“Obatnya udah dibawa? Tadi sarapannya diabisin, kan? Semalem udah ngapalin?”
Pertanyaan beruntun itu keluar dari mulut Vino saat mereka bertiga berjalan menyusuri koridor kelas. Phiko hanya membalasnya dengan anggukan terpaksa. Makin hari selama minggu ujian, senyuman Phiko terus memudar, seakan mengembalikannya kepada Phiko yang dulu. Yang menjauhkan dirinya dari kakak kembarnya, yang anti sosial, yang hanya mementingkan nilai daripada pengalaman. Dan hari ini adalah hari terakhir ujian, wajah Phiko pucat sekali. Pikirannya hanya satu, apakah dirinya akan mendapat nilai terbaik di semester penting ini? Sementara selama ujian berlangsung, dirinya hanya disibukkan dengan kesehatan saja. Terlalu larut belajar saja, asam lambungnya langsung kambuh.
Si kembar bertemu dengan koridor yang memisahkan antar kelas IPA dan IPS. Vino harus berjalan lurus, sementara Phiko dan Finna harus berbelok. Sebelum mereka berpisah, Vino menghadapkan tubuh adiknya kepadanya.
“Denger gue, Phi.”
Phiko mengembuskan napas panjang. Matanya terlalu sayu, tak terlalu berselera menanggapi apa pun yang akan kakak sulungnya katakan.
“Apa pun hasilnya, lo tetap adik gue, lo tetap adik Finna, lo tetap anak Bapak. Lo tetap Phiko yang kita kenal. Kalau lo gak berhasil nempatin juara terbaik di semester ini, it’s okay, itu bukan salah lo, bukan salah penyakit lo, bukan salah Ibun yang nurunin sakit buat lo. Hidup harus tetap berjalan walaupun lo ada di posisi terakhir sekalipun. Ngerti?”
Phiko sedikit terkesima. Setidaknya kata-kata sederhana itu membuat api semangatnya sedikit berpercikan. Lelaki itu mengangguk samar, meski dengan wajah datar. Vino tersenyum melihat adiknya, lalu memeluknya dengan cukup erat.
“Semangat, Phi. Kita akan selalu ada di sini apa pun yang terjadi,” bisik Vino.
Ketiganya lantas berpisah. Phiko menduduki bangku kedua di jajaran pertama, sebab pada ujian semester seperti ini, semua anak diwajibkan duduk sesuai absen. Finna berada di belakangnya kebetulan, jadi Phiko bisa membantu kakaknya barangkali butuh bantuan mengenai komunikasi.
Syukurlah, batin Phiko. Ketika Pak Jiro datang ke kelas untuk menjadi pengawas ujian hari terakhir. Seminggu ini, Phiko belum bertemu dengan Pak Goyara lagi. Makin hari, kecurigaannya kepada guru tersebut kian bertambah, terlebih setiap kali Phiko berpapasan dengan Mahen.
Akhirnya pertanda ujian selesai berdering nyaring. Hari ini semua murid menghadapi tiga mata pelajaran yang diujiankan. Kepala Phiko pening sekali. Sebelum pulang, triplets berdiam diri dulu di kantin sekolah untuk membeli jajanan sekaligus meredakan pening Phiko. Bukannya berangsur membaik, lelaki itu malah makin pening saat Armor datang dan ikut bergabung bersama mereka. Pasalnya Armor dan Vino tak henti-hentinya berbicara.
“Hai.”
Phiko mengangkat kepalanya. Bela duduk tepat di hadapannya—di sebelah Finna, melempar senyum hangat.
“Gimana ujiannya?”
“Baik. Gitu aja sih. Aku nggak yakin bakal dapet yang terbaik.”
Gadis itu menyangga dagunya. “Pusing ya? Pusing banget. Aku nyaris nggak pernah ketemu kamu minggu ini.”
“Setiap beres ujian, aku langsung pulang sama mereka.”
Bela terkekeh. Sebenarnya hatinya merutuki Phiko, lelaki itu tidak peka. Sebenarnya Bela sangat merindukan Phiko, tapi Phiko tidak tahu maksud kalimatnya.
Finna mengangkat pandangan dari layar ponsel. Mencolek lengan Phiko tiba-tiba, lantas menunjukkan layar ponselnya saat Phiko sudah menoleh. “Phi, gimana kalau kamu coba nyanyi sewaktu classmate nanti? Aku pengen banget liat kamu nyanyi.”
“Hah? Nyanyi?”
