Fayena mengajak Juanda makan bareng di sebuah resto sebagai ucapan terima kasihnya karena berkat Juanda, ia memiliki keberanian untuk tampil di depan publik. Permasalahannya yang rumit pun telah terselesaikan dengan baik. Namanya sudah bersih, ayahnya juga sudah masuk penjara karena mengemudi dalam keadaan mabuk. Kini Fayena bisa berkarir dengan lebih tenang.
"Thank you, ya. Lo udah buat gue berani ngadepin masalah ini dan akhirnya masalah yang gue anggap berat banget, kini telah terselesaikan dengan baik," ujar Fayena pada Juanda di hadapannya.
Juanda tertawa kecil seraya melahap udang. "Santai aja kali. Itu juga karena elo yang udah percaya sama gue. Coba aja kalau lo nggak percaya. Ya masalah ini juga nggak bakal kelar. Jadi intinya, gimana pun gedenya tuh masalah kalau dihadepin dengan jiwa pengecut, ya masalah itu bakal jadi sesuatu yang amat mengerikan. Padahal mah kalau dihadapi ya nggak ngeri-ngeri amat," pungkasnya.
"Bener bener bener. Sekarang gue udah paham cara mainnya. Hehe. Cara main ngadapin masalah maksudnya," ujar Fayena tampak lebih ceria.
"Oh, ya. Gue mau jujur sesuatu sama lo. Mumpung lo dan Alfino juga ... udah putus, kan?"
Fayena mengeryitkan keningnya. "Jujur apaan? Y-ya gue sih mau putus, ya. Cuma nggak ada waktu buat chat dia. Dia kan lagi berurusan sama pengadilan. Takutnya juga gue kepantau masih berhubungan sama dia. Makanya gue nggak chat dia sama sekali. Ini sih yang masih jadi beban pikiran gue. Tuh cowok pasti nggak terima gue putusin. Secara dia tuh emang possesif banget sama gue, Juan. Ck, nggak tau deh nasib gue ke depannya kalau sampai ketemu dia," tutur Fayena. Ia menyendok makanan dengan lesu, membahas Alfino hanya mengurangi nafsu makannya. "Oh, ya. Lo tadi mau jujur soal apaan?"
Kini Juanda ragu untuk mengatakannya. Bagaimana jika Fayena tak ingin dekat dengannya hanya karena dirinya adik tiri dari seorang Alfino? Kesempatan Juanda untuk membawa Fayena pun sirna.
"O-oh. Itu ... maksudnya gue mau jujur kalau ... gue emang udah bisa baca dari mukanya Alfino kalau dia emang cowok yang kurang bener. Ya nggak salah sih Mbak Regina nyuruh banget lo putus sama dia. Dia biang masalah," ujar Juan. Niatnya untuk memberitahu bahwa Alfino adalah kakak tirinya pun urung.
"Ck, oh itu doang. Gapapa sangka buruk aja soal dia. Sekarang mah gue udah nggak peduli soal dia. Bener-bener hambar, Wan," sahut Fayena acuh.
Juanda meringis sambil menganggukkan kepalanya. Ini lebih baik dari pada mendengar amarah Fayena. Sepertinya Juanda butuh beberapa waktu lagi untuk menjelaskannya pada Fayena nanti.
Malam harinya, Alfino baru saja keluar dari kantor polisi bersama kedua orang tuanya. Entah bagaimana proses yang dilakukan kedua orang tua Alfino, kini penyanyi rock itu pun bisa pulang ke rumah.
Orang pertama yang paling terkejut dengan kepulangan Alfino adalah Juanda yang baru saja melihat kakak tirinya itu masuk ke dalam kamarnya. Buru-buru Juanda menghampiri orang tuanya.
"Pah, Mah. Kok Alfino bisa pulang sih?"
"Kamu kenapa nanya kayak gitu, Juan? Kayak nggak suka aja anak saya bebas dari penjara," sahut ibu tiri Juanda.
"B-bukan gitu maksudnya, Mah. Aku cuma kepo aja gimana caranya," kilah Juanda dengan nada lembut.
