikit tekanan. Sambungnya dalam hati, "... kalau ada mukjizat dari Tuhan."
Namun, rasa sakit itu kambuh lagi setiap siang menjelang. Lala menjadi kelihatan aneh. Keningnya berkerut dan sudut-sudut mulutnya turun ke bawah. Kata-katanya menjadi aneh dan tidak bisa dimengerti oleh murid-muridnya karena pikirannya kacau. Dalam keadaan seperti itu, ada salah satu siswi yang melapor ke orang tuanya dan orang tuanya melapor ke kepala sekolah.
Kepala sekolah memanggil Lala dan menanyainya dengan seksama. Tiga kali percakapan empat mata dan Lala berhasil lolos. Namun, yang keempat, Lala terpeleset lidah.
“Apakah kamu benar-benar bisa mengajar di sini?” tanya kepala sekolah.
“Saya kesusahan mengatur anak-anak. Mereka selalu ramai dan saya tidak tega memarahi mereka.” Lala berterus-terang.
“Standar di sekolah ini tinggi. Apakah kamu akan bisa mencapainya?” tanya kepala sekolah lagi.
“Saya akan mencobanya.” Sebenarnya Lala bisa, hanya saja rasa sakit menguasainya di siang hari sehingga membuatnya tidak yakin.
“Sekolah ini bukan untuk coba-coba. Saya minta kamu menulis surat pengunduran dirimu. Besok, kamu harus menyerahkannya kepada saya,” kecam kepala sekolah.
“Tapi saya tidak mau,” tegas Lala.
“Kalau kamu tidak mau, kami akan memecatmu dengan tidak hormat. Bahkan, kami tidak akan memberikan surat keterangan yang menyatakan bahwa kamu pernah bekerja di sini untuk kamu bawa mendaftar ke tempat-tempat kursus,” tegas kepala sekolah.
“Baiklah! Saya akan menulis surat pengunduran diri itu.” Lala tertunduk lesu.