Vino menghabiskan waktu perawatan di rumah sakit hingga dua minggu lamanya. Dan kini, terhitung sudah satu bulan Vino mencoba beradaptasi dengan tubuh barunya. Phantom pain sudah menjadi makanan sehari-harinya. Selama satu bulan itu, Vino tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah. Vino hanya bisa terbaring, duduk, makan, buang air, dan melamun di teras rumah. Itu pun semua aktivitasnya dibantu oleh keluarganya. Mereka tidak pernah lagi melihat senyum Vino, ia juga jarang bersuara jika tak diperlukan. Bukannya mendekat, triplets justru semakin merenggang, kali ini Vino yang menjauhkan diri. Vino sering membelakangi Phiko ketika tidur. Sering pula Phiko mendengar tangisan lirih pada malam hari yang pastinya berasal dari Vino.
Perlu diingat jika mereka ini kelas dua belas yang dua bulan lagi akan memasuki semester dua. Itu artinya, sangat disayangkan jika Vino harus putus sekolah dan tidak mendapat ijazah. Dengan persetujuan pihak guru, Phiko menggantikan Vino di kelas IPA. Namun, Phiko juga sanggup mengejar nilai-nilainya di kelas IPS, diwakilkan oleh Finna yang berkenan mencatat semua materi dan tugas untuk disampaikan kepada Phiko. Tidak ada yang rumit menurut si kembar. Tapi, guru baru mempersulit kebaikan mereka. Pak Goyara selalu saja mengadakan ulangan dadakan di tiap minggunya, terpaksa Phiko harus meminta izin meninggalkan kelas IPA demi mengikuti ulangan tersebut.
Phiko melempar gumpalan kertas ulangannya sembarang arah, setelah melihat hasil yang diperolehnya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai Phiko anjlok sekali. Kali ini betulan anjlok, nilainya 47. Entah dari mana pria itu menyalahkan jawaban Phiko, padahal Phiko yakin ia menjawabnya dengan teliti.
Finna mengembuskan napas panjang. Gadis itu beranjak dari kursi, mengambil kertas Phiko, membuangnya ke tempat sampah. “Makan dulu. Ini mi ayam kesukaan aku sama Vino.” Finna mendorong mangkuk yang sedari tadi menjadi teronggok begitu saja di atas meja kantin.
Phiko menatap mangkuk tersebut. Terlihat enak, tapi ia tak punya selera. Akhir-akhir ini, Phiko jadi sering menginjakkan kaki di kantin. Di rumah dirinya tak sempat sarapan atau membuat bekal. Ia bertugas mengurus Vino. Memandikannya, membuatkan makan, sampai memberesi rumah. Karena kondisi Vino yang memerlukan biaya pengobatan, Bapak jadi harus buka lebih pagi, tidak ada waktu mempersiapkan segalanya. Finna juga begitu, ia lebih gencar mencari konsumen untuk menggunakan jasanya. Diam-diam Phiko bekerja menggantikan Vino di pasar. Mengangkut barang dan menjual daging bersama Armor. Hanya saja dirinya tidak ikut menjadi ojek online. Selain tidak ada motor, Phiko juga tidak bisa mengendarainya.
Pandangan Phiko tertarik saat ujung matanya menangkap seorang lelaki berjalan melintasi kantin, menuju gerbang sekolah.
“Armor!” Phiko melambaikan tangannya, memanggil Armor supaya menghampiri mereka. Semenjak Phiko menggantikan Vino di kelas IPA, dirinya jadi lebih dekat dengan Armor. Lagipula Armor ini kawan lamanya juga, tak sulit bagi mereka berbincang secara intens.
“Mana motor kita? Udah jadi belum?”
“Sabar, aelah, Phi. Baru juga sebulan. Tapi, tinggal dipoles sih. Kalau si Bekjoel udah mantep body-nya.” Armor mengeluarkan ponsel, menunjukkan hasil kerjanya kepada Phiko dan Finna. Lelaki itu akhirnya bergabung dengan si kembar, memesan satu mangkuk mi ayam.
Berbeda dengan Vino yang pulang sekolah langsung menjadi ojek online, Armor memilih menjadi montir bengkel di tempat kerja ayahnya. Sehingga Phiko bisa menyimpulkan, selama ini yang menghasut Vino bekerja adalah Armor.