"Apa sih yang nggak bisa beres dengan uang, Juanda? Udah, ya. Kamu jangan nanya-nanya yang lain dulu. Mamah sama Papah capek nguras tenaga buat ngomong sama pihak Gabriel," ujar sang Ayah sebelum melangkah meninggalkan Juanda. Di susul oleh istrinya yang memasang tampang sebal pada Juanda.
Juanda berdecak kesal, ia langsung menuju kamar. Kamar yang bernuansa cokelat terang itu hanya diterangi oleh lampu tidur saja. Juanda langsung merebahkan dirinya di kasur walaupun tak berniat untuk tidur.
"Kalau Alfino udah bebas, bisa gawat nih buat Fayena. Tuh orang pasti ngejar Fayena lagi. Gue nggak bisa biarin Fayena kembali jatuh cinta sama tuh cowok. Alfino cuma bisa kasih luka ke Faye sedangkan gue yang capek-capek ngobatin mentalnya," keluh Juanda. Kali ini Juanda akan menunjukkan seberapa tegas ia dapat melewati masalah. Ia jadi ingat perkataannya untuk Fayena ketika di resto. Cara menyelesaikan masalah adalah dengan menghadapinya terlebih dahulu. Setelahnya bebas untuk memberikan tanggapan apa pada masalah itu.
Sementara itu, Alfino kembali menghubungi nomor ponsel Fayena. Namun, rupanya Fayena mengganti nomor ponselnya. Alfino berdecak sebal. Pemuda itu langsung memakai hoodienya kembali pengkap dengan masker dan kacamata hitam.
Ternyata tujuan Alfino adalah rumah Fayena. Ia menaiki motor sport hitam miliknya dengan kecepatan yang tinggi. Tak memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke rumah Fayena.Satpam yang menjaga rumah Fayena pun terkejut melihat kedatangan pria yang teramat ia kenal.
"D-Den Alfino ngapain kemari?"
"Pakek nanyak lagi. Cepetan lo bukain pagar rumahnya. Gue mau ketemu sama Fayena malam ini juga," ketus Alfino.
"Maaf, Den. Tapi Non Faye sudah berpesan kalau Den Alfino yang bertamu, jangan dikasih masuk. Jadi saya nggak berani buka pintu pagarnya, Den. Mohon maaf," ujar satpam dengan raut wajah serba salah.
Alfino mendekatkan wajahnya pada pagar dengan tatapan yang tajam. "Bilang ke Fayena kalau nggak mau bukain pintu buat gue, maka gue bakal teriak kenceng-kencang biar dia tambah malu sekalian," ancam Alfino sungguh-sungguh. "Cepat bilangin!" desak Alfino.
Satpam itu pun langsung berlari ke rumah Fayena. Ia menekan bel beberapa kali agar Fayena lekas keluar dari rumah. Benar saja, tak lama Fayena membuka pintu. Gadis itu hanya mengenakan piyama lengan pendek dan bando putih untuk menyangga rambutnya agar tak terkena air saat cuci muka.
"Ada apa, Pak?"
"Aduh, gawat, Non. Di depan gerbang ada Den Alfino."
"H-hah? Dia di depan, Pak Cakra? Aduh, mending suruh pergi aja deh. Biaa juga bilang kalau saya nggak mau ketemu sama dia. Saya lagi tidur," ujar Fayena menolak.
"Tapi, Non—Den Alfino ngancam kalau Non Faye nggak keluar dia bakal teriak biar tetangga pada bangun dan Non Faye bakal malu. Gimana dong, Non?"
Fayena berdecak kesal sambil meremas rambutnya dengan tangan kiri. Keningnya berkerut sempurna dengan mata berkaca-kaca. Perasaan marah dan takut menjadi satu. Fayena tak punya pilihan lain selain menemui pemuda itu.
"Oke suruh aja dia masuk gerbang, Pak. Buka aja gerbangnya," titah Fayena dengan tegar.
"Bener nih, Non?"
"Bener, Pak Cakra. Ini saya ketemu di luar aja kok. Rumah saya kunci," ujar Fayena mencoba membentuk sebuah senyuman.
