Bab 5
Ujian Pendadaran
Kembali skripsi Lala dicorat-coret oleh dosen pembimbing berkulit hitam dan berkacamata itu. Ia disuruh membenarkan kembali skripsinya seperti yang sudah-sudah, entah sudah berapa kali, ia lupa.
Lala terduduk di pojok kampus. Skripsi yang sedari tadi digenggamnya, ditaruh di pangkuan. Ia menatap skripsinya lekat-lekat. Ia merasa putus asa. Matanya berkaca-kaca. Dalam hati, ia berdoa, "Tuhan, tolonglah aku!"
Sekitar sejam kemudian, Lala memasukkan skripsinya ke dalam tas agar tidak tercecer. Dengan tertatih-tatih, ia menuju ke pemberhentian bus untuk pulang. Ia membayar ongkos bus kepada kondektur sambil menahan tangis.
Sesampainya di rumah, otak Lala seakan-akan tidak bisa diajak bekerja sama untuk menyelesaikan skripsi. Ia tertidur setelah meminum obatnya.
Setelah bangun, Lala baru menyelesaikan skripsi pelan-pelan dan mengubahnya menjadi makalah. Ia diperbolehkan mengumpulkan makalah saja, tetapi dengan syarat mengambil satu mata kuliah tambahan. Akhirnya, ia bisa menyelesaikan makalahnya.
Setelah difotokopi, Lala mengumpulkan makalahnya ke dosen pembimbing dan menyimpan kopiannya untuk dipelajari dan dihafal seperti saran dosen pembimbing. Kali ini, dosen itu menyetujui makalah Lala dan menandatanganinya. Lala menarik nafas lega.
Saat ujian skripsi pun tibalah. Lala mempersiapkan diri. Ia sudah menghafal skripsinya. Kini, ia mandi dan bersiap-siap. Salah satu syarat ujian itu adalah memakai pakaian resmi berupa atasan yang berkerah dan bawahan yang terbuat dari kain. Ia memakai blouse pink berkerah dan rok hitam panjang. Rok hitam itu tadinya sobek di bagian depan, tetapi sekarang sudah dijahit oleh Mama.
Lala memasang gincu berwarna merah muda di bibirnya karena seorang bapak dosen yang sudah tua pernah mengajarkannya demikian. Dosen itu berkata, "Memakai gincu adalah wajib bagi perempuan ketika menghadiri acara formal."
Tak lupa, Lala menggaruk kuku-kukunya yang dilapisi kuteks berwarna merah marun itu sampai semuanya terkelupas dan kuku-kukunya kembali polos. Ia takut dianggap tidak sopan jika memakai kuteks seperti itu karena warnanya yang mencolok.
Rambutnya yang hitam dan panjang diikatnya dengan ikat rambut yang berwarna senada dengan blouse yang sedang dikenakannya. Ia baru saja membeli ikat rambut itu di supermarket kemarin. Tak lupa, ia memasang jam tangan yang baru saja dibelikan oleh Papa, di pergelangan tangannya. Untung, jam tangan itu masih berfungsi walaupun sudah lama. Kemarin, ia baru saja menservisnya di toko jam tangan tempat ia membeli.
Lala menyandang tas hitamnya dan masuk ke mobil. Sebentar kemudian, Papa juga masuk ke mobil dan mengantar Lala sampai ke depan gerbang kampus. Tegur Papa, "Ingat, Lala, kamu harus lulus. Jangan memalukan Papa. Keturunan Papa tidak ada yang bodoh."
Sejenak Lala ingat bahwa Papa pernah berkata sewaktu Lala masih SD dulu, "Kalau nilaimu bagus, kamu anak Papa. Sayang, nilaimu jelek, berarti kamu anak Mama."
"Ayo, Lala! Turun!" bentak Papa.
Lala tersentak dan kembali ke masa sekarang. Ia turun dan berpamitan. Sebelum masuk ruang ujian, ia berpapasan dengan teman kuliah laki-laki yang menyapanya. Ia cukup akrab dengan temannya itu karena ia sering curhat dengannya.
“Halo?” sapa teman Lala.
“Doakan aku, ya?” pinta Lala.
“Mau ujian pendadaran, ya?” tanya teman Lala.
“Iya,” sahut Lala.
“Good luck!” Teman Lala menyemangati.
“Terima kasih,” ucap Lala. Ia terburu-buru masuk ruang ujian.
Di dalam ruang ujian, tiga dosen laki-laki sudah menunggu Lala. Seorang dosen bertubuh kurus dan berkacamata mengangsurkan selembar kertas kepada Lala.
“Apa ini, Pak?” selidik Lala.
