Bab 31 – Tetap Menyukaimu
---
Halo. Ini pertama kalinya aku bicara dalam cerita ini dari sudut pandangku sendiri. Nama lengkapku Julian Putra Samudra. Ya, aku tahu, nama itu agak terdengar lokal dibandingkan asal-usulku yang blasteran Kanada-Australia.
Kenapa tidak full bule saja? Aku juga bertanya-tanya hal yang sama waktu kecil. Tapi katanya, orang tuaku mulai tinggal di Indonesia sejak aku lahir. Dan mereka ingin aku bisa tumbuh dekat dengan budaya yang membesarkanku. Jadilah nama itu—Putra Samudra, karena katanya saat mereka melihat laut di sore hari, mereka merasa nama itu akan membawa sesuatu yang tenang sekaligus kuat.
Walau begitu, aku tetap fasih berbahasa Inggris, Prancis, dan sedikit bahasa Kanada—bahkan kadang-kadang, kalau aku sedang benar-benar kesal atau terharu, lidahku bisa spontan mengucap sesuatu dalam Prancis. Katanya, bahasa itu mengalir dari sisi ibuku yang berdarah Kanada dan Prancis-Indonesia.
Tapi ah, sudah cukup soal asal-usul. Bab ini bukan tentang itu. Bab ini… tentang seseorang yang aku suka. Bisa tebak siapa?
Mungkin tebakanmu benar. Tapi aku nggak akan bilang sampai kamu sendiri yang merasakannya dari caraku menceritakan ini.
Semenjak masuk sekolah ini, banyak orang mencoba dekat denganku. Aku tahu itu. Tapi entah kenapa, dari semua perhatian yang aku dapat, mataku justru tertuju pada satu orang. Gadis berambut hitam panjang dengan tatapan yang terasa familiar, hangat—namun menyimpan sesuatu yang dalam.
Aku pertama kali melihatnya saat ujian tulis masuk sekolah ini. Kami satu ruangan. Dia duduk tepat di depanku. Tangannya sibuk mengisi lembar soal, tapi sesekali, ia menatap sekeliling seperti mencoba meyakinkan dirinya bahwa dunia di sekitarnya nyata. Dan entah kenapa… di tengah banyaknya wajah, hanya wajah itu yang membekas di benakku.
Rasa tertarik itu muncul begitu saja. Nggak ada alasan khusus. Tapi sejak saat itu, aku mulai mencari caranya untuk ada di dekatnya. Untuk mengerti dirinya lebih dalam. Aku tahu, dia bukan gadis yang mudah didekati. Tapi mungkin, justru itu yang membuatku bertahan.
Aku terbiasa dituntut sempurna. Ayahku ingin aku menjadi teladan dalam segalanya—nilai, sikap, bahkan cinta. Aku tidak boleh pacaran sebelum umur 17 tahun, dan jika pun jatuh cinta, harus pada gadis yang ‘sempurna’. Definisi ayahku tentang sempurna itu rumit. Tapi aku tahu satu hal: hatiku justru tertarik pada seseorang yang tidak seperti gambaran itu.
Dia tidak sempurna. Tapi hatiku justru hangat setiap kali berada di dekatnya.
Kemarin, dia bicara padaku tentang kondisinya. Gangguan disosiatif. Jujur, aku sempat diam. Bukan karena takut, bukan karena menganggapnya aneh. Tapi karena aku sadar… aku nggak tahu harus berkata apa.
Bersamanya… bukan hanya tentang tertawa atau menyukai hal yang sama. Tapi juga tentang mengerti sisi-sisi yang tidak pernah ia tunjukkan ke orang lain. Sisi-sisi yang mungkin bahkan ia sendiri takut menghadapinya.
Aku bukan Sarah, yang pandai memberi dukungan lewat pelukan dan pelan-pelan menenangkan. Bukan juga Jeno, yang bisa berbicara dengan dalam dan membuat semua terasa masuk akal.
Aku cuma Samudra. Yang ingin mencintai seseorang yang tidak sempurna… karena aku juga tumbuh dengan luka dan kekurangan.
Malam itu, aku habiskan dengan membuka tab demi tab pencarian. Mencatat, membaca, mencoba memahami—apa itu Dissociative Identity Disorder. Dan apa yang bisa aku lakukan jika suatu hari, seseorang lain dalam dirinya muncul di hadapanku.
Aku ingin tetap mencintainya, bukan hanya Rika… tapi juga semua versi dirinya.