“Aku pengin banget liat kamu nyanyi di atas panggung. Ya, walaupun gak bisa dengar juga sih.”
Phiko mengernyitkan kedua alisnya. Tidaklah mungkin seorang Phiko bisa tampil di muka umum. Mungkin saja warga sekolah mengenalinya sebagai siswa terbaik jurusan IPS. Akan tetapi, ia sendiri tak kenal dengan semua orang yang ada di sekolah ini, bagaimana bisa mereka sudi menyaksikan Phiko di atas panggung?
“Plis, Phi, terakhiran juga,” mohon Bela. Gadis itu turut membujuk, tidak pernah pula ia melihat crush-nya tampil di muka umum. “Semester depan kita udah gak bisa seru-seruan lagi.”
Phiko mengembuskan napas panjang. “Nanti gue pikirin.”
Demi sebuah pertunjukkan, Phiko rela mengubah kepribadiannya menjadi lebih terbuka, kurang lebih seperti Vino. Ya, Phiko menerima tawaran Finna dan Bela untuk tampil saat classmates yang diadakan oleh pengurus OSIS. Kalau bukan karena kakaknya dan gadis yang menyukainya, tidak akan pernah Phiko melakukan hal seperti ini. Phiko harus belajar berkenalan dengan orang-orang jika penampilannya ingin disaksikan nanti. Bukankah tidak mungkin saat ia tampil nanti, depan panggung malah kosong melompong karena mereka malas melihat wajah Phiko. Kakaknya pasti akan sedih.
“Pagi,” Phiko disertai anggukan dan senyuman paling tulus yang pernah ia punya. Tak lupa Phiko juga menyakukan kedua tangannya di celana.
Itulah yang Phiko lakukan sebagai bentuk perubahan. Kepada siapa pun yang menatap matanya, baik secara sengaja maupun tidak.
Acara—lebih tepatnya lomba bernyanyi—akan diadakan dua hari lagi. Setidaknya sayup-sayup Phiko sudah mendengar banyak orang yang membicarakan perubahannya. Bahkan teman kelas juga mulai mendekatinya dan mengajaknya bicara.
“Telat lo! Tiga bulan lagi kita lulus, lo malah baru akrab,” seru lelaki yang duduk di depannya.
Phiko tertawa pelan. “Ya, gue tinggal manfaatin waktu tiga bulan ini aja buat dekat sama kalian.”
Hampir dua puluh menit kelima orang yang memegang ponsel dalam posisi miring itu sedang memain games online. Katanya pemanasan, sebab mereka besok akan mengikuti lomba games tersebut. Kecuali Phiko, tentunya. Ia mengaku tak bisa memainkannya.
“Ah! Kalah!” pekik lelaki di sebelah Phiko. Ia menyadari sedari tadi Phiko melongokkan kepala penasaran. “Ikut aja, Phi. Jadi pemain cadangan. Siapa tau Erno besok mendadak bolos.”
Yang disebut namanya mendelik.
Phiko menggeleng pelan. “Gue udah ikut lomba nyanyi, nanti lo semua tonton gue ya. Ajak temen-temen kalian yang di luar kelas.”
“Aman, Phi, aman!”
Diam-diam Phiko mengulum senyum di bibirnya. Ia tidak mengira jika teman-teman kelasnya akan semudah ini menerima keberadaan dirinya. Mereka bahkan tak mengungkit perihal tingkah Phiko selama sekelas dengan mereka yang pendiam dan tidak peduli dengan sekitar.
Tak hanya itu, orang rumah pun ikut mendukung dirinya untuk tampil di sekolah. Vino mengeluarkan gitar milik Bapak yang teronggok di gudang rumah.
“Kok, lo tau Bapak punya gitar?” heran Phiko.
Vino menutup pintu gudang. Meniup-niup gitar yang berdebu itu. “Bapak pernah bilang ke gue. Tapi gue gak punya waktu buat gitaran.”
“Tangan lo? Udah bisa digerakin?”
Vino berjalan menuju kursi di selasar. Duduk, mulai memainkan gitar. Membuat Phiko cukup melongo. Jemari kanan itu bisa bergerak, hanya saja Vino harus memposisikan tangan secara manual.
Phiko duduk di kursi rotan sebelahnya, memerhatikan gitar dengan saksama. Dilihat dari kondisi gitar, memang masih bagus, suaranya juga stabil dan merdu saat Vino memainkannya. Ada banyak sekali tempelan stiker kuno, mulai dari nama band hingga stiker kutipan yang mungkin berharga untuk Bapak. Dahulu pasti gaya Bapak skena, keren, dan ramah tamah kepada siapa pun. Bapak menjadi pendiam sejak wanita yang dicintainya meninggal.
