Ucapan Phiko tentang tidak ada batasan memang benar, si kembar itu bahkan membongkar kembali sekat yang memisahkan antara kamar Phiko-Vino dengan Finna. Kini, kamar luas tersebut kembali terbentang, hanya berbatas lemari sebagai penghalang. Hal ini juga bertujuan agar mereka mudah merawat jika ada yang sakit, terutama Phiko.
Meskipun Ibu Kara bukanlah ibu kandung triplets, tapi Bapak menganggap ucapannya hari itu ada benarnya. Vino dan Finna tidak mungkin cacat jika dirinya bisa mendapatkan penghasilan lebih banyak, Phiko juga tak mungkin terkena gerd jika Bapak bisa lebih teliti dalam memerhatikan pola makan anak itu.
Diam-diam, Bapak sebenarnya memiliki tabungan yang digabung dengan tabungan milik mendiang istrinya. Bapak mengambil semua uang itu dan membeli sepuluh ekor anak sapi sekaligus untuk diternakkan, lengkap dengan kandangnya.
Letaknya tak jauh dari kampung ini, mereka bisa berjalan untuk sampai ke tempatnya. Bapak dengan tegas melarang anak-anaknya bekerja di luaran. Urus saja sapi yang sudah ia beli, katanya. Khusus untuk Finna, gadis itu lebih baik di rumah dan melakukan aktivitas selayaknya gadis biasa, meski dengan segala keterbatasan. Ia juga mulai belajar tentang bahasa isyarat di internet.
Si kembar sedang menonton drama Korea lagi sekarang. Judulnya Twingkling Watermelon.
Kemarin malam, Finna menyaksikannya sendiri di ponsel, tapi volumenya terlalu keras hingga menarik perhatian Vino dan Phiko. Alhasil, bukannya melarang, kedua lelaki itu justru menawarkan diri untuk menyaksikan bersama. Sempat terjeda untuk tidur, pagi ini setelah sarapan mereka melanjutkannya lagi sampai tamat.
“Udah sebulan jadi cewek tuli, aku udah lupa suaraku gimana. Kayak Yichan itu,” celetuk Finna.
Ketiganya tidur tengkurap di atas kasur Phiko dan Vino, berjajar sesuai urutan lahir, menghadapkan wajah ke arah laptop yang ditaruh di atas kasur—tidak boleh ditiru. Phiko sadari, laptop itu sekarang lebih banyak digunakan menonton film ketimbang belajar. Tak apalah, asalkan ia masih bisa bersama keluarganya.
“Nanti seiring waktu, suaraku juga bakal di-mute, kalian jangan ngejauh, ya.”
Phiko dan Vino saling melempar pandang. Sedih pula mendengar ucapan Finna. akhir-akhir ini, Finna selalu berusaha mengajarkan kedua saudaranya tentang bahasa isyarat. Ia ingin tetap bisa berkomunikasi dengan keluarganya tanpa harus menulis di buku catatan. Namun, tak dapat dipungkiri, Finna tidak pernah menunjukkan wajah sedih dalam hidupnya.
Phiko menepuk pundak Finna sebagai panggilan.
“Kita selalu ada di sini bersamamu,” katanya, disertai bahasa isyarat. Phiko memang lebih cepat menangkap pelajaran bahasa isyarat daripada Vino.
Finna mengulum senyumnya, mengusap puncak kepala adiknya.
Bapak datang mengetuk pintu, lalu masuk. Sebelumnya Bapak melongokkan kepala.
“Pagi-pagi udah nonton drakor,” omelnya setelah melihat apa yang ketiga anaknya saksikan.
“Seru, Pak. Sini nonton juga.”
Bapak menggeleng sambil tersenyum, ia lebih tertarik sinetron yang ada di TV ketimbang drama Korea.
“Kalian ada yang punya kuota? Bapak boleh pinjam HP sebentar? Kuota Bapak habis.”