Sejauh ini, Armor tidak menunjukkan tanda-tanda akan meninggalkan Vino sebagai sahabat. Bahkan Armor berbaik hati ingin memperbaiki Si Bekjoel secara gratis. Namun, sesuai dugaan Vino, kelima temannya yang lain resmi menjauh.
Phiko mengambil dompetnya dari dalam tas. Melihat isinya secara sekilas, lalu mengambil beberapa uang merah yang ia peroleh selama sebulan dari hasil bekerja.
“Udah lah, Phi. Itu uang lo, pake baik-baik buat lo, kakak-kakak lo, sama bapak lo.”
“Sespan butuh biaya banyak, Mor. Gue liat di internet bisa nyampe empat puluh lima juta. Mana bisa gue nerima gratisan.” Phiko makin menyodorkan uang merah di tangannya.
“Vino sahabat gue dari SMP, Phi, lo juga. Udah, gak perlu dibayar. Lagian sespannya juga bekas, cuman dipoles dikit, terus digabungin sama si Bekjoel.”
“Kalau gitu doang, kenapa sampai lama!” Phiko meninggikan nada bicaranya dan menggebrak meja dengan kuat. Finna sampai tersedak. Beberapa orang yang sedang ada di kantin juga menoleh ke arah Phiko.
“Sa-sabar, Phi, pengerjaannya gak cuman masangin rangka aja. Ada pengecetan, getok magic, ngelas.” Armor terkejut, pertama kali mendengar Phiko meninggikan suara di depannya.
“Phi,” tegur Finna.
Phiko mengembuskan napas gusar. Mengusap wajah dengan kasar. Ia baru sadar jika dirinya berlebihan. Phiko hanya ... tidak kuat melihat Vino nelangsa lama-lama. Phiko hanya meminta Armor membetulkan Si Bekjoel dan menambahkan sespan, sebuah bangku tambahan yang biasanya ada di samping motor. Phiko menyanggupi berapa pun bayarannya, walau Armor terus saja menolak.
“Minggu depan, minggu depan gue janji motornya bakal beres, Phi.”
Phiko hanya mengangguk samar. Tanpa berkata-kata dirinya beranjak dari kursi kantin, pergi meninggalkan Finna dan Armor yang masih terpaku di sana.
Dari ujung jalan gang menuju rumah, Phiko sudah bisa melihat kakak sulungnya di pekarangan. Mereka tidak memiliki halaman luas, tak ada pula tanaman rindang menghias, jadinya meski jarak masih jauh orang-orang sudah melihat apa yang ada di pelataran rumah sederhana itu.
Vino terlihat ... mengkhawatirkan. Tubuhnya tak segagah dahulu. Tatapannya kosong, selalu begitu. Hanya berbalut sarung dan kaos oblong berwarna hitam. Ia terduduk di kursi rodanya.
Tangan kanan Vino masih belum bisa diluruskan, sementara yang kiri tampak menggenggam ponsel dengan layar menyala—memanggil seseorang. Vino tidak bereaksi apa pun saat Phiko bersimpuh di depannya. Ada atau tidak ada orang di rumah, semua akan tampak sama saja. Vino tetap tak berdaya, tak bersemangat, tak memiliki gairah hidup. Kalau mau tahu, beberapa hari silam Vino nyaris menelan semua stok obat yang ada di rumah, jika bukan Phiko yang terbangun di tengah malam.
Phiko mengambil ponsel Vino, mematikan panggilan yang tak terjawab itu. Lebih tepatnya, tak pernah dijawab dalam kurun waktu seminggu terakhir. Pengemudi truk yang menabrak Vino berjanji akan membiayai pengobatan Vino sampai tuntas, bahkan membelikan kaki palsu dan menyekolahkan Vino hingga kuliah. Namun, seminggu ini, sopir yang saat itu mengaku sebagai bos tak pernah bisa dihubungi. Seratus juta terakhir tidaklah cukup. Sudah habis oleh biaya rumah sakit dan pengobatan awal. Maka dari itu Bapak dan adik-adiknya rela lebih giat bekerja untuk membeli obat Vino sekaligus mengumpulkan uang untuk membeli kaki palsu.
Seharusnya, Vino juga menjalani terapi agar pembekuan darah di otaknya dapat pulih, sehingga tangan kanannya bisa digunakan kembali.
