Bab 18
Kontrol Dokter
Sekembalinya Lala ke rumah, ia masih harus tetap kontrol di Rumah Sakit Castle. Karena malas menunggu antrian, ia kontrol dengan dokter mana saja yang jumlah pasiennya sedikit. Seorang dokter perempuan yang wajahnya kelihatan lebih muda daripada Lala memanggil Lala dengan sebutan ‘kowe.’ ‘Kowe’ adalah Bahasa Jawa kasar yang berarti ‘kamu’. Biasanya, ‘kowe’ digunakan untuk memanggil teman sebaya.
"Ia pasti menganggapku hanya orang gila sehingga ia tidak merasa perlu menghargaiku," pikir Lala. Ia tidak merasa nyaman. Ia merasa dokter itu tinggi hati dan merasa lebih daripada Lala. Mentang-mentang ia bisa menjadi seorang dokter dan gajinya besar. Lala mengetahui bahwa gaji dokter itu besar karena ia pernah melihat rekening Papa. Gaji Papa minimal enam juta per bulan.
Sebenarnya, Lala ingin menghemat gaji itu agar membengkak dan cukup untuk hari tuanya. Jadi, ia tidak usah susah-susah bekerja lagi. Namun, Mama selalu membelanjakan dan menghabiskan gaji Papa, termasuk membelikan Lala baju-baju baru yang dirasa Lala kurang perlu. Baju-baju Lala yang lama masih bagus-bagus. Namun, Papa pernah berkata kepada Lala, "Papa tidak mau mewariskan harta kepadamu. Papa hanya akan mewariskan kecerdasan dengan menyekolahkan dan menguliahkanmu. Setelah lulus, kamu harus bisa mencari uangmu sendiri, bukannya terus bergantung kepada uang Papa."
Lala hanya bisa termenung. Ia masih saja nampak aneh di mata kedua orangtuanya.
Sebulan kemudian, orang tua Lala membawanya kontrol lagi. Dokter yang tersedia dan belum punya pasien hanya satu. Maka, Lala kontrol dengan seorang dokter perempuan bertubuh gempal itu. Pakaiannya hanya berupa kaos oblong sementara bawahannya tidak kelihatan karena tertutup oleh meja dokter yang terbuat dari kayu dan berwarna coklat. Dokter itu bertanya, “Apakah kamu bisa tidur kalau malam?”
“Tidak tetapi saya malah mendapatkan ide untuk tulisan-tulisan saya kalau malam masih terjaga.” Lala teringat bahwa ia sering menuliskan ide-idenya di atas kertas-kertas di lantai kamarnya saat tengah malam menjelang. Lalu, ia baru bisa tertidur. Menjelang pagi, ia mengetikkan ide-idenya itu di notebook dan mengirimkannya ke penerbit, ada yang lewat pos dan ada yang lewat email, tergantung dari persyaratan penerbit. Maka, belasan dari tulisannya pun dimuat di majalah-majalah.
“Tidak bisa begitu. Kamu harus tidur kalau malam. Itu gejala sakit jiwa. Saya akan meresepkan obat tidur yang harus kamu minum,” bujuknya.
"Dokter ini memaksa sekali. Ia tidak bisa mengerti kesenangan seseorang. Apakah ia hendak mencelakaiku dan membuat hidupku susah. Apakah ia mau aku gagal ketimbang sukses? Apakah ia mau aku kecanduan obat tidur? Bukankah kalau sudah terbiasa minum obat tidur akan kesulitan tidur untuk selamanya?" Hati Lala bertanya-tanya.
Sebulan kemudian, barulah Lala mendapatkan dokter yang tempo lalu berbicara dengan Mama Papa. Ia adalah dokter tua yang rambutnya hitam disemir. Lala mengeluh kepadanya, “Saya sering kesakitan. Saya juga merasa segala sesuatunya belum beres. Jika saya menggembok rumah, saya tetap kuatir jika saya lupa. Saya akan memeriksanya berulang-ulang.”
“Baik. Saya resepkan obat-obatan,” kata dokter yang di mejanya terdapat papan nama kayu dengan tulisan ‘dr. Krisna, Sp.KJ.
"Kenapa saya selalu kuatir sampai memeriksa sesuatu secara berulang-ulang? Contohnya, handphone saya. Saya selalu memeriksanya berulang-ulang karena saya selalu merasa bahwa handphone saya tertinggal di suatu tempat yang saya singgahi seperti misalnya rumah makan," urai Lala.
"Itu obsesif kompulsif disorder. Obat dari saya bisa menahannya," kata dokter Krisna.