Vino dan Phiko memeriksa ponselnya bersamaan. Membuat Finna mengernyitkan keningnya, gadis itu sampai bangkit duduk dan menatap bapaknya.
“Apa, Pak?”
Bapak menggerakkan tangannya, merangkai kata ‘kuota’ huruf demi huruf. Barulah Finna membulatkan mulutnya dan ikut memeriksa ponsel, tapi Phiko sudah lebih dulu menyodorkan ponselnya kepada Bapak.
“Bapak mau Vino isikan kuota?” tawar Vino. Lelaki itu mengotak-atik aplikasi bank. Tanpa menunggu jawaban Bapak, Vino sudah mengisikan kuota ke ponsel bapaknya.
“Gak perlu padahal, No. Bapak cuman googling aja.”
Vino tidak mengindahkan. Ia kembali melanjutkan tontonannya, pun dengan Finna. Sementara Phiko memilih beranjak, membuntuti Bapak yang duduk di meja belajarnya. Pria itu menyalin sesuatu dari ponsel ke sebuah kertas kecil.
“Bapak nyalin apa?”
“Hm? Makanan yang direkomendasikan untuk penderita gerd.”
Satu bulan ini, mereka hanya mengonsumsi telur, tahu, tempe, dan sayur kangkung saja. Kemarin Bapak berhasil menjual dua ekor sapi seharga sepuluh juta per ekor. Lumayan, untung dua puluh persen. Jadi, hari ini Bapak mau memasak makanan yang enak untuk anak-anaknya, tapi tetap harus memerhatikan makanan yang diperbolehkan atau tidak untuk Phiko.
“Mau ikut ke pasar?” tawar Bapak, ia sudah selesai mencatat bahan apa saja yang akan dibeli nanti. Phiko jelas mengangguk antusias. Ia buru-buru mengganti pakaian, memakai jaket denim dan celana training.
“Bapak sama Phiko mau ke mana?” tanya Vino.
“Pasar. No, nanti jangan lupa ke kandang, periksa makan dan minum sapi-sapi. Bersihkan juga kotorannya. Jam sepuluh baru pulang lagi ke rumah untuk makan siang.”
“Sendirian, Pak? Ahh, mana sanggup aku.” Vino menelentangkan tubuhnya. Membayangkan dirinya yang jalan saja masih kesusahan, harus mengurus kandang sapi dengan delapan ekor di dalamnya, lengkap dengan kotorannya.
“Kamu bisa ajak temanmu, si Armor-Armor itu.”
Vini menyeringai. Ia lantas beranjak, memakai kaki palsu yang ditaruh di sudut kasur.
Bapak menepuk bahu Finna. Memberitahunya untuk ikut Vino ke kandang. Bapak juga memberitahu, nanti akan ada Armor yang membantu, Bapak menyuruh Finna untuk memberikan Armor upah sedikitnya seratus ribu setelah bekerja nanti. Selama ini, Finna yang mengatur keuangan peternakan sapi, sebab Bapak juga harus mengatur keuangan toko buku yang kini masih dijaga oleh Bela.
Bela tidak lagi membuka jasa joki bersama Phiko. Terlalu melelahkan, katanya. Sepulang sekolah harus bertemu dengan orang-orang asing yang bertanya tentang buku A sampai Z, belum lagi tugas dari guru pun semakin banyak. Ia tak sanggup jika harus mengerjakan tugas orang lain juga. Hubungan Bela dan Phiko? Masih diambang keraguan. Phiko tak begitu yakin bisa membalas rasa cinta kepada Bela. Tidak ada interaksi yang intens di antara mereka. Sebab, setelah semua kejadian ini, triplets lebih memilih langsung pulang ke rumah daripada melipir ke pasar.
“Ibumu itu mau dipanggil Ibun. Jadi, kalau ingin bahas dia, sebut Ibun saja. Supaya bisa bedakan dengan Ibu Kara juga,” ucap Bapak. Ia tengah memilih ikan yang hendak dibeli.
