Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Tertinggal dari Rika
MENU
About Us  

Bab 2 - Tatapan itu..

---

 

Hari ini adalah hari yang akan menentukan salah satu jalan masa depanku. Ya, aku akan mengikuti ujian tulis di sekolah. Setelah dua minggu sebelumnya saya belajar dengan sangat serius, akhirnya saya bisa duduk di sini, bersiap mengikuti tes ini.

Meskipun tadi malam sempat ada pertemuan—lagi. Tapi tak apa. Aku tetap akan ikut tes ini. Ayah mendukungku, Reza juga. Hanya Ibu dan Raka yang sepertinya masih meremehkanku.

Aku membawa tugasku yang berwarna cokelat susu—tas lama yang sudah menemaniku sejak kelas dasar hingga sekarang. Tas ini adalah hadiah dari Ibu. Saya menyukainya. Bukan hanya karena fungsinya, tapi juga karena kenangannya.

Di depan gerbang sekolah, aku berdiri sejenak. Menatap nama besar yang terpampang di papan atas:

"SMA ELITARA."

Aku mengerjap pelan. Menarik napas, lalu melaju perlahan. Siswa-siswi lain tampak sudah masuk lebih dulu. Mereka lewat-lalang, ada yang melihatnya—mungkin karena saya hanya berdiri diam seperti patung di tengah jalan.

Akhirnya, aku melangkah masuk. Melewati gerbang dan menabrak sisi dalam sekolah ini—meski belum terlalu jauh. Di tengah halaman terdapat air mancur kecil yang tampak bersih dan jernih. Tidak ada sampah. Pohon-pohon rindang berjajar di sekeliling lapangan besar. Semua tampak rapi dan tenang. Terlalu tenang.

Aku mengikuti langkah beberapa siswa lain, menuju ruang tes tulis. Tak butuh waktu lama hingga aku sampai di depan ruang kelas tersebut:

"Ruang Tes Tulis – Kelas XI-A."

Ada secarik kertas tertempel rapi di pintu. Aku menarik napas pelan, menenangkan diriku sendiri, lalu membuka pintu dan masuk ke dalam.

Ruangan ini terasa berbeda dari kelas-kelas semasa SMP dulu. Jauh lebih bersih, terawat, dan berkesan formal. Meja, kursi, papan tulis—semuanya tampak baru dan tidak ada satu pun yang dicoret-coret. Bahkan tidak ada retakan di dinding.

Ada sekitar tiga puluh meja berjejer rapi, masing-masing tunggal dan berjauhan. Aku memilih duduk di kursi paling dekat ujung jendela—tempat favoritku. Matahari belum terlalu terik, dan angin dari sela-sela jendela menyapu lembut wajahku.

Pandangan mataku meliputi seluruh ruangan. Beberapa siswa sudah saling mengenal dan tertawa bersama. Ada yang tampak canggung, ngobrol sambil menunduk. Ada juga yang diam—sepertiku.

Tak lama, seorang guru perempuan memasuki ruangan. Usianya sekitar tiga puluh delapan tahun. Langkahnya mantap, posturnya tegak. Wibawa dan ketegasan tampak dari cara ia melangkah, tapi sorot matanya... entahlah, ada sesuatu yang terasa lembut. Tidak seganas ekspresi wajahnya.

"Selamat pagi, semuanya." Suaranya tegas namun terdengar tenang. "Hari ini, seperti yang kalian tahu, kalian akan mengikuti tes tulis esai untuk masuk ke sekolah ini. Perkenalkan, nama saya Ibu Ratri. Ibu adalah guru BK di sekolah ini dan akan mengawasi kalian selama tes berlangsung."

Suara Bu Ratri seperti punya dua lapis—keras tapi tidak menghancurkan, formal tapi tidak menyeramkan. Aku belum bisa menjelaskannya dengan benar.

Tanpa banyak basa-basi, Bu Ratri langsung membagikan lembar soal esai. Kami semua mulai mengerjakannya.

 

~

 

Huft...

Kenapa Bu Ratri terus memandang ke arahku?

Entahlah. Tapi saya merasa sedang diperhatikan. Matanya seperti menelanjangi pikiranku. Membuatku tidak nyaman. Aku mulai menulis lebih cepat. Tanganku bergerak sendiri, seolah tidak peduli lagi dengan teknik menulis yang baik dan benar.

Aneh... Aku bahkan tidak merasa pegal. Apalagi... rasanya seperti bukan aku yang menulis.

Pikiranku kosong, tapi menari. Kata-kata mengalir dari otakku ke pena, tapi aku tidak benar-benar tahu apa yang kutulis. Apakah ini... aku? Atau...?

Tidak. Jangan berpikir yang aneh. Mungkin karna aku merasa risiko jadinya begini.

Apa aku punya kecemasan, ya? Ah, sudahlah.

 

****

 

Aku semakin cepat ingin menyelesaikan Tes Tulis esai ini.

Sungguh menyebalkan karena Bu Ratri terus menerus melihatnya—membuatku merasa tertekan dan gelisah.