“No, gue beliin lo mi ayam kantin. Finna bilang, lo suka mi ayam ini, tapi lo jarang beli.” Phiko mengangkat kantong plastik berisi mi ayam yang dibelinya. Tangan Phiko juga bergerak merapikan helai rambut Vino yang mulai panjang dan menutupi wajah sayunya. “Kalau nafsu makan lo ningkat, gue bisa beliin lo mi ayam setiap hari.”
Vino tidak mengindahkan. Setiap Phiko berusaha mengunci pandangan, Vino selalu menghindar.
“Eh, No, minggu depan gue punya kejutan buat lo.”
Barulah Vino tertarik, air mukanya berubah drastis menjadi sedikit lebih bersemangat. “Apaan, Phi? Kaki palsu? Atau biaya terapi? Yang pasti, kejutanya bikin gue bisa kerja lagi, kan, Phi?”
Phiko mengulum bibirnya. Kakaknya sangat berambisi untuk bisa beraktivitas lagi, lebih tepatnya bekerja lagi.
“Gue bakal kasih tau jawabannya setelah lo abisin mi ayam ini.”
Wajah Vino berubah tak selera lagi. Ia menundukkan kepalanya. Gawat, sepertinya Phiko salah taktik bicara.
“Gue ... capek kayak gini terus, Phi. Gue gak mau lihat lo kerja. Lo harusnya les biar bisa kuliah.” Vino merebut kembali ponselnya yang masih di tangan Phiko. Mencoba menghubungi nomor pelaku penabrakan yang sudah menghilang seminggu ini. “Gue harus cari orang ini supaya tanggung jawab lagi, sembuhin gue, bikin gue bisa jalan lagi karena ini tingkah dia.”
Lelaki itu mencengkeram ponsel kuat-kuat. Kalau kondisi tubuhnya sedang fit, bisa jadi ponsel tersebut sudah hancur. Vino nyaris melempar ponselnya karena nomor yang dituju tidak bisa dihubungi. Phiko memeluk Vino erat-erat, bersandar di pundaknya. Phiko merasakan punggungnya mulai basah, Vino sedang menangis tanpa suara.
Akhirnya hari yang ditunggu pun tiba. Bertepatan pada hari Minggu, pagi-pagi setelah selesai sarapan, Armor menelepon Phiko. Armor memberitahu kalau motornya sudah selesai, lelaki itu juga mengirim hasil akhirnya melalui foto, barangkali ada yang ingin diubah lagi.
“Rumah lo masih yang dulu, kan? Ini gue lagi di jalan,” tanya Armor dari seberang telepon.
“Mor, nanti dianterin ke rumah gue, kan? Tutupin pake kain atau terpal, Mor, biar kejutan.”
“Waduh, harus gue dorong dong?”
“Gak apa-apa lah, olahraga. Lagian dari gapura ke rumah gue juga gak begitu jauh.”
Armor terdengar menggerutu, tapi Phiko tidak merisaukan. Phiko tetap menuntut Armor menutupinya dengan kain saat sampai di rumah ini.
“Kejutan apa?”
Phiko terkejut. Vino mendadak ada di selasar rumah, di belakangnya. Panggilan langsung ditutup sepihak. Phiko melonggokkan kepala ke dalam, di sana terlihat Finna yang sedang membantu Bapak memberesi meja makan. Itu artinya, Vino bisa sampai ke sini dengan usaha sendiri, hanya menggunakan tangan kirinya.
“Lo hebat, No! Lo bisa sampai di sini sendirian? Keren!”
Vino terlihat senyum malu-malu. Meskipun dirinya kehilangan harapan hidup, tapi tidak menjadikan itu sebagai alasan untuk tak beradaptasi. Selama ini Vino berlatih bagaimana cara mengendalikan roda hanya dengan satu tangan, ia lakukan secara diam-diam.
“Armor mau ke sini? Ngapain dia?” Vino celingukan mencari Armor. “Nganterin apa? Kenapa harus ditutupin?”
Phiko menarik kursi rotan di belakangnya agar dapat sejajar dengan Vino. “Nanti, kalau kejutannya udah dateng, lo janji harus happy lagi, ya?”
Vino tidak menanggapi, ia mengembuskan napas panjang dan menyandarkan keningnya di bahu Phiko. “Kaki palsu, Phi, kaki palsu,” harapnya.
Tiba-tiba sebuah kotak yang cukup besar disodorkan dari atas, mendarat ke pangkuan Vino. Kedua lelaki itu mendongak. Finna tersenyum sambil memiringkan kepala. Gadis itu lantas bersimpuh di depan Vino.
