Bab 17
Rawa di Bawah Rumah
Sejak Ardi meninggalkan Lala, Lala menjadi sering mengurung diri di kamar. Halusinasi dan wahamnya mulai bermunculan. Bayangan-bayangan hantu mengganggunya. Ada yang berbentuk wanita berpakaian putih dan anak-anak.
Lala merasa yakin bahwa di bawah rumah yang orang tuanya dan dia tinggali saat ini ada rawanya. Dahulu kala, banyak orang yang melewati rawa, terperosok ke dalamnya, dan terhisap sedikit demi sedikit. Setelah kepala mereka terbenam, mereka mati perlahan. Mereka kehabisan nafas. Lalu, orang menimbun tanah di atasnya sampai lumpur rawa memadat. Mereka pun menimbuninya dengan semen sampai menjadi keras. Setelah itu, rumah ini dibangun di atasnya. Itulah sebabnya, pondasi rumah ini begitu kuat.
Lala seperti melihat arwah-arwah penasaran yang muncul dari rawa di bawah rumahnya. Mereka merasa sangat menderita dan kehabisan nafas. Lala turut merasakan hal yang sama dengan mereka. Tak jarang, ia berteriak-teriak kesakitan dan meminta tolong kepada Mama. Lala merasa akan mati tenggelam walaupun tidak ada air sedikit pun di sekitar tubuhnya. Air yang paling dekat dengannya hanyalah air di dalam botol yang diletakkan di atas nakas.
“Argh! Aduh, Ma! Sakit. Tolong aku!” teriak Lala pada suatu saat. Ia memegangi kepalanya dan berguling-guling di lantai kamar. Mama datang hendak menolong, tetapi ia tidak tahu caranya. Mama kebingungan karena tidak tahu mengapa Lala sakit.
Lama-kelamaan, Mama Papa sudah tidak bisa menahan diri lagi. Mereka memutuskan untuk kembali membawa Lala ke Rumah Sakit Castle. Kali ini, Mama Papa tidak menelepon petugas karena Lala tidak mengamuk dan menurut ketika disuruh masuk ke dalam mobil Papa. Di sepanjang perjalanan, Lala menitikkan air mata.
Sesampainya di rumah sakit, Lala sempat marah kepada petugas yang menggiringnya masuk ke balik jeruji. Teriaknya, “Aku tidak gila! Mungkin, Mbak yang gila!”
Meskipun demikian, mbak itu tetap memaksa Lala masuk. Lala merasa bahwa mereka hanya mengada-ada. Mereka mempunyai niat buruk. Mereka hanya bermaksud menyiksanya. Ia merasa seperti orang kudus yang dianiaya di buku yang pernah dibacanya. Sementara itu, rumah sakit ini hendak mengeruk kekayaan Mama Papa. Mama Papa pun menggunakan uangnya untuk mencari cara menyiksa Lala. Salah satunya dengan cara memasukkannya ke rumah sakit ini.
Lala kembali mendapatkan kamarnya yang sebelumnya. Teman-temannya juga masih seperti dulu sewaktu ia dibawa ke rumah sakit ini untuk yang pertama kalinya.
Ada seorang cowok berambut keriting cepak dan bercelana sobek yang sedang melamun. Matanya menerawang. Ia duduk di sebuah kursi kayu coklat panjang yang terletak di depan kamarnya.
Lala menghampiri cowok itu dan duduk di sebelahnya. Sapa Lala, “Bona?”
Bona menengadahkan wajahnya dan memandang Lala. Bau asam menguar dari tubuhnya. Lala memutuskan untuk mengajaknya mengobrol.
“Kenapa kamu bisa berada di sini dan belum pulang?” tanya Lala.
“Aku sakit,” jawab Bona.
“Kamu lulusan apa?” tanya Lala lagi.
“Aku cuma lulusan SMA. Otakku ini rasanya sudah tidak kuat untuk melanjutkan,” keluhnya. Lala mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia bersyukur karena ia sudah lulus S1. Ia teringat bahwa ia sempat tertatih-tatih dalam menyelesaikan kuliahnya.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus melewati mereka sambil berseru-seru, "Wandu! Wandu! Wandu!" ("Banci! Banci! Banci!")
Sekitar sedetik kemudian, laki-laki itu menyanyikan lagu bersyair sedih tentang putus cinta berbahasa Inggris. Mungkin, masalahnya adalah patah hati. Mungkin, kekasihnya direbut oleh lelaki lain yang disebutnya 'wandu' itu.
