Bab 13
Rumah Sakit Castle
Lala merasa aneh akhir-akhir ini. Ia merasa bahwa Mama akan menyakitinya. Ia menceracau sendirian. Mama memergokinya berkata, “Seandainya Engkau memilih salah satu ya, Tuhan, siapakah yang akan Engkau pilih? Mama atau aku?”
Suatu pagi buta, Lala masuk ke kamar orang tuanya dan menepuk-nepuk paha Mama dengan keras. Mama terbangun dan terkejut. Papa segera mengambil tindakan. Ia menelopon Rumah Sakit Castle, yaitu semacam rumah sakit khusus untuk penderita gangguan mental.
“Tolong jemput anak saya Lala. Ia sakit lagi,” ucap Papa.
Beberapa saat kemudian, petugas-petugas kekar berseragam putih berdatangan. Mereka menggelandang Lala yang sedan tersedu-sedan di kamarnya. Mereka memaksa Lala masuk ke mobil Avanza berwarna putih.
Mereka sampai ke sebuah rumah sakit berjeruji. Dua orang terlihat menempelkan wajahnya di jeruji dan memandang keluar. Sepertinya, mereka ingin keluar tetapi tidak bisa. Pintu jeruji itu digerendel. Sementara itu, beberapa orang lagi terlihat mondar-mandir di sebuah halaman yang berada di balik jeruji.
Ketika Lala sampai di depan pintu jeruji dengan diantar dua petugas yang tadi, seorang petugas yang sedari tadi berjaga di situ membuka gerendel. Mereka mengantar Lala ke sebuah kamar yang masih kosong di sudut rumah sakit.
Ketika Lala duduk termenung di depan jendela kamarnya, seorang gadis berjingkrak-jingkrak ke arahnya dan menyapanya. Gadis itu memberi hadiah sebungkus sabun yang diangsurkannya kepada Lala. Ketika Lala menerimanya, ternyata itu begitu ringan. Ia mengintip ke balik bungkus itu dan kosong.
Seorang paman terlihat mondar-mandir. Lalu, ia berjalan ke arah jendela Lala dan menutupnya. Lala ketakutan. Ia meringkuk di sudut ranjang.
Seorang petugas kebersihan berseragam batik masuk ke kamar Lala dan mengepel lantainya. Katanya, “Jangan menangis, Mbak! Asalnya dari mana?”
“Perumahan,” jawab Lala.
“Ini meja dan kursinya seharusnya ditata begini,” ujarnya. Ia meluruskan posisi meja dan kursi yang miring tak beraturan semuanya di kamar Lala. Ia membuka kembali jendela Lala yang tertutup. Lalu, ia keluar. Seru Lala, “Terima kasih!”
Lala memberanikan diri untuk berjalan-jalan di luar kamar. Tak disangka-sangka, ia berpapasan dengan paman yang tadi. Kata paman itu, “Aku dimasukkan ke sini oleh anakku sendiri. Ini! Bawalah ini! Kalau tidak ada ini, kamu tidak akan selamat!”
Paman itu mengangsurkan sobekan berita dari koran yang diambilnya dari saku kemejanya kepada Lala. Lala menerimanya dan membawanya ke kamarnya.
Seorang perawat berseragam putih datang membawakan nampan berisi makanan dan minuman. Terdapat sepiring nasi, ikan goreng, dan sayur asam. Segelas air putih berada di sebelahnya. Lala segera makan dengan lahapnya karena perutnya sudah keroncongan sedari tadi.
Setelah kenyang dan meminum air putihnya, tiba-tiba perawat berseragam putih tadi datang membawa nampan yang terdapat butiran-butiran obat dan segelas air putih di atasnya. Bentaknya kepada Lala, “Ayo minum obat! Boleh pakai pisang atau air!”
Lala mencoba meminum obatnya dengan pisang, tetapi ternyata rasa pahitnya begitu terasa. Keluhnya, “Pahit!”
“Saya tidak mau tahu. Pokoknya, obat-obatan itu harus masuk,” ancam perawat. Lala mengambil segelas air putih yang berada di atas nampan yang sedang dibawa oleh perawat. Ia meneguk air itu sehingga obat terdorong masuk ke kerongkongannya dan menuju ke perutnya. Ia pun tidak kepahitan lagi.
Seorang gadis berambut keriting menghampiri Lala. Ia menunjuk cincin emas di jari manis kanan Lala. Rupanya, cincin itu belum dilepas semenjak Lala dibawa ke sini.
“Kamu harus memakainya di jari tengah. Kalau tidak, maka cincin itu akan hilang,” bujuk gadis itu. Lala mencoba memakainya di jari tengahnya tetapi cincin itu tidak bisa masuk. Gadis itu berkata lagi, “Kamu harus memaksanya.”
Lala mulai berpikir bahwa gadis itu mengerjainya. Jari tengahnya bisa terluka dan cincinnya bisa-bisa tidak bisa dilepaskan lagi. Seorang petugas meneriaki gadis itu, “Rosita … ! Haidmu tembus lagi di ranjang! Sampai berapa kali lagi kami harus mengganti sepraimu?!”
Gadis itu bersikap masa bodoh. Katanya lagi kepada Lala, “Kamu harus mandi sekarang. Jika tidak, kamu akan disuruh mandi di malam hari.”
“Tapi ini masih terang,” elak Lala.
“Sebentar lagi, hari akan gelap, dan kamu akan menyesal. Baiklah, aku akan mandi sekarang. Jangan bilang bahwa aku tidak memperingatkanmu.” Gadis itu berlalu. Lala cepat-cepat menutup pintu dan jendela kamarnya. Ia melepas cincin emasnya dan menaruhnya di antara pakaian-pakaian ganti yang sudah dititipkan Mama melalui petugas.
Seorang pria mengetuk jendela Lala. Lala membuka jendelanya. Pria itu menunjuk kursi di depan jendela Lala. Pria itu bertanya, “Boleh aku duduk di sini?” Lala hanya mengangguk.
Setelah duduk, pria itu bertanya lagi, “Boleh aku merokok?”
Lala berkata, “Sebentar lagi, kita semua pasti akan mati. Apa gunanya menjaga kesehatan? Merokok saja.”
Pria itu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya dan menyulutnya dengan korek api dari sakunya juga. Ia mulai bercerita, “Aku ini dulunya adalah seorang prajurit keraton. Aku masuk ke sini karena beratnya tekanan hidup yang harus aku lalui bla bla bla … ”
Lala tidak memerhatikan lagi kata-kata pria itu. Ia menahan diri agar tidak terbatuk, tetapi akhirnya ia terbatuk-batuk juga. Pria itu tidak peduli dan meneruskan ceritanya.
Akhirnya, Lala berhasil menguasai diri agar tidak terbatuk terlalu intens. Ia memerhatikan penampilan pria itu. Ia memakai kemeja biru tua. Rambutnya agak gondrong, dan ia berkumis.
Sesaat kemudian, pria itu berkata, “Mau kuambilkan radio dari kamarku? Kamu akan terhibur.” Lala menggeleng.
“Ya, sudah, kuambilkan susu saja. Kamu pasti akan sembuh,” hiburnya. Ia menuju ke kamarnya dan kembali melangkah ke kamar Lala dengan sesuatu yang disembunyikan di balik kemejanya. Ia mengeluarkannya dari balik kemejanya setelah sampai di depan jendela Lala. Ternyata, itu adalah segelas susu yang ditutupinya dengan kemejanya. Lala langsung menenggaknya habis, berharap bahwa ia akan segera sembuh.