Suasana pasar cukup ramai pagi ini, tidak ada yang secara sengaja mendengarkan percakapan bapak dan anak, tidak ada yang memedulikan seorang laki-laki berbelanja di pasar. Terlebih waktu juga hampir menunjukkan pukul tujuh di hari Minggu, orang-orang juga ingin membuat masakan untuk keluarganya.
“Ibun itu orangnya seperti apa, Pak?” tanya Phiko.
Bapak memberikan uang setelah meminta dua kilo ikan mas pilihannya. “Persis seperti Finna. Dia cantik, centil, banyak omong. Rambutnya selalu panjang, tapi sering diikat. Finna juga mendapat bakat merias dari Ibun, makannya Bapak mendukung saja keinginan dia menjadi MUA di usia muda.”
Phiko mengangguk-angguk paham. Pikirannya membayangkan seperti apa sosok sang ibu ketika masih hidup bersama bapaknya. Mereka pasti bahagia, sebelum Ibun menyuruh Bapak menikah dengan sahabatnya.
Kali ini bapak dan anak itu menghampiri kios ayam, tentu saja kios milik Armor. Namun, lelaki itu tak ada di sana sekarang, digantikan oleh kedua orang tuanya. Bapak meminta satu kilo.
“Kamu percaya tidak, kalau Bapak dulu nakal? Seperti Vino.”
Phiko mendelik. “Nggak mungkin,” gumamnya.
Phiko kembali berpikir, tapi tetap saja tidak mungkin. Wajah Bapak terlalu baik untuk dikatakan mantan anak nakal. Lelaki itu tertawa renyah. “Nggak mungkin, Pak.”
Bapak ikut tertawa ringan. Ia memberikan uang lagi kepada orang tuanya Armor, setelah itu keduanya kembali berjalan.
“Bapak itu dulu mirip Vino, tingkahnya, gelagatnya. Bapak tidak pintar, sering bolos, dan jarang mengerjakan tugas.” Bapak merangkulkan tangannya di atas pundak Phiko. “Makannya, kamu itu berbeda dari Ibun dan Bapak. Kamu pintar, rajin, berambisi tinggi. Kamu juga yang paling peduli terhadap Bapak dan kakak-kakakmu. Walaupun kamu kemarin sempat salah paham terhadap pekerjaan mereka, Bapak yakin di balik itu sebenarnya kamu sangat khawatir kepada mereka.”
Phiko menundukkan kepalanya. Bapak selalu berpikiran baik kepada anak-anaknya. Meski memang sebagian besar ucapan Bapak benar, tapi rasa bersalah masih menyelimuti hati Phiko.
“Bapak sudah paham tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dimakan penyandang autoimun, tapi Bapak belum terlalu paham untuk penderita gerd.” Bapak mengembuskan napas gusar. Ia membaca catatannya berkali-kali, meyakinkan diri, takutnya ada bahan yang tertulis membahayakan Phiko.
Bapak menatap nanar kepada putranya yang berjalan di sampingnya. Dalam hatinya, ia merasa kasihan. Anak semuda ini harus menderita beragam penyakit. Sebenarnya, sedari awal, Bapak memiliki dugaan bahwa istri pertamanya itu akan menurunkan penyakit imun tersebut kepada Phiko, makannya Bapak selalu menganggap anak bungsunya itu spesial. Bapak tidak pernah mengira, Phiko akan membuat penyakit tambahan akibat kebiasaan buruknya; begadang, jarang makan, jarang minum air putih.
Sadar ditatap, Phiko mengangkat kepalanya. “Ada apa, Pak?”
Bapak mengulum senyum, mengacak pucuk rambut Phiko dengan lembut. “Berat tidak?”
Phiko menggeleng beberapa kali. Dua kantong plastik berisi ayam dan ikan ini tidak ada apa-apanya daripada pekerjaan mengangkut barang dari truk bulan lalu. Phiko sudah terlatih.