Phiko menemukan sebuah nama yang diukir menggunakan pengukur kayu. “Bapak bucin juga, No.”
Vino menoleh, memeriksa bagian belakang gitar. Rupanya terdapat nama Aleena di sana. Diukir dengan cantik disertai bunga-bunga kecil. Vino dan Phiko paham mengapa Bapak tak ingin lagi memainkan gitarnya. Sudah pasti karena ada nama Ibun.
“Besok mau nyanyi lagu apa?”
Phiko mengeluarkan ponsel, menunjukkan lirik lagu sekaligus judul yang besok akan ditampilkannya.
Bukan kali pertama bagi Phiko berdiri di atas panggung. Setiap semester, dirinya selalu berada di sini untuk menerima piagam penghargaan sebagai juara terbaik angkatan, atau ketika dirinya memenangkan lomba di luar sekolah. Namun, untuk hari ini atmosfernya berbeda sekali.
Biasanya mata-mata yang memandangnya adalah mata malas sekaligus iri. Tapi sekarang, mereka semua menatap Phiko dengan mata berbinar, terutama gadis yang berdiam diri di tengah-tengah barisan depan, bersebelahan dengan Finna. Banyak yang bersiap sambil mengangkat
ponselnya.
“Phi.”
Lamunan Phiko membuyar, jantungnya tak lagi berdegup secepat itu saat seseorang memanggilnya dari belakang. Vino mengangkat jempol pertanda siap, artinya Phiko harus segera bernyanyi sekarang. Dewan juri sudah memerhatikan secara lekat di pinggir panggung.
Phiko maju satu langkah mempertipis jarak dengan stand mic, mendekatkan bibirnya. Ia juga memeriksa apakah mikrofon tersebut berfungsi dengan baik atau tidak.
“Test. Oke, nyala ya.”
Hening. Seakan seisi sekolah ingin mendengarkan suara Phiko detik itu juga. Jantung Phiko berdebar tak karuan lagi, tapi bisikan Vino di belakangnya meyakinkan jika Phiko bisa menunjukkan latihan sederhananya selama ini.
“Ibu guru sebagai dewan juri, para panitia, dan teman-teman semuanya.” Phiko menarik napas dalam-dalam. Banyak orang yang mengernyitkan keningnya, terheran karena Phiko tidak kunjung memulai penampilannya.
“Saya ingin ... meminta maaf kepada kalian semua, terutama orang-orang yang mengenal saya sebagai orang yang tak acuh. Kakak-kakak saya, Armor, dan Bela. Terima kasih karena selalu ada untuk saya.” Phiko menundukkan kepalanya. Tak lama, senyum semringah terukir jelas di wajah.
Phiko menarik mikrofon, melangkah cepat ke muka panggung, lantas mengangkat sebelah tangannya. “Mari kita bernyanyi bersama!” soraknya.
Vino mulai memainkan gitar milik Bapak dengan lancar. Mereka membawakan lagu milik band Fourtwnty dengan judul Zona Nyaman.
Pagi ke pagi ku terjebak di dalam ambisi
Seperti orang orang berdasi yang gila materi
Rasa bosan membukakan jalan mencari peran
Keluarlah dari zona nyaman
Sembilu yang dulu
Biarlah berlalu
Bekerja bersama hati
Kita ini insan bukan seekor sapi
Sembilu yang dulu
Biarlah membiru
Berkarya bersama hati
Hu
Waktu ke waktu perlahan kurakit egoku
Merangkul orang orang yang mulai sejiwa denganku
Ke bm an membukakan jalan mencari teman
Bergeraklah dari zona nyaman
Sembilu yang dulu
Biarlah berlalu
Bekerja bersama hati
Kita ini insan bukan seekor sapi
Phiko sudah bergerak dari zona nyamannya. Riuh tepuk tangan menggema seluruh atmosfer sekolah. Mereka semua senang, sebagian besar bangga karena Phiko akhirnya benar-benar hidup di dunia nyata, memanfaatkan sisa-sisa masa SMA dengan baik. Jika menjadi yang terbaik bisa membuatnya tersesat hingga lupa dengan diri, maka inilah cara Phiko untuk menemukan jati diri. Meski memang bukan jati diri yang sesungguhnya, setidaknya ia akan berada di ingatan setiap insan meski sekecil debu jalanan.
