Bab 1
Dr. Moris
Pada tahun 1998, Bianglala lulus SMA. Namun, ia kelihatan aneh. Ia sering termenung sendiri dan tidak bersemangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ia masih teringat pengalaman-pengalaman buruknya di masa lalu. Ia pernah dirundung, patah hati, dan entah apa lagi. Ia merasa kesulitan mengingat semuanya walaupun semua itu membekas di hatinya. Namun, beberapa kali, ingatan-ingatan buruk itu melintas di pikirannya.
“Kamu harus membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Jangan hanya belajar saja! Itu egois namanya,” hardik nenek Bianglala, ibu dari ayahnya pada waktu itu. Ia pun terpaksa menyapu, mengepel lantai, dan mencuci piring walaupun saat itu, ia baru kelas enam Sekolah Dasar. Tangannya yang masih lemah dipaksanya untuk bekerja. Tak jarang, ia dicela karena ia belum bisa mengerjakan semuanya dengan sempurna. Ia juga pernah menjatuhkan sebuah piring yang terasa licin di tangannya.
"Prang ...!" Suara piring terdengar di telinga orang-orang serumah.
Nenek Bianglala berjalan tergopoh-gopoh ke arah Bianglala dan memarahinya, "Kamu sengaja, ya?! Tidak terima dan tidak suka disuruh mencuci piring?!"
Pada suatu ketika, Bianglala menolak untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Katanya, "Maaf, Nek! Tapi Lala harus belajar. Kata Bu Guru, kewajiban seorang murid adalah belajar, bukan mengerjakan pekerjaan rumah tangga."
Nenek Lala mengambil sapu lidi dan memukuli tubuh Lala. Ibu Lala juga pernah memukuli Lala dengan sapu lidi karena Lala berteriak-teriak di dalam rumah. Saat itu, Lala sedang tertekan karena semua masalahnya. Ia dirundung di sekolah, pelajarannya sulit tetapi ia tidak mendapatkan waktu belajar yang cukup, dan masalah keluarga. Nilai-nilainya menurun walaupun tidak drastis karena ia tergolong anak yang cerdas. Ingatannya termasuk kuat. Sayang, ingatannya yang kuat itu membuatnya tidak mudah melupakan rasa sakit di hatinya akibat perlakuan orang-orang di sekitarnya.
Ibunya yang sedang stress karena omelan ibu mertuanya menjadi semakin stress ketika ia mendengar teriakan-teriakan Bianglala. Maka, ibunya mengambil sapu lidi. Dari seberang ruangan, ia sudah mengacung-acungkan sapu itu. Lala yang ketakutan segera pontang-panting melarikan diri sementara ibunya mengejar di belakangnya. Sayang, Lala tidak berlari secepat ibunya. Ia terkejar dan ibunya segera menghempas-hempaskan sapu lidi ke tubuh Lala berulang-kali sampai ibunya merasa lega.
Lala juga pernah ditinggal bersama nenek yang merupakan ibu dari ibu kandung Lala. Sementara itu, Mama Papa dan nenek yang merupakan ibu dari Papa, pergi bersama keluar kota.
Lala lebih sayang kepada nenek dari pihak ibu ketimbang nenek dari pihak ayah. Nenek dari pihak ibu tidak pernah menghajarnya dan selalu menunjukkan kasih sayang kepada Lala. Neneknya itu selalu membacakan dongeng sebelum tidur dan menceritakan kisah-kisah di Kitab Suci. Ia memang gemar membaca sehingga pengetahuannya luas. Ia juga belum pikun walaupun ia sudah tua.
Tak disangka, ketika sedang bersama nenek yang menyayanginya itu, suara telepon berbunyi. Neneknya itu mengangkatnya. Suara di telepon, "Apakah dengan keluarga Tono?"
"Iya, benar," ucap nenek.
"Keluarga Anda mengalami kecelakaan. Sekarang berada di rumah sakit A." Suara di seberang memberitahukan. Segera gagang telepon terjatuh dari tangan nenek. Lala menaruhnya kembali ke tempatnya.
"Ada apa, Mak?" tanya Lala, ingin tahu. Neneknya tak sanggup berkata-kata.
Beberapa hari kemudian, kedua orang tuanya pulang ke rumah, tetapi tidak dengan nenek dari pihak ayah. Neneknya itu tidak pulang untuk selamanya. Ia tewas dalam kecelakaan itu.