“Pak, kalau Bapak nikahin Ibu Kara sebulan sebelum aku lahir, artinya Bapak sempet ngerasain poligami, ya?”
Bapak tertawa kecil. “Memangnya kenapa?”
“Gimana rasanya poligami, Pak?” Phiko penasaran, ia tersenyum jahil.
Bapak mengibaskan tangannya, mempercepat langkah untuk menghindari tatapan putranya. “Gak perlu tau. Nanti kamu malah mau poligami lagi.”
“Ayolah, Pak. Kasih tau aku. Justru biar aku nggak ada niat untuk poligami.”
“Intinya pengeluaran jadi double, udah itu aja.”
Phiko mendengkus kasar karena pertanyaannya tidak dijawab, Bapak juga kembali disibukkan dengan memilah sayur mana yang akan ia beli.
Tugas Phiko hanya membawakan belanjaan Bapak. Sebab setiap kali Phiko bantu memilih, Bapak selalu menyimpannya kembali. Seperti bawang misalnya. Pilihan Phiko tidak bagus menurut Bapak. Jadinya Phiko hanya diam saja di sudut kedai, mengamati Bapak yang pindah ke sana ke mari seperti ibu-ibu.
Phiko menatap langit-langit pasar. Matanya menerawang, seperti apa rasanya mengidap autoimun itu? Apakah menyakitkan? Bagian mana yang sakit? Mengapa Ibun bisa sampai pendarahan dan meninggal? Padahal Bapak sudah memberikan yang terbaik untuk keselamatan Ibun saat mempersiapkan kelahiran.
Phiko masih bisa menerka apa yang akan ia derita dengan penyakit gerd. Hanya sakit perut, sesak, dan jantung berdebar saja, bukan? Sementara autoimun? Itu penyakit yang sulit sekali ditebak di mana letak sakitnya. Namun, Phiko masih bisa bersyukur, sebab Ibun menurunkan penyakit itu padanya. Bagaimana jika kepada kakak-kakaknya? Mereka sudah cukup menderita.
Pandangan Phiko turun saat seseorang berbaju hitam melintas di belakangnya. Phiko mengamati orang itu. Keningnya mengernyit. Ia memakai masker dan topi untuk menutupi wajahnya. Saat diteliti, orang itu berjalan ke arah ... Bapak!
Phiko melepaskan plastik hitamnya sembarang. Ia segera berlari, mendahului orang misterius itu. Apa pun yang akan dilakukan, siapa pun itu, tapi adrenalin Phiko mendadak naik melebihi langit. Phiko berhasil, kakinya bergerak gesit. Ia menari Bapak, sampai menabrak orang yang ada di kedai sebelah. Namun, yang ditabrak tidak protes, sebab tabrakannya bersamaan dengan teriakan orang yang melengking kesakitan.
Orang misterius itu baru saja menusuk orang yang tadinya di sebelah Bapak. Mereka sempat mengunci pandang, antar Phiko dan orang misterius. Sebelum orang tersebut melarikan diri, semua orang mengejarnya. Korban bersimpuh dan bersimbah darah. Pisaunya kini menancap di perut sebelah kanan. Apa jadinya jika Bapak tidak diselamatkan Phiko tadi? Apakah orang tadi berniat menusuk Bapak? Atau benar orang yang sekarang menjadi korban? Banyak pertanyaan berputar di kepala Phiko.
“Bapak gak apa-apa?” tanya Phiko.
Bapak mengangguk samar. Tatapannya melirik korban. Bapak akhirnya membantu korban yang kesakitan, berteriak menyuruh seseorang memanggil ambulans.
Suasana pasar ricuh sekali setelah kejadian tersebut. Jantung Phiko berdebar kencang. Kepalanya pening tak karuan. Matanya terus berjaga mengawasi Bapak. Pada pukul sepuluh, Bapak dan Phiko baru bisa pulang. Suasana pasar kembali tenang setelah pihak berwajib datang.