“Suaramu bagus banget, Phi. Saya suka.” Pak Jiro datang-datang memuji Phiko hingga pipi anak itu memerah.
“Biasa aja, Pak. Saya nggak pernah nyanyi sebelumnya.” Phiko menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal.
“Bohong, Pak,” elak Vino. “Dia ini dulu hobi nyanyi. Sering ikut lomba nyanyi juga waktu SD dan juara.”
“Dulu, No, dulu.”
“Bakat itu harus dipertahankan, kalau bisa dikembangkan, Phi. Lihat kakak-kakakmu, mereka berbakat, Vino jago benerin komputer, Finna bisa merias wajah. Saya yakin kamu juga punya bakat. Eh, ditunjukin juga hari ini.” Pria paruh baya berseragam batik itu mengusap puncak kepala Phiko dengan lembut.
“Omong-omong, Finna mana?” Pak Jiro menoleh ke berbagai arah. Tidak afdol rasanya melihat si kembar tiga yang sudah seperti lem ini salah satunya menghilang.
“Ke kantin bareng Bela, Pak,” jawab Phiko.
Pak Jiro menarik kursi yang ada di dekatnya, ikut bergabung dengan murid lintas kelasnya. “No, saya punya kerjaan buat kamu. Bisa?”
“Wah, bisa banget, Pak.” Vino menyandarkan gitarnya di dinding. “Berapa unit?”
“Nggak banyak sih, No. Cuman tiga, tapi yang satu ada di gudang sekolah. Saya butuh untuk anak-anak SMANSA Terbuka. Mereka ujiannya minggu depan.”
“Oh, beres, Pak. Siang nanti juga selesai. Vino ambil dulu komputernya dari gudang.” Lelaki itu hendak beranjak. Namun, buru-buru Phiko menahannya.
“Gue aja. Lo langsung ke lab komputer, nanti gue nyusul. Nggak dikunci, kan, Pak?”
“Tidak, Phi. Barusan sudah minta dibukakan penjaga sekolah.”
“Siap, Pak. Phiko ke sana dulu,” pamitnya super ramah. Ia menepuk pundak Phiko sebelum pergi.
Sesampainya di dekat gudang, Phiko mendadak menghentikan langkah. Ada seseorang di pintu gudang tengah menelepon. Phiko memiringkan kepala, menebak siapakah gerangan yang berperilaku aneh itu. Lorong menuju gudang memang cukup sepi, gelap dan lembap juga karena jarang dijamah orang. Semakin mendekat, Phiko makin bisa mendengar percakapan pria itu dengan jelas.
Pak Goyara, tebaknya dalam hati. Instingnya berkata untuk menyalakan aplikasi perekam suara. Phiko menyakukan ponsel di celana saat perekam tersebut sudah menyala. Lantas lelaki itu perlahan mendekat.
“Beberapa minggu lalu, saya sudah mencoba menusuk ayahnya, tapi gagal. Dia lebih cekatan daripada yang saya duga.”
Langkah Phiko terhenti. Jantungnya berdebar kuat. Pak Goyara ... pelaku penusukan di pasar? Kedua tangan Phiko mengepal kuat. Dugaannya benar, saat itu Bapak adalah sasaran utama.
“Tapi, tidak apa-apa, dia sudah mengidap penyakit. Kakak-kakaknya juga sudah saya buat cacat. Sekarang tinggal tunggu hasilnya. Mungkin, Mahen berpeluang mendapatkan peringkat satu.”
Gigi Phiko menggertak, ia tak bisa menahan emosinya lagi. Phiko melangkah cepat, bertepatan dengan Pak Goyara yang menutup ponselnya.
“Bapak yang sudah membuat kakak saya cacat?”
Guru muda itu tersentak, tapi tidak cukup terkejut. Ia menyeringai, menyakukan ponselnya. Pak Goyara mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
“Kalau iya, kenapa?”
“Teganya Bapak!” seru Phiko. Ia mendorong tubuh Pak Goyara hingga menyentuh dinding kasar di belakangnya.
Pak Goyara malah tertawa puas. Kemudian tatapannya berubah tajam. “Saya yang menyuruh orang untuk menabrak Vino, saya juga ada dalam sekelompok orang yang menjebak kamu dan Finna. Seharusnya saya juga bisa membuat ayahmu cacat, tapi kamu jauh lebih cepat dari yang saya duga.”
