Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Tertinggal dari Rika
MENU
About Us  

Bab 19 - Ulang Tahun Rika

---

 

Aku membuka mataku perlahan saat alarm ponsel berbunyi. Refleks, aku mematikannya, lalu menggeliat sejenak di atas kasur sebelum akhirnya duduk. Mataku kuusap pelan, nafas panjang kuembuskan.

Hari ini, tanggal enam belas bulan sebelas.

Aku melirik kalender yang tergantung di dinding. Tanggal itu aku melingkari dengan pulpen merah, dengan tulisan kecil di bawahnya: Selamat ulang tahunmu!—aku yang menulisnya sendiri.

Tapi entah mengapa, bukannya bahagia, yang dirasakan justru sebaliknya: perasaan yang rumit dan membingungkan.

Sedih. Kecewa. Marah. Dan hampa.

Kenapa hari ini malah terasa seperti hari paling menyakitkan? Bukankah ulang tahun seharusnya jadi hari spesial? Tapi aku justru bertanya-tanya... Apakah aku memang pantas mendapatkannya?

Tanganku refleks menyentuh pelipis, kepalaku terasa berat. Suara-suara itu—mereka mulai berbicara lagi.

> "Pfft—spesial? Kamu? Spesial? Sadar diri aja deh. Kita tuh bukan siapa-siapa. Nggak penting."

Napas kutahan. Dada terasa sesak, seolah aku sedang ditenggelamkan di kolam sedalam empat meter.

Aku menggeleng cepat, berusaha mengeluarkan suara-suara itu dari kepalaku. Jangan sekarang. Hari ini... seharusnya bukan hari mereka.

Aku memaksakan diri untuk berdiri, melangkah menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, aku turun ke dapur.

Dari kejauhan, aroma sarapan menyeruak. Di meja makan, Ayah, Ibu, Reza, dan Raka sudah duduk rapi.

Reza yang pertama kali menyapaku. Wajahnya cerah, seperti anak kecil yang tak bisa menyimpan rahasia.

"Kakak! Selamat ulang tahun ya! Hari ini ulang tahun Kakak yang ke-16, kan?" serunya penuh semangat. Mata berbinar, jauh lebih bahagia dibandingkan diriku yang hanya bisa menyunggingkan senyuman murung.

Aku mengangguk pelan, mencoba membalas antusiasmenya meski terasa berat.

“Iya… yang ke-16, Reza,” jawabku pelan.

Ibu menyodorkan sepiring nasi dengan lauk ayam goreng—sayap, bagian favoritku. Makanan yang sederhana, tapi bisa membuat tersenyum. Sayangnya, hari ini pun tidak cukup.

Ayah ikut tersenyum, wajahnya terlihat hangat seperti biasanya.

"Selamat ulang tahun Nak. Hadiahnya menyusul ya? Nanti pulang sekolah, Ayah kasih," katanya.

Refleks, aku menoleh ke arahnya. Lalu menggeleng. Untuk apa? Aku bahkan bukan darah dagingnya.

“Gak usah, Yah.Gak apa-apa kok,” ucapku datar. Ayah mengernyit, sejenak tampak bingung, tapi akhirnya memilih diam dan melanjutkan sarapan.

Aku tidak tahu apakah dia akan tetap memberiku sesuatu atau tidak. Tapi... memangnya aku sepenting itu?

Ibu masih belum bicara kata pun. Raka juga begitu. Diam. Datar. Sepertinya hari ini tak ada yang berbeda. Aku mengembuskan napas panjang. Mungkin... aku memang tidak sepenting itu.

Tapi... ah. Maksudku, aku tahu aku tidak bisa terus menyalahkan keadaan atau sikap orang-orang terhadapku. Mungkin memang aku saja yang terlalu sensitif. Terlalu... terlalu banyak berpikir.

Atau mungkin, ada bagian dari diri saya yang selama ini sudah terlanjur direproduksi. Dan tak bisa diperbaiki lagi.

 

~--

 

Aku segera berangkat ke sekolah. Ayah yang mengantarku, seperti biasa, karena dia juga akan langsung berangkat kerja. Sepanjang perjalanan, kami tidak banyak bicara. Hanya suara radio mobil yang mengisi ketenangan.

Sesampainya di sekolah, langkahku terasa ringan... tapi bukan karena semangat. Aku merasa kosong. Seperti ragaku ada di sini, tapi jiwaku entah di mana.

Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?Aku... bukan siapa-siapa. Tidak penting. 

Untuk apa hidup? Ya. Untuk apa aku hidup?

Sekolah tetap sama—ramai, cerah, hidup. Tanpa satu pun ucapan ulang tahun, dunia terus berputar. Semuanya baik-baik saja... meski tanpaku.

Ya, tanpaku. Memangnya aku siapa?

Suara burung bercicit dari pohon-pohon di halaman belakang. Merdu, seperti biasa. Udara pagi sejuk dan bersih, menenangkan. Beberapa siswa tertawa terbahak-bahak, membahas hal-hal sepele tapi tampak begitu berarti.