"Sembuh atau tidaknya tergantung dirimu sendiri," celetuk Mama.
"Iya. Kamu harus mempunyai tekad untuk sembuh biar obatnya bisa dikurang-kurangi," nasehat Dokter Krisna.
"Apakah suatu saat nanti, obat-obatan saya bisa distop?" tanya Lala.
"Saya tidak bisa menjawabnya sekarang," sahut Dokter Krisna.
Ternyata, Lala masih sering bertemu dengan dr. Krisna setiap bulannya, termasuk ketika novel skizofrenianya diterbitkan. Lala bertemu dengan dr. Krisna saat acara bedah buku novelnya itu. Selain Lala, dr. Krisna dan beberapa orang lagi menjadi pembicara.
“Novel ini adalah novel skizofrenia. Novel ini ditulis berdasarkan kisah nyata. Novel ini bagus dan layak dibaca oleh setiap orang agar mengetahui gejala-gejala skizofrenia yang mungkin dialami oleh anggota keluarganya. Novel ini juga bagus untuk guru agar mengetahui jika anak didiknya ada yang menderita skizofrenia,” jelas Lala panjang lebar. Ia juga menceritakan garis besar novel yang berjudul Aku Menderita Skizofrenia terbitan PT Kanisius itu.
“Hadirin yang terhormat, saya akan menjelaskan tentang skizofrenia. Ciri-ciri orang yang mengidap skizofrenia adalah mengalami waham dan halusinasi. Beberapa macam halusinasi adalah halusinasi penglihatan, halusinasi pendengaran, halusinasi penciuman, halusinasi perabaan, halusinasi pengecapan, dan halusinasi seksual. Halusinasi seksual adalah ketika seseorang merasa telah berhubungan seksual dengan seseorang padahal tidak demikian,” urai dr. Krisna.
"Ada pasien saya yang merasa bahwa lidahnya dipenuhi bulu angsa. Saat diperiksa, ternyata tidak ada bulu angsanya. Ada juga yang merasa diraba-raba, padahal tidak ada yang merabanya. Tapi kalau Anda jalan-jalan di pasar yang ramai dan Anda merasa diraba-raba, itu mungkin saja." Dokter Krisna berusaha untuk berkelakar, tetapi yang tertawa hanya beberapa sementara pengunjung terdapat sekitar seratus orang.
Penjualan novel kisah nyata karangan Lala pada acara bedah buku ini termasuk bagus. Novelnya terjual sejumlah seratus eksemplar. Orang-orang yang membeli novel Lala, termasuk seorang dokter gigi, merobek plastik pembungkus novel dan meminta tanda tangan Lala.
Sayang, Lala tidak bisa lama-lama berada di auditorium penerbit itu karena gejala-gejalanya seperti akan muncul. Mama Papa cepat-cepat membawa Lala pulang. Sementara itu, Tante yang menebeng mobil Papa menggerutu, "Padahal acaranya bagus. Aku masih betah. Aku masih ingin mengikuti acara sampai selesai."
"Nanti Lala kumat," sahut Mama.
"Ah, masa iya? ... Benarkah itu, La?" tanya Tante. Lala tidak menyahut karena takut dan malu kalau dianggap orang gila.
"Iya," sahut Mama, membantu Lala. Tante hanya cemberut. Bibirnya mengerucut.
"Bagaimana kalau kita makan soto? Aku lapar," kata Papa, mengalihkan pembicaraan.
"Oke," sahut Tante.
Papa menepikan mobilnya di depan sebuah warung soto. Soto adalah makanan kesukaan Papa karena murah meriah. Papa lebih suka membeli soto di warung ketimbang di rumah makan atau mal. Namun, mereka pernah juga diajak Papa makan soto di rumah makan atau mal untuk mencicipi rasa makanan itu.
Selera Papa tidak selalu sama dengan selera Lala. Kalau Lala bilang enak belum tentu enak bagi Papa. Sebaliknya, kalau Papa bilang enak, belum tentu enak bagi Lala.
"Pasti Papa mengada-ada, hanya untuk menyiksaku melalui lidahku. Ia sengaja memilihkan soto yang tidak enak dan tidak membiarkanku memakan soto yang enak."
"Ini sotonya enak, La," komentar Mama.
"Kok enak kenapa?" tanya Lala, heran. Dahinya mengernyit.
"Lihat saja ke dalam panci besar soto itu! Banyak cakar ayamnya," jelas Mama.
Lala berusaha melongok ke dalam panci itu, tetapi ia tidak bisa melihat apa-apa, hanya kuah soto yang berwarna kuning keruh.