Phiko mencengkeram kerah baju Pak Goyara. Wajahnya memerah padam. Jika bisa, ia ingin sekali mengumpat sambil memukuli wajah pria di depannya. Namun, tenaga Phiko kalah telak. Pak Goyara justru memutar posisinya. Pak Goyara memukul kaki Phiko, lalu mencelik leher Phiko.
“Sa–ya, punya bukti!” pekik Phiko terpatah-patah.
“Saya bisa melaporkan Anda ke pihak berwajib.”
Cekikan itu semakin menguat. Rasanya Phiko sudah kehilangan napasnya. Seberapa besar usaha Phiko untuk melonggarkan cengkeraman, tapi tenaga Pak Goyara jauh lebih kuat darinya.
Pria itu tertawa lagi. “Silahkan. Tapi, ingat. Kamu itu orang miskin, Phiko.”
“PAK GOYARA!”
Panggilan menggelegar berasal dari belakang. Pak Goyara melepaskan cengkeramannya. Tubuh Phiko langsung menyusut ke bawah, terduduk lemas. Akhirnya Phiko bisa menghirup udara lagi. Pahlawannya, Pak Jiro, datang dengan menggebu bersama Vino. Mereka berdua menyusul karena merasa Phiko sudah pergi terlalu lama.
“Phiko! Phiko! Lo, lo gak apa-apa?” Vino mendekati Phiko. Memeriksa keadaan adiknya.
Napas Phiko terengah-engah sembari memegangi lehernya. “Sakit, No. Sakit.”
“Pak Goyara, apa yang Anda lakukan?” tanya Pak Jiro dengan nada tinggi.
Cekcok antar guru itu tak dapat dihindarkan. Sementara Vino sibuk memeriksa keadaan adiknya. Setidaknya Vino paham tentang anatomi tubuh manusia dari pelajaran di kelas. Vino ikut menyentuh leher Phiko, matanya langsung membesar.
Tulang leher Phiko ada yang bergeser.
Finna memajukan bibir saat pertama kali melihat adiknya berada di atas ranjang rumah sakit, lagi. Lagi dan lagi. Kali ini Phiko menggunakan gips atau penyangga di leher, membatasi pergerakan menolehnya. Entah sudah kali ke berapa Phiko menginap di rumah sakit. Air mata mulai merembes membasahi kantung mata. Finna buru-buru menghapusnya.
Melihat kakaknya menangis, Phiko mengulurkan tangan, meminta perhatian Finna. Lantas lelaki itu memberitahu, jika nanti malam ia sudah diperbolehkan pulang, menggunakan bahasa isyarat.
“Tulangnya cuman geser aja, gak perlu perawatan intensif,” tambah Phiko.
Tetap saja itu menyedihkan bagi Finna. Terlebih gadis itu tidak ada di sana saat kejadian siang tadi. Finna menarik kursi di dekatnya, duduk menggenggam tangan Phiko cukup erat.
Vino yang berada di dekat jendela, menarik pandangannya dari langit cerah yang mulai beranjak menjadi senja.
“Mana rekamannya? Mau gue laporin tuh orang.”
Ponsel Phiko berada di tangan pemiliknya. Ia mengeratkan genggaman pada ponsel tersebut.
Phiko mengembuskan napas gusar. “Gak perlu, No.”
“Maksud lo apa? Dia udah bikin gue sama Finna cacat, dia juga udah bikin lo kayak gini, dia hampir bunuh Bapak. Lo mau diam aja dan membiarkan dia?”
Phiko menerawang pandangannya ke langit-langit rumah sakit. “Kita bakal kalah sama duit, No. Lagian, tujuan Mahen cuman mau jadi yang terbaik. Gue yakin, dia bakal dapetin itu semua.”
Tangan Phiko bergerak mengusap pucuk kepala Finna. Sebelahnya lagi melepaskan ponsel, menyambar tangan kanan Vino yang kini berada tak jauh darinya.
“Asalkan gue masih hidup bareng kakak kembar gue, bareng Bapak, gue udah ikhlas. Lo hang nyuruh gue ikhlas, No.”
Vino mengulum bibir. Lelaki itu semakin mempertipis jarak, lalu memeluk tubuh adiknya dengan erat. Ia juga memeluk Finna. Vino berharap, setelah ini tak ada lagi badai yang menerpa mereka. Phiko juga sangat berharap, jika semua masalah ini akan membuat segitiga yang mereka bawa menjadi sama sisi.