Loading...
Logo TinLit
Read Story - Segitiga Sama Kaki
MENU
About Us  

“Aku pulang!”

“Stt! Jangan berisik,” peringat Vino, sesaat setelah adiknya masuk ke ruang rawatnya dengan suara yang sangat menggelegar. Vino melirik adiknya yang terbaring di kasur. “Dia baru tidur jam satu siang.” 

“Hah? Maksudnya, dari semalem Phiko gak tidur?” 

Vino mengangguk membenarkan. Vino semalaman sesekali terbangun karena kedua kakinya merasakan panthom pain yang sangat menyiksa. Dan setiap kali Vino bangun, ia mendapatkan Phiko selalu berada di sampingnya. Apalagi kalau bukan tidak tidur? Anak itu sudah jago menahan kantuk, biasanya demi belajar. Phiko bertanya apa keluhan 

“Kantung mata dia item banget, kayak setan.” 

“Ngaca!” Finna membelalakkan kedua matanya.

Finna adalah saksi bahwa Vino juga jarang sekali tidur. Adik dan kakaknya ini memang aneh. Padahal, selarut-larutnya Finna pulang ke rumah, ia masih bisa tidur minimal lima jam. Kalau kurang pun Finna akan menyempatkan diri tidur di kelas jikalau jam istirahat atau sedang tidak ada guru. Belum lagi Finna juga sering memakai skincare, jadinya kantung mata Finna tidak berubah hitam.
“Udah makan?” Finna menyimpan dua tas sembarangan di lantai. Lalu menghampiri Vino, mencium keningnya penuh kasih sayang. Phiko tidak tahu, bahwa kedua kakaknya ini masih mempertahankan aktivitas cintanya—saling mencium dengan batas wajar—hingga usia remaja. 

“Terakhir tadi pagi. Disuapin Phiko. Belum ada perawat yang dateng nganterin makan lagi.” Pandangan Vino tertarik dengan tas yang barusan dibawa Finna. “Kapan ambil tas Phiko?” 

“Barusan, pulang sekolah. Aku nyempetin diri ke apartemen Ibu, jenguk sekalian bawa barang-barang Phiko. Ibu punya bayi, No! Dan Ibu gak kasih tau ke kita. Padahal aku suka bayi, harusnya Ibu tau.” 

“Phiko udah ngasih tau aku. Bahkan dia kemarin tidur di gudang karena di sana gak ada kamar lagi.”

Finna mengangguk paham. Ia juga tahu karena saat dirinya meminta barang Phiko tadi, Ibu menyuruh Finna untuk mengambilnya sendiri. Finna perlahan duduk di tepi kasur Phiko, berhati-hati sekali, takut adiknya akan terbangun. Finna mengusap surai hitam Phiko yang menutupi wajahnya. Lelaki itu meringkuk, wajahnya tertutup oleh bantal yang dijadikan guling. 

“Jangan pikirin Ibu lagi, Fin. Tugas kita fokus bahagiain Bapak sama Phiko aja. Ibu udah bahagia sama pilihannya.” 

Finna mendekatkan wajahnya dengan wajah Phiko. Untuk pertama kali setelah tiga tahun menjaga jarak, Finna akhirnya bisa kembali mencium kening Phiko selayaknya seorang kakak yang menyayangi adiknya.

Awal mula Finna dan Vino bekerja sama menyembunyikan pekerjaan mereka di depan Phiko, ialah ketika melihat Phiko pertama kali menjadi pemurung. Mereka mengenal Phiko sebagai anak yang ceria meskipun cukup pendiam, tidak banyak bicara. Namun, hari di mana triplets ikut hadir di pernikahan Ibu, Phiko tak lagi mau bicara. Phiko lebih banyak mengurung diri di kamarnya, dan berusaha menjadi yang terbaik di setiap mata pelajaran. Oleh karena itu, Finna dan Vino sepakat untuk tidak mengajak Phiko bekerja seperti mereka. Bapak tahu karena Finna dan Vino tak mungkin merahasiakan perkara ini di depan orang tua sendiri. 

By the way, sirkel kamu bakal jenguk sore nanti, No.” 

Vino langsung mengumpat dalam hatinya. Ia mengusap wajah dengan kasar. Sejujurnya, Vino belum siap melihat reaksi kawan-kawan dekatnya yang berjumlah enam orang itu terhadap kondisinya. Tak berkaki, tangan kanan seperti orang stroke. Sementara keenam kawannya adalah manusia yang nyaris sempurna. Tampan rupawan, tajir menawan, dan kepercayaan diri setingkat dewa. Vino masih belum bisa berdamai dengan keadaannya. 

 

Phiko menggeliat dari kasur yang ditidurinya. Bising sekitar kamar mengusik tidur lelapnya. Sebenarnya, Phiko tidak tertidur nyenyak. Ia masih bisa mendengar percakapan kedua kakaknya meski sayup-sayup. Namun, ketika sekelompok manusia yang Phiko lihat di pasar kemarin sore datang, tidurnya tak bisa lagi dilanjutkan. Perutnya juga lapar. Phiko memutuskan tersadar. Phiko melihat ke sekitar, banyak sekali pemuda yang memakai seragam putih abu. Mereka bergelak tawa, sebagian terdengar mengunyah sesuatu. Phiko tak habis pikir, mengapa anak-anak itu bisa terlihat santai? Padahal mereka berada di akhir tingkatan sekolah. Phiko ini sedang belajar merelakan ambisi yang terlalu menggebu. 