Kalau ia adalah semesta yang retak, maka aku ingin menjadi seseorang yang tetap melihatnya utuh. Yang tak lari saat ada badai. Yang tetap tinggal ketika semua terasa terlalu berat.
Hari ini aku akan bicara. Aku harus.
Setelah sekolah selesai, aku ingin menjelaskan. Bukan hanya tentang kenapa kemarin aku diam, tapi juga tentang kenapa aku tetap di sini. Kenapa aku tetap menyukainya—meski dia belum tahu sepenuhnya siapa dirinya.
Dan jika nanti, yang muncul di hadapanku bukan Rika… melainkan alternya, aku akan tetap bicara. Karena aku tahu, mencintai seseorang seperti dia… bukan hanya tentang mencintai satu nama. Tapi menerima setiap suara yang hidup di dalamnya.
Hari ini, aku akan mencoba. Karena rasa ini terlalu dalam untuk disimpan sendirian.
---
Huft… lama sekali waktu berjalan. Semua terasa sangat lambat. Ini baru pukul 14.50, dan jam 16.30 masih terasa sangat jauh.
Aku memperhatikan guru IPA yang sedang menjelaskan, tapi tak tertarik. Tanganku malah sibuk menulis-nulis di buku, mencoret, dan sesekali menggambar kecil—seperti bunga.
Tanpa sadar, pikiranku mulai mengarah ke Rika. Walau tak sekelas, tapi aku suka memikirkannya. Aku bingung… bagaimana nanti sepulang sekolah aku mengajaknya bicara?
Puh! Aku menghela napas kasar. Baiklah… aku mulai menulis kata-kata yang akan kuucapkan pada Rika hari ini.
---
Ha.. ha… Percuma.
Lidahku mendadak kelu. Rika kini sudah duduk di sampingku—hanya beberapa jengkal. Tapi jarak kami terasa seperti dua dunia. Dia menunduk, menunggu. Aku bisa lihat itu dari ujung mataku: ekspresi canggung, jari-jarinya yang saling menggenggam di atas rok, seolah menahan sesuatu yang ingin pecah.
"Eh, soal kemarin..." suaraku akhirnya keluar, pelan dan sedikit bergetar.
Rika langsung mendongak. Matanya—mata itu—terlihat waspada. Ada ragu, ada takut. Dia pasti berpikir aku akan mundur. Bahwa aku akan menjauh seperti orang-orang lain yang sudah tahu hanya dari luar.
"Aku... kemarin nggak langsung kasih respons. Bukan karena aku malu atau pengen ngehindar. Aku cuma—terkejut. Nggak nyangka kamu harus ngalamin semua itu sendirian."
Aku menarik napas dalam, mengumpulkan nyali.
"Tapi aku janji... aku nggak akan menjauh. Kalau itu yang kamu takutkan." Rika masih diam, jadi aku lanjut.
"Sejujurnya, aku... aku tetap menyukaimu." Aku garuk tengkuk. Bodoh. Kenapa jadi gugup begini?
"Maaf kalau ini terdengar mendadak atau cepat banget. Tapi perasaan ini udah tumbuh bahkan sebelum aku sadar kapan tepatnya. Dan aku nggak bisa pura-pura nggak ngerasa apa-apa."
"Aku nggak akan menghakimimu karena DID itu, Rika. Aku terima kamu. Serius. Mungkin ini terdengar kayak buaya, tapi sumpah, aku nggak main-main."
Aku memberanikan diri menatap matanya—sepasang mata yang kini membulat terkejut. Tapi sebelum ia sempat berkata apapun... tiba-tiba Rika memegangi kepalanya.
"A-aku.. ugh... Samudra?" suaranya berubah. Bukan nada panik, tapi... dingin.
"Ha! Dasar cowok sialan!" Bentakan itu keluar dari mulut yang sama—tapi jelas bukan suara yang sama. "Gombalin Rika pake kata-kata murahan? Kau kira 'kami' murahan juga?!"
Aku diam. Menahan diri.
"Aku tahu siapa kamu. Dan kalau kamu pikir kamu bisa semudah itu deketin Rika, kau salah besar."
Aku tetap tenang. Lalu sedikit tersenyum, mengangguk pelan. “Kalau kamu berkenan, siapa namamu? Aku Julian Putra Samudra. Salam kenal.” Alter itu tertawa. Nyaring dan keras.
"AHAHA! Begini caramu kenalan? Garing!" Ia memicingkan mata. "Tapi ya, setidaknya kamu berani. Namaku Zea. Kau mungkin udah dengar dari si cewek berkuncir kuda itu." Aku mengangguk lagi.