Sepeninggalan Pak Cakra menuju gerbang, Fayena telah mengunci pintu rumahnya. Begitu melihat Alfino yang hendak menghampirinya, Fayena lekas berjalan menuju samping rumah. Alfino pun mengikutinya.
"Kenapa kamu ganti nomer? Kamu sengaja ganti nomor hp biar nggak aku hubungi, kan? Kenapa? Kamu mau marah sama aku karena kejadian di lokasi syuting? Faye, aku wajar kayak gitu karena adegannya kelewatan batas. Apaan si Gabriel pakek jatuh nimpa kamu?" tuding Alfino.
"Ya emang kayak gitu naskahnya, Al. Emang dari penulis skenario dan arahan sutradara ya kayak gitu. Masa aku yang sebagai aktris yang ngatur. Mikir dong kamu! Dan kamu juga harusnya ngerti kenapa aku nggak mau kamu hubungi. Al, kamu tau nggak seberapa terpuruk aku karena kejadian itu? Karir aku juga dipertaruhkan! Kalau nggak karena Juanda yang semangatin aku buat tampil di depan publik lagi, mungkin nama aku bakal buruk untuk selama-lamanya dan itu karena kamu!"
PLAK!
Suara pukulan itu jelas sekali terdengar. Fayena langsung memegangi pipinya yang memanas dengan tatapan penuh kemarahan pada Alfino.
"Al .... Kamu udah berani main kasar?" tanya Fayena dengan nada yang bergetar.
"Emang pantas kamu dapetinnya. Berani banget kamu bahas cowok lain di hadapan aku. Aku pacar kamu, kamu nggak bisa dihubungin, terus asik berduaan sama asiaten kamu itu?"
"Kalo iya kenapa?! Dia lebih baik dari kamu. Dia yang ngertiin aku, dia orangnya lembut, perhatian, dan selama semangatin aku. Sedangkan kamu apa? Kamu cuma bikin luka buat aku, Alfino. Sadar dong kamu! Jadi aku udah putusin dari beberapa hari yang lalu. Kalau aku—mau kita putus!" lontar Fayena telak.
Alfino makin berkilat marah. Ia tersenyum mengerikan sambil menggeleng telak. "Jangan mimpi kamu Faye bisa lepas dari aku. Kamu udah jadi milik aku dan akan selamanya begitu sebelum aku yang putusin kamu."
"Kalau aku nggak mau gimana? Aku bisa laporin polisi kalau kamu tekan aku kayak gini!" cetus Fayena.
"Bagusnya Juanda apa, hah?! Dia cuma benalu keluarga! Kamu nggak tau kan kalau Juanda itu aslinya kek gimana? Heh, asal tahu, Faye. Juanda itu suka main cewek. Dia bawa cewek ke rumah dan main sama tuh cewek. Kalau kamu nggak percaya, silakan tanyain tetangganya sendiri. Tanyain! Juanda sering bawa cewek ke rumah," ketus Alfino merasa puas. Ia melihat gurat dilema di wajah gadis itu.
"Nggak usah nuduh orang, Alfino. Yang jelas aku udah nggak minat sama kamu. Aku mau putus! Terserah kamu mau kek gimana. Mau teriak ya terserah. Aku udah nggak tahan sama sikap kamu yang berlebihan. Nggak bisa profesional dalam berkarir dan selalu menuntut aku buat patuh sama kamu!" tegas Fayena sebelum meninggalkan Alfino di samping rumah itu. Fayena tak peduli dengan suara erangan Alfino yang marah padanya.
Fayena masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Langkah kakinya terhenti di dekat sofa, begitu ia teringat perkataan Alfino yang mengatakan Juanda suka main cewek
"Masa sih Juanda yang positive vibes gitu suka main cewek. Dari mana juga tuh orang tau soal Juanda. Kenal aja enggak," gerutu Fayena.
Ia mencoba tak peduli, tetapi hatinya menaruh rasa penasaran yang besar soal Juanda. "Apa gue selidiki aja, ya? Kali ini gue nggak mau salah pilih tempat hati gue untuk berlabuh. Cukup Alfino yang nyakitin perasaan gue. Gue nggak mau Jaunda juga ngelakuin hal yang sama atau malah lebih parah menyakitkannya," gumamnya sedih.