“Kejutan pertama! Buka, buka,” suruhnya.
Vino masih belum mencerna tindakan yang dilakukan adiknya, tetapi Finna sudah menarik-narik rangannya, memaksa supaya Vino membuka bungkusan polos berwarna putih itu. Sama seperti Vino, Phiko juga tampak kebingungan. Phiko melongo melihat Finna, kejutan pertama tidak ada dalam rencana mereka. Finna juga tidak bilang ia membeli sesuatu untuk Vino.
“Fin?” Vino mulai menebak isi hadiah dari Finna.
“Fin? Ini ... serius?”
Mata Vino berbinar. Sepasang kaki palsu yang diinginkan, kini berada dalam tangannya. Vino menatap Finna tidak percaya, bahkan mengguncang-guncang tubuh mungil itu untuk mendapat penjelasan.
Finna hanya terkekeh kegelian. Tak lama ia kembali mengulurkan tangan, kali ini disodorkan ke arah Phiko. Sebuah buku berjudul “Orange Girl” karya Jostein Gaarder.
“Buat ... gue?”
Finna mengangguk-angguk. “Maaf, aku gak bisa kasih yang lebih. Itu juga buku bekas.”
Sudut bibir Phiko mulai tertarik ke atas. “Gak apa-apa. Gue lebih suka buku bekas ketimbang baru.” Phiko memeluk buku itu erat-erat. Meski buku Dunia Shopie pemberian Bapak belum sempat dibaca, mendapatkan buku baru membuatnya senang bukan kepalang.
Finna mengusap pipi kakak dan adiknya. “Happy birthday, ya, Brother.”
Vino dan Phiko kompak tersentak. Rasa senang karena mendapatkan hadiah dari Finna secara mendadak, berubah menjadi keresahan. Kedua lelaki itu saling pandang.
“Ini ... hari ulang tahun kita?” tanya keduanya dengan kompak.
Wajah ceria Finna memudar. Gadis itu bangkit berdiri, mengentakkan kakinya kasar. “Kurang ajar! Bapak, Bapak! Lihat, lihat, mereka gak inget sama ulang tahun kita Bapak!” Ia berlalu masuk ke dalam rumah untuk mengadukannya kepada Bapak. Finna terdengar merengek, meminta Bapak memarahi saudara kembarnya.
Saat Bapak datang menyusul, Bapak hanya tertawa. Bapak meminta Finna untuk mewajarkannya. Tiga tahun mereka lalui tanpa perayaan hari jadi, jelas mereka akan lupa. Hari ulang tahun akan terasa seperti hari biasa. Terlebih Phiko yang dahulu tidak peduli dengan kedua kakaknya dan mencoba melupakan kenangan manisnya. Akibatnya, Finna duduk sedikit jauh dari saudara kembarnya, bersedekap dada sambil merengut. Sementara Vino dan Phiko terlarut dalam hadiah pemberian Finna. Vino mencoba kaki palsu itu dan Phiko membaca isi buku beberapa lembar pertama.
“Cocok gak?”
Pandangan Phiko tertarik. Ia mengangguk antusias. “Cocok.”
Vino tersenyum semringah. Untuk satu bulan lamanya, Vino akhirnya bisa kembali tersenyum. Baiklah, Finna mulai mengikhlaskan takdir jika kedua saudaranya melupakan hari ulang tahun mereka, asalkan mereka dapat bahagia seperti ini. Kemarin Finna baru menerima rezeki lebih. Finna mendapat klien yang ramahnya luar biasa, seorang konglomerat yang menginap di hotel tempat langganan Finna menjajakan jasanya. Konglomerat itu terkesima dengan hasil riasan seorang anak SMA, apalagi selama merias Finna tidak sengaja menceritakan tentang saudara kembarnya, membuat konglomerat itu membayar berkali-kali lipat dari harga biasa.
Mata Finna beranjak dari fokusnya menatap saudara kembar. Finna melirik jalan gang yang cukup sepi untuk hari Minggu. Mungkin orang-orang kampung sudah mulai mengenal namanya liburan di kota. Sesaat matanya menangkap seorang lelaki tengah mendorong sesuatu berukuran besar. Itu pasti Armor. Finna menendang kaki Phiko, memberi kode. Finna menunjuk arah kedatangan Armor menggunakan dagunya.