“Baca! Ini nanti akan keluar saat ujian,” kata dosen itu.
“Kok mendadak, Pak?” tanya Lala. Dosen tidak menyahut. Lala segera membaca artikel itu dengan terburu-buru.
Beberapa saat kemudian, ujian berlangsung. Lala meminta izin untuk berdoa dulu. Namun, dosen yang pertama tadi menghardiknya, “Jangan lama-lama!”
“Tuhan, tolong berkati kami!” seru Lala.
Dosen yang berkulit hitam dan berkacamata mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan skripsi Lala, begitu juga dosen ketiga yang bertubuh gempal. Lala bisa menjawab semua pertanyaan mereka dengan mudah.
Saat giliran dosen ketiga bertanya, Lala kewalahan karena pertanyaan-pertanyaannya tidak ada hubungannya dengan isi skripsi Lala. Tanyanya, “Bisa dijelaskan soal krisis?”
“Krisis adalah masalah kejiwaan yang terjadi di dalam diri seseorang,” jawab Lala.
“Bukan itu maksud saya! Maksud saya, krisis ekonomi,” bentak dosen itu. Rupanya ia dosen killer, pikir Lala. Lala heran mengapa ia baru menyadarinya sekarang.
Lala hendak menjawab, tetapi dosen itu mengalihkan Lala ke pertanyaan lain. Tanyanya, “Sebutkan perbedaan antara Bahasa Inggris formal dan Bahasa Inggris informal!”
“Contoh Bahasa Inggris formal, ‘Good morning!’ ‘How do you do?’ Contoh Bahasa Inggris informal …,” jawab Lala.
“Bagaimana kamu tahu?” potong dosen killer itu.
“Saya teringat kepada teks yang saya baca tadi,” sahut Lala.
“Apa yang kamu pelajari dari universitas ini?” tanya dosen itu lagi.
“Kepercayaan diri. Tanpa kepercayaan diri, semuanya akan salah,” sahut Lala lagi.
“Apakah kamu sudah bekerja seperti beberapa temanmu yang lain? Mereka bekerja sambil kuliah,” kata dosen itu.
“Iya. Saya mengajar anak-anak,” ucap Lala.
“Jenjang apakah yang kamu paling suka untuk diajar?” tanya dosen itu lagi.
“Anak-anak,” jawab Lala lagi.
“Kalau mengajar anak-anak, kamu tidak boleh melakukan kesalahan. Anak-anak masih polos,” suruh dosen itu.
“Iya, Pak!” sahut Lala.
Akhirnya, ujian pendadaran pun selesai. Dosen yang bertubuh gempal mengucapkan selamat dan berkata, “Saya pernah bertemu dengan Mama Papamu di bandara. Mereka tampak awet muda. Apa rahasianya?”
“Istarahat yang cukup. Minum vitamin …. Saya harap saya juga akan awet muda,” jawab Lala.
“Lakukan saja seperti yang orang tuamu lakukan! Minum vitamin …,” ujar dosen itu.
“Berbahagia! Kamu harus berbahagia! Jangan murung terus seperti itu!” potong dosen killer.
Lala tidak menyahut. Ia berpamitan dengan menyalami tangan dosen satu per satu dan keluar ruangan.
Di luar, teman laki-laki Lala masih menunggunya. Temannya itu sedang berdiri sambil bersandar pada tembok yang tak jauh dari ruang ujian. Lala menyapanya, “Halo? Dosen itu menanyakan pertanyaan-pertanyaan sulit padaku. Lihat, ini sudah kelebihan sepuluh menit dari waktu selesai ujian yang seharusnya.”
Lala mengangkat tangannya dan menunjukkan jam tangan di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah lewat sedikit dari angka sepuluh dan jarum panjang berada di angka dua. Temannya hanya tersenyum dan Lala melangkah pergi.
Tak disangka, orang tua Lala sudah menunggu di luar kampus. Mereka mengajak Lala masuk ke mobil dan pergi ke warung bakso terdekat.
Entah mengapa, hati Lala seperti tersayat. Sepertinya, ia telah jatuh cinta kepada dosen killer yang ganteng itu. Di balik sikap kakunya itu, ia tampak memesona. Namun, ini sudah mendekati kelulusan. Lala tidak mungkin membersamai dosen itu lebih lama lagi. Sebentar lagi, mereka akan berpisah. Tidak mungkin Lala menyatakan cinta duluan karena ia gengsi dan sepertinya, dosen itu tidak menunjukkan ketertarikan padanya.
Lala memakan baksonya pelan-pelan dan seketika itu juga, ia menyadari sesuatu. Jahitan roknya terlepas. Roknya kembali sobek di bagian depan.