Tak terasa waktu berlalu. Hari sudah gelap. Seorang perawat melangkahkan kaki ke arah Lala. Hardik perawat itu, “Mandi! Kalau tidak mau, kami akan memandikanmu.”
Lala cepat-cepat ke kamar mengambil handuk dan baju ganti. Semuanya, baik handuk maupun baju ganti berwarna merah muda. Ia memang suka warna merah muda. Lalu, ia melangkah pelan seperti ketukan musik jas menuju ke kamar mandi. Ia memilih mandi sendiri daripada dimandikan. Ia merasa malu kalau orang lain melihat tubuhnya yang tidak berpakaian, entah itu laki-laki atau perempuan sekalipun.
Selesai Lala mandi, ia keluar dari kamar mandi. Handuk disampirkannya di bahu kiri sementara tangan kanannya menenteng pakaian kotor. Suasana sekitarnya sudah menggelap. Lala menengadah memandang ke langit karena di luar kamar merupakan area terbuka yang tidak beratap. Bulan sabit terlihat menggantung di sebuah pohon besar di area itu. Lala bergeser selangkah ke kiri. Ternyata, bulan itu tidak benar-benar tergantung di pohon itu. Hanya tampaknya saja. Setelah Lala bergeser selangkah ke kiri, bulan itu pun terpisah dari pohon itu.
Selain bulan, terdapat bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit. Lala berusaha menebak-nebak rasa bintangnya.
Seketika, keasyikan Lala buyar. Seorang petugas berteriak dengan suara lantang, “Jam malam! Jam malam! Semuanya masuk ke kamar!”
Lala cepat-cepat masuk kamar karena nyalinya menjadi ciut. Seorang pria masih duduk di depan jendela kamar Lala. Petugas itu mengusir pria yang mengaku pernah menjadi prajurit keraton kepada Lala tempo hari itu, dari depan jendela kamar Lala. Lala sudah tertidur di ranjangnya ketika petugas itu menutup pintu dan jendela kamar Lala.
Besoknya, Lala bangun kesiangan dan memutuskan untuk berkeliling. Beberapa pasien dikurung di kamar yang terkunci dan jendelanya dipasangi jeruji. Lala berpikir, “Apakah mereka mengamuk?”
Sekitar beberapa jam kemudian, Mama Papa datang membesuk Lala sambil membawakan biskuit bundar kecil-kecil. Mama Papa berbicara dengan dokter sebentar. Dokter itu sudah tua tetapi rambutnya hitam disemir.
Sekilas, Lala mendengar setelah mereka berada di penghujung pembicaraan. Mama bertanya, “Dokter ini sudah tua tetapi tetap sehat dan tidak pikun. Apa rahasianya?”
“Olahraga,” jawab dokter itu. Ia menoleh kepada Lala. Ujarnya, "Kamu jangan jadi anak kurang ajar. Mama Papa adalah orang yang paling baik sedunia." Sudut bibir kirinya tertarik sedikit ke atas. Ia memiringkan wajahnya.
Lalu, Mama Papa pamit pulang. Kata mereka, "Kami pulang dulu. Kami titip Lala."
"Jangan kuatir! Lala berada di tangan yang tepat," kata dokter itu, bangga. Lala tidak mengerti mengapa dokter itu bangga. Lala merasa bahwa keahlian dokter itu adalah menyiksa seseorang.
Lala membawa biskuitnya dan mengangsurkannya ke salah satu pasien yang pintu kamarnya dikunci dan jendelanya dipasangi jeruji. Pasien itu segera menarik biskuit itu dari tangan Lala dan berteriak, “Matur nuwun!”
"Kami benar-benar hanyalah korban dari ketidakadilan. Sebenarnya, yang gila itu mereka, bukan kami. Mereka hanya lebih kuat dan lebih cerdas daripada kami saja sehingga mereka berhasil memasukkan kami ke rumah sakit khusus," pikir Lala.
Kembali petugas membentaknya, "Mandi!"
Setelah mandi, petugas kembali membentaknya, "Minum obat!"
Lala mengeluh dalam hati, "Sampai kapan ini semua berakhir? Aku terpaksa menuruti mereka karena mereka tampak menakutkan. Aku seperti tikus di hadapan seekor kucing."