Beruntung Phiko peka. Lelaki itu mengambil kaki palsu dari pelukan Vino, menyimpan di atas meja, lalu mendorong kursi roda agar lebih dekat dengan jalan.
“Ada apa? Ada kejutan kedua?” tebak Vino.
Finna tertawa-tawa kegirangan. Ia juga sangat bersemangat menantikan reaksi Vino melihat motor barunya.
“Kurang ajar lo pada.” Armor datang dengan napas terengah-engah. Lelaki yang mengenakan baju skena kekinian melewati si kembar tiga, menjatuhkan tubuhnya di kursi rotan dengan wajah kelelahan. “Air ... air ... air.”
Triplets tak mengindahkan lirihan Armor yang begitu menyayat hati. Nanti juga Bapak dengar, mungkin Bapak yang akan memberinya minum. Mereka harus memperlihatkan benda di balik kain putih itu.
“Siap?” tanya Phiko.
Vino mengangguk-angguk antusias. Sebetulnya ia sudah bisa menebak. Tiga tahun bersama motor kesayangan, Vino sudah merasa kalau motornya ini memiliki nyawa, kini nyawa tersebut terasa berada di dekatnya.
Finna memeluk tengkuk leher Vino. Wajahnya tak kalah bahagia, meski menerima kenyataan tidak mendapat hadiah dari kedua saudaranya.
“Satu, dua, tiga!” Si kembar menghitung berbarengan, saat itu pula Phiko menarik kain putih hingga menampilkan sebuah motor yang bersih dan mengkilap.
Phiko dan Finna bertepuk tangan. Sedangkan Vino, wajahnya justru berubah sendu. Phiko menyadari perubahan suasana hati kakaknya yang terlalu mendadak ini. Phiko memerhatikan motor, rasanya tidak ada yang salah, hanya penambahan sespan, seharusnya bisa diterima dengan baik karena mulai hari ini mereka bisa bepergian bertiga.
“Gu–gue cuman nambah sespan, No. Selebihnya dipoles dikit-dikit karena waktu itu hancur banget. Lo, lo gak suka ya?”
Vino tidak menjawab. Ia memajukan kursi roda. Tangannya terulur menyentuh tubuh depan motor bebek itu.
“Ini Si Bekjoel, kan?”
“Iya, itu Si Bekjoel,” jawab Finna. “Ganteng, kan? Si Bekjoel sehat lagi sekarang.”
Vino menghela napas dalam-dalam. Tangannya masih belum terangkat dari tubuh Si Bekjoel.
“Gue seneng. Tapi ....”
Phiko dan Finna sungguh menunggu kelanjutan ucapan kakak mereka. Namun, Vino malah menangis. Ia memundurkan kursi roda.
“Si Bekjoel itu merah! Kenapa kalian ubah jadi oren? Gak terima gue. Kenapa kalian gak nanya ke gue?”
Phiko sangat tidak tahu! Dia juga tidak terlalu memerhatikan warna motor Vino sebelumnya, atau sudah lupa. Armor memang bertanya kepada Phiko sebelumnya saat memasuki tahap pengecatan. Namun, dikarenakan bodi yang terlalu ringsek, menyulitkan mereka mengetahui warna sebelumnya. Terpaksalah Phiko asal memutuskan.
Vino masih merengek tak terima, seperti anak kecil yang salah dibelikan mainan.
“Udah, udah, jangan nangis. Kayak bocil! Mending kita jalan-jalan aja. Gue traktir!” tawar Phiko.
Suasana hati Vino dapat berubah secepat kilat. Ia mengangguk, tersenyum, lalu menyuruh kedua adiknya untuk mengambil jaket dan helm. Untuk kali pertama, Vino duduk di sespan. Phiko yang menyetir dan Finna di belakangnya. Roda tiga memudahkan Phiko untuk belajar. Selama perjalanan, Vino menjadi instruktur Phiko, memberitahu kapan Phiko harus menaik turunkan gigi motor.
Phiko rasa, Vino sudah menumbuhkan rasa cintanya terhadap diri sendiri lagi seperti dulu. Hanya dengan diberi apa yang dia inginkan, dikembalikan apa yang dia miliki. Kaki palsu dan Si Bekjoel mengubah Vino yang pemurung jadi bersemangat, persis seperti Vino sebelumnya yang mereka kenal. Namun, mengapa bagi Phiko sulit sekali menemukan jati diri?