Huft... Aku menghela nafas untuk kesekian saat itu.

Tak peduli kalau napasku mengganggu yang lain. Waktu terus berjalan, dan soal tes ini masih tersisa sekitar lima belas nomor lagi. Aku menulis dengan cepat, sangat cepat. Soal-soal ini terlalu mudah. Sudah kupelajari semuanya sejak dua minggu lalu.

Sebenarnya, mereka menyebutnya tes potensi akademik. Tapi maksudnya, ini hanya seleksi yang tidak masuk akal untuk menyaring siapa yang pantas. Dan akulah salah satu orangnya.

Materinya menempel dengan sempurna di otakku. Apa sih yang nggak bisa dilakukan oleh Rika Wijaya? Haha... tentu saja aku hanya bercanda. Sayangnya, aku mungkin terlalu mencolok. Aku di sini hanya untuk... berpura-pura.

Namun, semakin lama muncul Bu Ratri semakin terasa memengganggu.

!

Aku menatap balik mata Bu Ratri sambil menampilkan senyum kecil. Oh? maaf Bu Ratri juga menyadarinya—dia membalas dengan senyuman yang tak kalah kecil.

Aku kejam sekali.

Sudahlah.

Aku kembali fokus pada kertas di depanku. Biarkan saja guru itu. Mungkin juga dia benar-benar bisa menggangguku.

 

---

 

Akhirnya, Tes Tulis esai ini selesai juga. Aku mencium tubuh pelan sambil menghela nafas. Nggak terasa, 90 menit berlalu begitu cepat hanya untuk mengerjakan 80 soal yang mencakup mata pelajaran utama.

Aku langsung berdiri dan ikut mengumpulkan lembar jawaban. Ngak sabar rasanya menunggu hasilnya nanti. Semoga saja aku diterima di sekolah ini...

Saat berjalan ke meja pengawas, aku kembali bertemu tatap dengan Bu Ratri. Menatapnya...lebih serius dari sebelumnya?

Aku tersenyum dan mengangguk kecil sebelum kembali ke tempat duduk untuk merapikan tugasku. Bu Ratri mulai mengumpulkan dan merapikan semua lembar jawaban milik murid lainnya, lalu menatap seisi ruangan sejenak.

"Baiklah, Tes Tulis esai hari ini telah selesai. Terima kasih atas partisipasi kalian mengikuti ujian ini. Semoga kalian semua mendapatkan hasil terbaik. Sampai jumpa di pengumuman nanti di grup," ucapnya sambil berjalan keluar.

Namun, sebelum benar-benar keluar, beliau sempat melihat lagi... sekilas. Tapi jelas. Lebih tajam. Lebih lama.

Aku tidak tahu itu benar atau cuma perasaanku aja karena terlalu cemas. Tapi ternyata itu terasa... penuh tanda tanya.

Aku menghela nafas pelan, meraih tugasku, dan keluar kelas bersama 29 murid lainnya.

Huft... waktunya pulang.

 

~

 

Di luar, Ayah sudah di mobil lama kami yang suara mesinnya selalu sedikit berisik kalau dinyalain. Tapi bukan itu yang pertama aku lihat.

Reza berdiri di samping pintu belakang mobil, mengenakan kaos bergambar dinosaurus yang mulai belel dan celana pendek abu-abu. Dia langsung bergaul dengan tangan kecilnya dengan semangat.

"kakakkk! Kak Rikaaa! Ujiannya udah selesai yaaa?" suaranya melengking keras sampai beberapa orang menoleh.

Aku hanya bisa menghela napas dan tertawa kecil. “Iya, Reza… udah selesai.”

Dia berlari ke arahku dan memeluk pinggangku. “Aku doain Kak Rika bisa masuk sekolah ini!” Sambil menengadah, wajahnya polos banget, belum tahu dunia segelap apa yang lagi aku hadapi.

Aku menutupi kepalanya dengan lembut. “Makasih, Dek.Doamu paling manjur.”

Kami masuk ke mobil, dan Ayah hanya menoleh sebentar sambil menyapaku, “Gimana?”

“Lancar,” jawabku pendek. Tidak perlu menjawab terlalu panjang..

Tapi di dalam hati...tidak meratakan itu. Karena aku masih belum bisa lepas dari perasaan bahwa ada sesuatu yang... aneh. Tentang tes tadi. Tentang kemunculan Bu Ratri. 

Dan lebih dari itu...

Tentang diriku sendiri.

Ah. Roda mobilku mulai bergerak perlahan. Menjauh dari sekolah, menuju rumah. Aku ingin segera beristirahat—dan semoga, lupa akan semuanya.

[ Bersambung ]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
255      200     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
Kembali ke diri kakak yang dulu
1602      989     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
374      238     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Langit-Langit Patah
37      32     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
BestfriEND
59      52     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Spektrum Amalia
943      614     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Interaksi
530      396     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Let Me be a Star for You During the Day
1236      689     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Liontin Semanggi
2171      1217     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
Perjalanan Tanpa Peta
75      70     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...