Kini, Bianglala sudah lulus SMA dan menolak untuk kuliah. Ayahnya menjadi berang. Katanya, “Mau jadi apa kamu tidak kuliah? Pembantu? Kamu akan membuat malu papa. Menikah? Kamu tidak bisa sepenuhnya bergantung pada laki-laki.”
“Izinkan saya kuliah D2 Perhotelan saja, yang ringan.”
“Tidak! Itu akan menghasilkan pekerjaan seperti pelayan.”
“Kalau seni lukis? Jadi, saya tidak perlu memaksa otak ini bekerja keras.”
“Prospeknya tidak bagus …. Kalau kamu terlalu malas untuk masuk Fakultas Kedokteran seperti papa karena banyak hafalannya, setidak-tidaknya masuklah jurusan bahasa.”
Sejak saat itu, Bianglala banyak termenung. Mukanya selalu saja terlihat diliputi mendung. Mama dan Papa memutuskan untuk membawanya ke psikiater yang merupakan teman baik papa.
Mama Papa dari Bianglala mengajaknya naik mobil sedan biru mereka dan membawa ke sebuah rumah yang besar dan mewah. Kebun bunga-bungaan yang asri menghiasi kebun di depan rumah. Terdapat bunga yang berwarna ungu, putih, merah, oranye, dan jingga. Ia tidak tahu mereka bunga apa. Ia juga malas mencari tahu nama dari bunga-bunga itu.
Pintu depan yang berwarna cokelat terbuka. Papa mengetuk pintu yang terbuka itu dan mengajak keluarganya masuk. Seorang pria berambut ikal dan cepak menyambut mereka. Ia menyalami Bianglala.
“Ini dr. Moris, Lala.” Papa memperkenalkan dr. Moris kepada Bianglala yang biasa dipanggil Lala.
“Saya dr. Moris,” kata pria itu.
Papa dan Mama menceritakan keluhan-keluhan yang disampaikan kepada dr. Moris. Lala tidak mengerti apa yang mereka katakan karena perkataan mereka hanyalah seperti suara-suara ribut saja di telinganya.
Lala memandangi dokter itu. Ia merasa bahwa dokter itu memiliki niat jahat kepadanya, bahwa sebenarnya ia tidak sakit dan dokter itu hanya mencari-cari alasan agar ia bisa mengeruk uang Papa.
Beberapa saat kemudian, Lala menemukan bahwa dokter itu menjentikkan jari di depan wajahnya. Ucapnya, “Halo? Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?”
Lala hanya memandang dokter itu dengan tatapan kosong. Sesaat kemudian, ia mendengar dokter itu berkata kepada Mama Papa, “Ada gejala autis dalam diri anak Anda.”
Namun, Lala mengartikan autis sama dengan artistik. Ia belum tahu apa itu autis. Ia pun merasa bangga.
Mama Papa mengajak Lala pulang. Namun, di saat yang lain, mereka kembali membawa Lala ke rumah itu. Lala mogok kuliah walaupun ia sudah lulus tes masuk.
Tanya dr. Moris, “Apakah kamu merasa bahwa pikiranmu tersiar ke mana-mana?”
Jawab Lala, “Orang berdosa pasti akan dihukum oleh Tuhan.”
“Tidak,” sahut Papa.
Dr. Moris menuliskan sesuatu di selembar kertas yang diserahkannya kepada Papa. Papa menyerahkan kertas itu kepada Mama. Mama mengajak Lala pergi bersamanya dengan naik bus karena Papa akan langsung ke kantor.
Ternyata, Mama mengajak Lala ke apotek untuk menebus resep. Obat itu bernama Seroquel. Harga per kotaknya satu juta rupiah. Akhirnya, dengan telaten, Mama memberikan sebutir dari obat itu setiap hari.
Lala tidak juga merasa bahwa perasaannya membaik. Ia merasa dokter telah berbohong dan hendak meracuninya. Ia mengambil satu blister obat dari dalam kotak dan membuangnya ke tempat sampah.
Perjalanan hidup Lala berlanjut. Ia terpaksa berkuliah karena Papa mengomel hampir setiap hari. Papa juga mendorongnya sampai jatuh ketika ia berkata, “Aku ingin drop out saja.”
Tak jarang, dosen-dosen dan teman-teman Lala menemukannya dalam keadaan mengantuk dan tertidur di kelas. Obat itu memang menimbulkan kantuk kalau dikonsumsi. Bahkan, ketika dikonsumsi di malam hari, ia masih saja mengantuk di pagi hari.