“Phi? Udah bangun?” 

Panggilan itu menyadarkan lamunan Phiko, juga menarik perhatian pemuda di ruangan itu. Seketika semua lelaki menghening, menolehkan wajahnya ke arah Phiko dan Finna yang datang menghampiri. 

“Mau makan? Aku beliin kamu nasi padang.” Finna mengulurkan plastik hitam berisi bungkusan makanan. 

Phiko mengangguk berterima kasih. “Gue makan di kantin aja.”

“Di sini aja. Kita udah makan kok, gak akan nyolong,” celetuk Armor. 

Phiko jadi tidak enak, bingung juga memutuskan harus apa. Semua mata memandangnya sekarang. Phiko hanya bisa mengangguk samar dan beranjak duduk di atas matras. 
Phiko mulai melahap nasi padang dengan lauk rendang dan perkedel kentang. Ditemani Finna. Gadis itu sudah makan sejak lama. Finna juga sempat memberitahu jika barang milik Phiko sudah dibawa dari apartemen Ibu. Tiba-tiba Finna mengangkat tangan, membersihkan sudut bibir Phiko. 

“Jangan anggap gue anak kecil, Fin. Kita seumuran.” 

Finna malah terkekeh geli. “Nggak ada yang liat.” 
Phiko tidak mengindahkannya, lanjut melahap nasi padang hingga butir terakhir. Tepat saat itu juga, Armor ikut duduk bergabung. 

“Denger-denger, lo udah deket lagi sama kakak lo.” 

Phiko tidak menggeleng, tidak juga mengangguk. Ia tak bisa menentukan apakah seperti ini merupakan usaha untuk menjadi dekat dengan kedua kakaknya, atau justru sebaliknya. 

“Artinya, gue juga bisa deket lagi sama lo?” tanya cowok berambut ikal itu. 

“Yang nyuruh ngejauh siapa?” sindir Phiko, membuat Armor bergidik.

“Gu–gue lebih deket sama Vino karena kita sekelas, Phi. Tapi, lo tetep sahabat gue, kok.” Armor merangkulkan tangannya di atas bahu Phiko. 

“Sejak SMA, gue gak punya temen, Mor.” Phiko menyingkirkan rangkulan Armor. “Lo mau deketin gue dan ngejauh dari Vino karena dia cacat?” 

Pertanyaan itu jelas didengar oleh Vino dan keenam temannya yang lain, sebab mereka tiba-tiba menghening. Entahlah, Phiko memiliki perasaan tidak enak kepada Armor atau kelima lelaki asing ini. Dari wajahnya saja sudah menunjukkan kalau mereka menjenguk hanya untuk formalitas belaka. Tidak ada buah tangan. Bahkan candaan pun terdengar dipaksakan. Phiko yakin, Vino terlalu baik untuk mereka. Justru yang membuat Phiko sampai berpikiran burik tentang Vino, ialah karena Phiko tahu bahwa Vino bergaul dengan kelompok ini. 

“Kita pamit dulu ya, No. Cepet sembuh. Kita semua kangen ada lo di sekolah.” Armor dan kelima temannya berpamitan setelah menghabiskan lima belas menit waktu besuk. 

Vino berdecak kasar. “Lebay, baru juga sehari.”

Mereka tertawa kecil, sampai akhirnya benar-benar hilang dari pandangan. Pintu kamar kembali menutup rapat. Tidak ada lagi manusia selain kedua kakaknya di ruangan ini. Akhirnya Phiko bisa merebahkan tubuh di atas kasur tadi. Kalau dipikir-pikir, ini momen pertama setelah sekian lama ketiga anak kembar itu berkumpul kembali. Pasti akan terasa canggung. Phiko mengulurkan tangan, meraba tas untuk mencari laptop miliknya. Setelah ketemu, Phiko meletakkan laptop tersebut di kasur, tepat di atas kepalanya. Phiko lantas membalikkan tubuh sampai tengkurap. Sebuah tindakan yang tidak boleh ditiru! 

Phiko belum belajar. Sedari kemarin, Phiko belum belajar. Ini demi belajar. Lagipula, tidak ada lagi meja di ruang rawat ini, selain meja untuk pasien makan yang terhubung dengan brangkar, juga meja nakas. Saat Phiko baru saja menyalakan laptop, Finna tiba-tiba ikut tengkurap di sebelahnya. 

“Ada Netflix gak? Coba sini cari, N E T F L I X.” Finna mengejanya sembari menekan huruf. Sebuah web aplikasi untuk menonton film pun muncul di layar laptop Phiko untuk pertama kali. Setelah bertahun-tahun Phiko miliki hanya untuk belajar, sore ini, layar itu menawarkan tayangan video drama. Laptop tersebut bekas, tapi cukup jika hanya mengakses laman belajar. Phiko membelinya menggunakan uang hasil tabungan.

“Weak Hero katanya rame. Kita harus nonton dari season satu, Phi.” 

“Gue mau belajar, