Pagi-pagi sekali Fayena dan Juanda keluar dari rumah untuk jalan santai. Fayena memakai hijab, tanpa riasan, dan memakai kacamata bening supaya tampilannya berbeda. Bahkan ketika berpapasan dengan beberapa warga, tak ada yang mengenali gadis itu. Juanda mengakui bahwa mereka berdua adalah keponakan dan adik sepupu.
"Enak juga ya suasana di desa ini. Adem dan hijau banget. Pas banget buat gue yang lagi suntuk luar biasa. Tapi gue putusin buat nggak mikirin kejadian kemarin sih. Gue bener-bener bertekad buat ngelupain sebelum Regina menghubungi kita," ucap Fayena.
"Mending gitu sih. Biar kamu--lo maksudnya. Biar lo nggak stress. Soalnya mau lo stress pun masalah nggak bakal kelar gitu aja. Mending bawa santai dulu," sahut Juanda.
Fayena mengangguk setuju. "Oh iya. Lo bilang dulu tinggal di sini, kan? Mana rumahnya?"
Juanda terkejut mendengar pertanyaan Fayena yang sulit untuk ia jawab. Malangnya Juanda tak menyediakan jawaban apapun tadi malam. Harusnya ia bisa lebih antisipasi dengan pertanyaan tak terduga seperti ini.
"Eungg ... rumah gue di ... di sana! Tuh dekat belokan itu. Cuma sekarang ya didiemin orang pastinya. Ya kan udah dijual," sahut Juanda seraya menunjuk ke arah belokan tak jauh dari mereka.
"Ke sana, yuk! Gue mau lihat rumah lo yang dulu. Pasti lo kangen deh rumah yang dulu lo tempati. Abis itu kita ke rumahnya Yena, ya," pinta Fayena.
Juanda meneguk salivanya susah payah. Mengapa ia tiba-tiba gugup seperti ini? Padahal mereka hanya akan melihat-lihat dari luar saja. Fayena tak mungkin mencari tahu lebih dalam karena ia dalam masa penyamaran.
"Juanda! Malah bengong. Ayok cepetan!" Fayena meraih lengan Juanda, lalu menggendengnya untuk mempercepat langkah. Seketika Juanda mengingat kembali momen dirinya dengan Fayena dulu. Waktu itu ... pertama kalinya Fayena mengatakan cinta pada Juanda.
FLASHBACK
"A-aku ... aku-aku suka kamu," ucap Fayena di hadapan Juanda. Kedua pipi gadis berkulit putih dan rambut keriting yang sedikit menjuntai di pelipisnya pun memerah seketika. Fayena langsung berbalik badan dengan perasaan yang teramat gelisah. Jantungnya berdebar sangat kencang. Ia sungguh takut jikalau Juanda malah memarahinya.
"Aku juga cinta sama, Faye. Faye, kamu itu cewek yang paling cantik dan baik yang pernah aku kenal. Nggak ada kesialan dari Faye. Kalau emang ada, aku yang bakal temenin Faye menghadapinya. Faye mau kan jadi pacar aku?"
Gadis itu kembali bersemu. Ia menoleh sejenak, lalu menarik lengan baju Juanda dengan cara yang menggemaskan. Juanda tersenyum lebar begitu lengannya ditarik lembut Fayena entah tujuannya ke mana. Hingga sampailah mereka di bawah rumah pohon. Juanda menoleh pada Fayena yang menunjuk rumah pohon itu.
"Mau berdua di sana," ujarnya.
"Faye yang buat?"
Fayena mengangguk malu, walau ekspresinya terlihat sangat datar. Juanda pun mengikuti Fayena yang naik lebih dulu ke atas dengan bantuan tangga. Saat mereka berdua ada di rumah pohon, keduanya duduk berduaan sambil menikmati keadaan di bawah dari atas.
"Wah, aku baru tahu kamu punya rumah pohon ini. Gimana cara buatnya?''
''Ayah yang buat, Juan. Dulu aku ke sini sama ayah. Udah lama nggak baik ke sini sama seseorang. N-ngajak kamu cuma ... cuma coba-coba aja siapa tahu mau temani," ucap Fayena terdengar kaku.
Juanda tersenyum sambil mengangguk lembut. "Jadi, jawaban kamu apa soal pertanyaan aku di atas? Mau nggak?"
Fayena dengan kepala menunduk dan pipi yang bersemu pun mengangguk. Juanda tak bisa menutupi pekikan senangnya.
"YEAY! Akhirnya bisa jadi pacar Faye juga. Faye mau dipanggil apa? S-sayang, Beb, atau ..."
"Fayena," sahut Fayena lekas. "Sebab nama Fayena dibuat oleh penuh cinta oleh ayahku, Juan. Udah lama aku nggak denger panggilan itu keluar dari mulut seorang pria. Apalagi ... kamu juga selembut ayahku dulu. Maaf kesannya aku menyamakan kamu dengan ayah. Tapi kamu setara dengan ayah yang aku cintai," ucapnya jujur.
Juanda tersenyum senang mendengar penuturan gadis itu. Ia tak menduga jikalau Fayena begitu menyukainya hingga menyamakan dirinya dengan sang Ayah yang ia cintai. Sayangnya, orang terkasih itu telah pergi dari hidupnya.
Flashback End
Juanda tersenyum dalam lamunanya hingga tak sadar jikalau ia sudah berada di depan rumahnya bersama Fayena. Juanda yang yang ditepuk Fayena lengannya, baru sadar akan lamunannya. Ia membulatkan matanya melihat rumahnya yang sebelumnya ada di hadapannya.
"Ini gue bakal dikenali nggak, ya? Tapi kayaknya enggak deh. Cuma kan ... pasti ada yang gantiin gue. Siapa?"
"Wah ... rumah lo ternyata paling besar di desa ini, ya? Mana halamannya luas. Coba aja rumahnya nggak dijual, pasti kita bisa masuk ke dalamnya," decak Fayena.
Seorang pria datang mengenakan pakaian olahraga sambil membawa buku pelajaran. Pria dengan pakaian trainingnya memasuki halaman rumah. Ia sempat menoleh pada Juanda dan Fayena yang ada di depan rumahnya.
"Lagi cari siapa, ya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya pemuda yang seumuran dengan Juanda.
''Mau tau aja anaknya pemilik rumah ini yang mana," sahut Juanda mencoba memancing penjelasan dari orang yang ia ajak bicara.
"Saya itu, Mas. Saya Ananda Mahari. Ada apa ya cari saya?" ujar pemuda yang ternyata pengganti Juanda pada di keluarga itu.
Juanda terkejut mendengar nama orang yang menggantikan posisinya yang sekarang. Tapi ... mengapa Ananda terlihat bahagia padahal kehidupannya terlalu dikekang? Itu yang ada di pikirannya saat ini.
"O-oh gapapa pengin tahu aja. Kali aja teman lama, soalnya dulu tinggal di sini juga. Ya udah kami permisi, ya." Juanda langsung menarik Fayena pergi dari sana dengan cepat.
Juanda telah berhenti menariknya, hingga sampai mereka cukup jauh dari sana. Fayena pun langsung buka suara. "Juan, tadi lo kenapa sih? Lo kayak ada masalah sama gitu sama orang tadi," ucapnya Fayena bertanya-tanya.
Juanda menoleh Fayena dengan senyuman manisnya. "Nggak ada apa-apa. Ini lo mau nggak gue ajak ke rumah Yena aja?"
"Iiiih jawab dulu! Tadi kenapa lo kayak tergesa-gesa ngomong sama dia? Nggak ada masalah apa-apa kan, Juan?'
Juanda mengembuskan napasnya dengan sabar. "Biar nggak ketahuan ayah dan ibunya. Soalnya setahu gue kedua orang tuanya itu emang terlalu berlebihan ngejaga putranya dari orang lain. Takut aja disangka bawa pengaruh nggak baik buat anaknya," tutur Juanda mengarang jawaban dengan sangat baik.
Fayena mengangguk tanda ia mempercayai setiap tutur kata yang Juanda ucapkan. "Ya udah kita ke rumahnya Yena aja. Apa dia bakal semirip gue, ya?"
"Tapi kayaknya Yena udah nggak ada di sini deh, Fay. Soalnya gue ... gue pernah nanya soal Yena ke Om gue tapi hasilnya nihil. Katanya Yena udah beberapa bulan yang lalu pindah rumah. Tapi gapapa, gue tetap bakal tunjukin rumah Yena yang dulu," ujar Juanda mulai lihai berbicara di depan kamera.
"Yah ... nggak bisa ketemu Yena deh. Padahal gue penasaran banget. Kok bisa mirip gue banget. Kalau beneran mirip, kan bisa tuh gue ajak kerja bareng. Siapa tahu dia juga punya bakat, kan?"
Juanda kembali menarik lembut tangan Fayena. Pemuda itu sudah tak sungkan lagi, ia telah menganggap Fayena yang sekarang adalah Fayena-nya yang dulu. Bahkan Fayena sendiri seperti merasakan deja vu. Ia seperti pernah digandeng Juanda seperti ini dan anehnya ia merasa nyaman dengan perlakuan Juanda.
Sampailah mereka di depan rumah Fayena yang dulu. Fayena tiba-tiba merasakan jantungnya berdegup kencang, darahnya seakan berdesir. Apa ini? Mengapa ia kembali merasakan perasaan kuat ketika sesuatu menyangkut Yena.
Perlahan kedua kaki gadis itu melangkah mendekati rumah Fayena yang dulu. Juanda membiarkan Fayena dengan langkah getirnya menghampiri rumahnya. Gadis itu kembali berkaca-kaca, kesedihan di dalam hatinya tiba-tiba menguak begitu saja. Setiap sudut rumah bagian luar yang ia hampiri, mengingatkan dirinya pada ingatan seseorang yang bahkan ia yakin tak pernah merasakannya sebelumnya.
Pemandian di belakang rumah membuat Fayena ingat bagaimana dirinya yang dulu memasang kain-kain lusuh untuk melindungi dirinya dari mata nakal pria yang mungkin sedang mengintipnya mandi. Sebuah bejana sedang yang telah dipenuhi oleh lumut dulunya ia isi dengan air dari dalam sumur kecil.
Fayena kembali berjalan mendekati pintu dapur. Ternyata pintu dapur itu tak terkunci. Fayena memberanikan diri untuk ke dalam. Tak ada siapa-siapa di dalamnya. Namun dapur tersebut mengingatkan dirinya akan aktivitas seseorang yang sedang memasak nasi, menggoreng ikan kecil, memasak sayur, dan memasak air panas. Gadis di dalam ingatannya itu makan seorang diri sambil menangis merindukan seseorang.
Fayena yang tadinya berusaha menahan isak tangisnya, jatuh berlutut dengan derai air mata. Ia menggeleng ribut berusaha menghalau ingatan yang begitu berkecamuk. Ingatan siapa itu? Siapa sebenarnya sosok Yena yang disebut oleh Juanda?
"Nggak. Ini nggak mungkin kebetulan. Gue kayak gini semenjak Juanda datang dalam hidup gue. Semenjak gue liat lukisan Juanda yang nggak senagaja kirim--" Fayena terdiam sejenak begitu mendapatkan sebuah pemikiran baru tentang apa yang menimpanya sekarang. "Apa Juanda sengaja ngirim lukisan itu? Supaya gue ingat soal Yena? Tapi buat apa? Siapa Juanda?"
Fayena kembali berdiri. Ia melangkah lebih dalam memasuki rumah itu. Fayena membuka sebuah kamar kecil. Tak ada banyak barang di sana. Hanya ada kasur tipis, lemari kecil, dan meja kecil. Di meja tersebut terdapat sebuah figura yang memancing Fayena untul mendekat.
Betapa terkejutnya Fayena melihat potret yang ada di dalam figura itu. Tampak Juanda bersama dirinya dengan tampilan sederhana dan rambut ikal sedang berpose bersama di depan sebuah saung.
"I-ini gue?" Fayena menggeleng tak percaya. "Ini gue sama Juanda? J-jadi Yena yang dia maksud benar-benar persis kayak gue?" Fayena langsung terduduk bersimpuh di lantai dengan tatapan nanar ke arah jendela kecil yang terbuka. Tampak sosok Juanda muncul di sana. "Juanda ... lo berhutang penjalasan sama gue."