Bapak menatap penguasa pasar yang berjaga di gerbang pasar, membuat Phiko mengernyitkan alis. Mengapa pria itu tidak datang barusan? Padahal, keamanan di sini juga adalah tugasnya.
Alih-alih bertanya, Phiko memilih mengacuhkannya. Lagipula, nyatanya pria itu bukan benar-benar ayah tirinya. Bapak juga tidak saling bertegur sapa.
“Kenapa lama banget? Aku teleponin juga gak dijawab,” protes Vino saat Bapak dan Phiko sudah tiba di pekarangan rumah mereka. Vino beranjak dari kursi. Ketahuilah lelaki itu tidak membutuhkan tongkat siku lagi untuk berjalan. Tangannya juga tak menekuk kaku, tapi sudah terkulai lemah tanpa bisa digerakkan.
“Aku sama Finna bahkan udah mandi lho.”
Bapak tersenyum, mengusap lengan Vino. “Maaf, ya. Tadi ada kendala di pasar.”
Bapak lalu menghampiri Finna yang masih duduk di kursi selasar. “Finna, bantu Bapak membersihkan ayam, ya?” ucapnya disertai bahasa tubuh sederhana, Bapak belum menguasai bahasa isyarat.
Bapak dan Finna masuk ke dalam rumah. Sedangkan Phiko masih berdiam diri di atas motor kesayangan kakak sulungnya. Phiko termenung, mencerna kejadian di pasar tadi. Sadar ada yang tidak beres, Vino melangkah menghampiri.
“Ada apa, Phi? Hm?”
Pandangan akhirnya terangkat. “Ada penusukan di pasar, No.”
Lelaki itu tersentak sampai membelalakkan kedua matanya.
“Korbannya tepat di sebalah Bapak. Kalau gue gak narik Bapak, mungkin pelakunya udah usuk Bapak.”
“Tau dari mana lo?”
Phiko mengangkat bahunya. “Tapi, gue sempet tatap-tatapan sama pelakunya. Matanya ... gak asing bagi gue.”
Vino mendudukkan tubuhnya di jok belakang. “Maksud lo, ada yang berniat jahat ke Bapak?”
“Ke keluarga kita, No. Gue rasa, ini ada kaitannya sama kecelakaan lo, orang yang ngerampok Finna. Dan hari ini, Bapak hampir terluka. Gue rasa, kecelakaan lo itu bukan murni kecelakaan, tapi kesengajaan. Lo sadar gak?”
Vino terdiam. Mulai dari sopir—yang mengaku bos—menghilang tak melanjutkan tanggung jawabnya saja sudah membuat Vino merasa aneh. Mana saat tempat kerjanya didatangi, orang-orang di sana mengaku jika bos mereka sudah tidak pulang lagi selama setengah tahun.
“Terus, kalau lo gak asing ....” Vino membuka suara. “Siapa yang lo curigai?”
Phiko melihat langit-langit siang hari yang mendung, hampir meneteskan air hujannya. Ada dua nama yang melintas di kepalanya. Jika dibandingkan, mata yang ia lihat barusan cocok untuk kedua nama tersebut. Jelas bukan si penguasa pasar. Pria itu memiliki mata besar, bagian skleranya berwarna kekuningan, sedangkan yang ia lihat putih pekat. Belum lagi kelopak matanya sedikit sipit tapi tajam.
Phiko menghirup napas dalam-dalam. Menyedekapkan kedua tangannya. “Pak Goyara.”
“Lah, ngapain Pak Goyara? Bapak pasti gak kenal sama dia. Kita juga gak punya salah apa-apa. Kurang kerjaan banget,” elak Vino.
Phiko menurunkan pandangan, menatap kakaknya dengan saksama. Ia juga mendekatkan wajahnya. “Mahen.”