Bab 4
Dr. Hadi
Hari ini, Mama Papa mengajak Lala pergi naik mobil. Mama duduk di sebelah Papa yang menyetir dan Lala duduk di belakang. Mama mengenakan gaun merah sama seperti dengan sebuah foto yang pernah Lala temukan di meja belajarnya. Waktu itu, Lala mengambil kertas HVS, pensil karbon, dan pensil warna. Ia mendapat ide untuk melukis Mama dan menunjukkannya. Mama memujinya, "Aduh, cantik sekali! Lebih cantik daripada yang di foto."
Lala merasa Mama menjadi baik sekali. Entah mengapa, kadang Mama terasa jahat, kadang Mama terasa baik.
“Kita mau ke mana?” tanya Lala, kembali ke masa sekarang.
“Makan,” sahut Mama, singkat. Mereka tidak banyak bicara dalam perjalanan.
Sekitar setengah jam kemudian, Papa menepikan mobilnya di sebuah rumah makan kecil. Atapnya coklat dan bangunannya berbentuk seperti pendapa dengan tiang-tiang penyangganya. Tidak terdapat plang apa pun yang memberitahu nama rumah makan itu.
Terdapat konter yang memajang beberapa makanan seperti ikan goreng, ayam goreng, sayur gori, sayur asam, dan sayur jipan. Nasi bisa diambil sendiri di mesin penanak nasi yang ditaruh di sisi sebelah kanan.
Mama, Papa, dan Lala mengambil piring dari tumpukan piring yang sudah disediakan di atas sebuah meja kayu berwarna cokelat. Piring-piring itu bermotif bunga-bunga berwarna biru. Mereka juga mengambil sendok di antara sendok-sendok yang diletakkan di sebelah tumpukan piring. Lalu, mereka bertiga menyendok nasi dari mesin penanak nasi. Nasi itu mengepul karena masih panas. Rupanya, mesin penanak nasi disetel dalam mode menghangatkan.
Mama memesan ikan goreng dan sayur gori dari mbak penjaga rumah makan yang berkuncir ekor kuda dan berkulit sawo matang. Papa memesan ayam goreng dan sayur asam. Lala memesan ikan goreng dan sayur jipan. Lalu, mereka duduk di kursi-kursi kayu berwarna cokelat yang mengelilingi sebuah meja kayu yang berwarna cokelat juga.
Ketika makan, terdapat beberapa butir nasi yang susah untuk disendok. Lala teringat kepada anak-anak Afrika yang kelaparan sampai tubuh mereka tinggal tulang berbalut kulit. Ia merasa tidak boleh menyia-nyiakan makanan. Maka, ia mendekatkan piring ke mulutnya untuk menjilatinya.
"Lala! Apa yang kamu lakukan?! Kamu membuat Papa malu," bentak Papa.
Lala terkejut dan menurunkan piringnya. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Lalu, ia membela diri, "Aku hanya ...."
"Jangan seperti itu lagi!" potong Papa.
Selesai makan, Mama menggandeng tangan Lala untuk menyeberang jalan menuju ke sebuah bangunan dengan plang yang bertuliskan Rumah Sakit Lokipili di atasnya. Lala tidak merasa nyaman.
Mama menarik tangan Lala dengan setengah memaksa karena Lala menolak untuk masuk ke rumah sakit itu. Perasaan Lala tidak enak. Lalu, Mama mengajak Lala duduk di bangku kayu panjang berwarna cokelat yang tersedia di depan sebuah ruangan yang di pintunya terdapat tulisan 'dr. Hadi'.
Seorang laki-laki setengah baya berambut hampir botak, berkacamata, dan memakai pakaian putih keluar dari ruangan dan mempersilahkan Mama dan Lala untuk masuk, "Mari masuk!"
Setelah mereka berada di dalam, laki-laki itu duduk di sebuah kursi di belakang meja seraya mempersilahkan Mama dan Lala duduk di dua kursi di depannya, "Silahkan duduk!"
“Lala … ini adalah dokter Hadi.” Mama memperkenalkan.
“Dokter ini pasti hendak menyiksaku seperti kisah para martir itu. Tempo lalu saja, ia sudah menyetrum kepalaku,” pikir Lala.
Dokter itu menanyakan banyak pertanyaan kepada Lala yang tidak dijawabnya karena ia tidak bisa berkonsentrasi pada pertanyaan-pertanyaan itu. Hanya beberapa pertanyaan saja yang bisa ia tangkap.
“Apakah anak ibu sudah mau mandi?” tanya dr. Hadi.
“Sudah, Dok! Saya membelikannya berbagai jenis sabun. Mandinya jadi rajin,” sahut Mama. Lala teringat sabunnya yang berwarna-warni dengan bau harum yang berbeda-beda. Sejenak, ia merasa berbahagia dan relaks. Namun, ada rasa bersalah di hati Lala. Ia merasa telah menyusahkan Mama. Lala memandangi wajah Mama.
“Apakah kamu bisa tidur?” tanya dr. Hadi lagi. Lala hanya mengangguk.
“Kalau tidak bisa tidur, kamu harus bilang kepada saya. Saya akan menambahkan resep obat tidur,” suruh dr. Hadi. Lala memandang dr. Hadi nanar. Ia tidak suka minum obat, apalagi kalau obatnya harus ditambah.
“Lala disuntik dulu ya?” tawar dr. Hadi. Lala menggelngkan kepala kuat-kuat.
“Kamu ini bagaimana? Disuntik biar sehat kok tidak mau?” tanya dr. Hadi. Ia mencorat-coret selembar kertas dan menyerahkannya kepada Mama.
“Terima kasih, Dok!” ucap Mama, tetapi Lala bungkam seribu bahasa. Mama menggandeng Lala ke bagian farmasi untuk menebus obat yang telah diresepkan tadi. Beberapa saat kemudian, petugas farmasi memanggil dan menyerahkan kapsul-kapsul berwarna hitam merah yang telah dimasukkan dalam plastik obat berwarna merah transparan. Mama mengucapkan terima kasih.
Seorang perawat berseragam biru berjalan ke arah Mama dan Lala. Mama menyenggol Lala. Bisiknya, “Kamu harus menyapanya karena ia telah merawatmu.”
Maka, setelah perawat itu dekat, Lala berkata, “Halo, Suster?”
Perawat itu berlalu setelah menganggukkan kepalanya. Ternyata, ia hanya bermaksud melintas saja di depan Mama dan Lala.
Hari demi hari, Lala harus meminum obat berupa kapsul hitam merah itu, yang diangsurkan Mama ke tangannya. Namun, Lala merasa bahwa dr. Hadi hendak meracuninya. Jika Mama lengah, Lala membuang obat-obatan itu. Kadang, ia membuangnya ke wastafel, kadang ke tempat sampah, dan kadang ia menguburnya di kebun depan.
Namun, kebanyakan dari obat-obatan itu diminum oleh Lala karena Mama mengawasinya. Lala pikir, mata Mama seperti mata elang yang tidak lepas dari mangsanya. Akhirnya, lama kelamaan, Lala merasa membaik.