“Zea…” Kali ini aku memilih diam sejenak. Supaya kalimatku nggak tergesa.
“Aku sadar... tadi bukan cuma Rika yang dengar. Kamu juga. Kamu yang muncul buat jagain dia. Itu artinya kamu sayang, kan?” Aku menatapnya, lembut tapi nggak penuh kasihan.
“Tapi jujur ya... aku suka Rika bukan cuma karena dia manis atau kuat. Tapi karena dia tetap bisa berdiri walau banyak luka di dalam dirinya. Dan aku tahu... sebagian dari keberanian itu juga karena kalian—kamu, dan yang lainnya.”
Zea tidak membalas. Hanya menatap, matanya masih siaga.
“Aku nggak minta kamu percaya sekarang. Tapi izinkan aku menunjukkan bahwa aku tulus. Aku gak akan paksa dia, apalagi kamu. Aku cuma pengen... diberi kesempatan buat ngerti. Pelan-pelan.” Aku maju sedikit. Jaga jarak. Tapi cukup dekat untuk terlihat serius.
“Aku memang belum ngerti semuanya soal sistem kalian. Tapi aku mau belajar. Karena mencintai Rika berarti menerima semuanya. Termasuk kamu." Zea menyipit. Kali ini tak ada tawa. Hanya keheningan yang lebih berat dari sebelumnya.
"Kamu... terlalu tenang buat orang yang baru tahu."
Aku tersenyum kecil. “Mungkin karena aku juga pernah ngerasa sendirian. Tapi aku nggak mau biarin Rika ngerasa kayak gitu juga.” Aku menunduk sedikit, lalu menatap lagi dengan serius.
“Tolong ya? Aku akan buktikan. Bahwa aku layak. Dan aku nyatain perasaanku sekarang, bukan karena buru-buru. Tapi karena aku takut kalau terlalu lama, Rika akan salah paham dan menjauh.” Zea diam. Lalu bersedekap. Akhirnya ia bicara.
"Awas kalau bikin Rika nangis. Kau hadapi aku." Dan dengan itu, dia memejamkan mata. Tubuh Rika langsung lemas.
"U-uh... ada apa? Samudra?" suaranya pelan. "Apa yang terjadi...? Apa alter-ku bicara?" Aku menarik napas. Senyumku lembut, tidak ingin menakutinya.
“Rika… barusan kamu nggak sendiri. Zea yang bicara sama aku.” Ekspresinya langsung berubah—panik, takut.
“Nggak apa-apa,” cepat aku menenangkan. “Dia muncul karena dia peduli. Mungkin... karena aku terlalu jujur barusan.” Mataku tetap menatapnya. Jujur dan tak goyah.
“Tapi aku nggak takut. Aku cuma pengen ngerti kamu. Ngerti kalian. Kalau kamu izinkan.”
Rika menatapku dalam. Lama. Lalu perlahan mengalihkan pandangannya ke langit sore yang oranye tembaga. Matahari seperti tenggelam di ujung atap sekolah. Angin sore berembus, membawa suara burung-burung kecil yang baru pulang.
"Tentu... kamu boleh. Mengerti aku. Mengerti semua tentang sistem alterku. Zea, Rinka, dan lainnya.” Ia menoleh. “Tapi... kamu serius?" Aku mengangguk mantap.
“Kamu boleh ragu sekarang. Tapi aku akan terus membuktikan. Bahwa aku pantas. Bahwa aku akan ada di sisimu, dan nggak akan pergi.”
Rika menatapku. Matanya berkaca.
"Samudra..." suaranya pelan, “Terima kasih. Aku juga... menyukaimu.”
Deg.
Dan hari-hari setelahnya... jantungku tak pernah bisa diam tiap kali melihatnya. Dia tetap memerah tiap kali bertemu pandang, tapi tidak lagi lari. Dia membiarkanku ada di dekatnya.
Dia mulai membuka diri. Tentang hal kecil, tentang emosinya, tentang masa lalu yang berat. Kadang aku hanya mendengarkan, kadang ia memintaku bicara.
Tapi semuanya terasa hangat. Bahkan saat tak ada solusi, hanya ada pelukan kata. Dan tiap ia tersenyum setelah bercerita, aku makin yakin:
Aku ingin selalu di sisinya.
Tolong... jangan jauhkan dia dariku. Jangan hilangkan dia dari pandanganku. Aku akan selalu bersyukur atas waktu, momen, dan suara-suara kecil yang datang dari bibirnya.
Rika Wijaya,
Je t’aime… dans chaque version de toi.
[Bersambung]