Kemarin, saat pulang dari karya wisata, kelompokku mendapatkan nilai terbaik. Tapi... itu pun bukan hasilku sendiri. Bukan benar-benar aku yang melakukannya.

Jadi, apa yang perlu dibanggakan?

Aku sampai di kelas, lalu duduk di bangkuku seperti biasa. Tak lama kemudian, Sarah menyapaku dengan senyum lebarnya yang khas. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.

"Rika! Nih, aku udah beliin hadiah buatmu! Dibuka sekarang juga boleh kok. Hadiah kecil sih... tapi semoga kamu suka ya! Selamat ulang tahun, Rika. Kamu sahabatku!" Katanya ceria, polos, tulus.

Aku mengangguk pelan dan tidak nyaman.

“Terima kasih,” ucapku singkat. Hadiahnya langsung kusimpan di kolong meja. Entahlah... aku tak punya energi untuk berpura-pura senang.

Aku merasa... putus asa. Sedih. Tidak berguna.

Apa yang terlalu berlebihan bagiku? Mungkin.

Tapi dunia terasa seperti tempat yang terlalu keras buat orang sepertiku. Terlalu bising. Terlalu tajam. Dan rasanya... semua mata selalu memandangku dengan sebelah pandang.

Ah. Aku hanya asal bunyi saja. Ha ha.

Tak lama kemudian, Bu Ratri masuk kelas. Hari ini pelajaran BK. Biasanya sih tidak seru. Tapi yang membuat tidak nyaman adalah berkumpulnya Bu Ratri.

Entah kenapa, aku selalu merasa dia memperhatikanku lebih dari murid lain.

Apa aku seharusnya senang karena diperhatikan? Karena selama ini tak ada yang benar-benar melihatku?

Tapi terbentuknya Bu Ratri... bukan seperti perhatian seorang guru. Lebih seperti... pengamatan. Diam-diam. Dalam-dalam.

Dan itu membuatku gelisah.

 

~

 

" Selamat Ulang Tahun , Rika!! Aku, Jeno, sama Rendra udah beliin kamu hadiah! Nih ya ambil jangan sungkan, maaf kalo gak cukup. Tapi semoga itu bisa jadi kenangan buat kamu dari kita!" kata Viona, ceria banget, nyodorin tiga totebag besar ke aku.

Aku tersenyum. Atau mungkin lebih tepatnya... menarik sudut bibir.

“Terima kasih,” ucapku pelan. Hampir kayak gumaman. Tangan ini bergerak otomatis menerima tas-tas itu. Berat. Mungkin karena itu. Mungkin karena aku.

Samudra masih berdiri dekat pintu, gak bawa apa-apa. Tangannya masuk saku, ekspresi bingung. Mata lari-lari, gak berani nempel ke arahku terlalu lama.

Tentu saja. Mungkin dia memang tidak menganggap aku penting.

"Maaf... hadiah dari aku nyusul ya, Ri? Eh, pulang sekolah nanti." akhirnya, agak tegang. Nada suaranya ragu-ragu. Tangannya sempat sedikit gemetar. Aku hanya mengangguk.

Pendek. Tanpa beban. Tanpa makna juga, mungkin.

Viona langsung nyamber, senyumnya jahil. "Oooh, pulang sekolah ya? Kenapa Sam? Hadiah spesial sampe gak boleh kita liat? Atau… lebih personal?"

Samudera melotot. “Tidak semua hal perlu dikaitkan dengan hal pribadi atau romantis, Viona.”

"Eh, aku gak bilang romantis loh. Kamu aja tuh yang mikir ke sana," sahut Viona, masih nyengir. Samudra menghela nafas, malas ribut. Tapi aku bisa melihat wajahnya sedikit merona.

Sarah duduk di sebelahku, memperhatikan dengan bertanya yang... lembut, atau mungkin iba?

"Kamu gak apa-apa? Dari tadi diem banget. Kamu sakit? Atau kamu pengen sesuatu? Aku bisa kasih, kok. Asal masih bisa aku jangkau..."

Aku diam, lalu menjawab.

"Aku tidak apa-apa, Sarah. Hanya... merasa sedang tidak berguna. Tapi terima kasih sudah pura-pura peduli."

Sekejap mata Sarah melebar. Seperti tak percaya dengan jawabanku. Tapi bel keburu berbunyi. Pertanyaannya terputus.

Satu per satu dari mereka kembali ke kelas masing-masing. Sarah tetap duduk di sini. Jeno duduk agak jauh, membolak-balik bukunya.

"Ri... kamu kenapa? Kamu beda hari ini."

Aku tidak menjawab. Pandanganku terlempar ke luar jendela. Angin menggeser tirai. Awan bergulung. Matahari seperti ogah-ogahan muncul.

Beda? Mereka pikir aku selama ini seperti apa?

“Kamu aja mungkin yang gak pernah benar-benar tahu aku kayak gimana.” Jawaban itu keluar begitu saja. Datar. dingin.

Sarah tidak menjawab. Dia menunduk. Menyerah. Lihat? Bahkan Sarah pun akhirnya lelah mencoba.

Kalau aku gak ada... mungkin semuanya akan lebih mudah. Mereka bisa tertawa lebih lepas tanpa perlu mikirin aku.

Lebih bahagia. Lebih ringan. Dan aku... ya. Mungkin itu solusi terbaik. Tidak menyakiti siapa-siapa. Tidak menambah beban siapa-siapa.

Bukan hal yang jahat juga kan? Menghilang. Pergi. Diam-diam saja.

Mereka semua akan baik-baik saja tanpaku. Karena aku tidak sepenting itu.

Kesedihan mereka, kalau pun ada, akan hilang juga. Manusia memang seperti itu.

Drama sebentar, lalu lupa. Dan jika akhirnya aku memilih untuk tidak bertahan…

Bukankah itu lebih sederhana? Lebih mudah. ​​Lebih hening.

 

~

 

Aku berjalan pelan menuruni tangga, langkah-langkahku goyah, berat, seperti lututku tak ingin lagi diajak kompromi. Setiap pijakan terasa seperti ajakan — jatuh saja. Lepas saja. Biar selesai.

Sekolah sudah lama sepi. Anak-anak lain sudah pulang, dan aku memang sengaja menunggu... terlambat.

Apakah aku tampak seperti gadis sok misterius dan penuh luka kayak karakter emo murahan di film-film indie?

Pfft. Biar saja. Karena mereka tidak pernah benar-benar tahu rasanya. Saat kakiku hampir melangkah ke anak tangga berikutnya, tubuhku kehilangan keseimbangan.

Dan sebelum sempat mencium dinginnya lantai sekolah...

Seseorang menangkapku.

"Ri! Astaga... hampir saja!" Suara Samudra. Panik.

"Untung kamu belum pulang. Ada apa? Kamu lemas banget dari tadi di kelas." Aku menghela nafas, panjang dan kasar. Tangannya masih menggenggam lengan atasku, erat. Aku menepisnya.

"Lepaskan saja, Sam. Untuk apa kau membantuku tadi?" Nada suaraku lebih tajam dari yang kuharapkan.

Dia mengernyit, bingung. Aku kembali ingin melangkah. Tapi dia menahannya lagi. Kali ini, lebih lembut.

“Ri... bentar. Ini... aku mau kasih kamu hadiah ulang tahun.” Dia menyodorkan kotak putih dengan pita biru langit. Tangannya sedikit gemetar.

"Selamat ulang tahun ya? Aku harap kamu... bisa nunjukin emosi sebenarnya ke aku. Aku selalu ada. Dengerin kamu... bahkan kalau kamu cuma mau diem, atau cuma mau aku dengerin kamu napas."

Dia menyengir. Gugup. “Ah, maaf, kalimatku gak karuan.Kedengerannya kayak gombalan cowok gagal.”

Aku menatap kotak itu. Tanganku mencerminkan kesedihan. Pita biru itu kontras sekali dengan kelamnya pikiranku. Di atasnya tertulis:

'Selamat Ulang Tahun, Rika Wijaya. Aku berharap yang terbaik untukmu. Aku ingin kita bersama selamanya .'

Kalimat itu... menyentuh sesuatu di dalam diriku. Sesuatu yang selama ini kugenggam rapat, bahkan tak berani kuganggu keberadaannya.

Dadaku sesak. Mataku panas. Aku mencoba tersenyum, tapi rasanya malah seperti meringis.

“Hadiahnya udah aku pilih baik-baik... yang menurutku cocok buat kamu. Aku harap kamu suka. Mau... pulang bareng, sekalian?” Tatapan mata — hangat, jujur. Tak ada debu di hazel itu.

Siapa dia sebenarnya? Kenapa... dia bisa membuat merasa dilihat?

Aku ingin... aku benar-benar ingin mempercayainya. Aku ingin percaya bahwa aku penting. Bahwa seseorang benar-benar peduli.

Tapi...

DENGING!!

Ugh. Sial.

Kalian lagi. Selalu begitu. Selalu mengambil momen yang bisa saja membuat sembuh.

Tanganku mencengkeram kepala. Kenapa kalian tidak pernah memberi aku kesempatan untuk sembuh? Untuk bahagia?

Kenapa... harus selalu begini?

BRUK!

“RIKA!!” Suara Samudra menggema di kejanggalan.

Pandanganku mengabur. Segalanya perlahan menggelap. Seperti lampu yang sengaja dimatikan satu demi satu.

[Bersambung]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Reandra
2007      1141     67     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Segitiga Sama Kaki
805      479     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
My First love Is Dad Dead
55      52     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Kertas Remuk
139      112     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
GEANDRA
444      357     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
553      417     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Spektrum Amalia
808      542     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Menanti Kepulangan
44      40     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Solita Residen
1885      950     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
136      115     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...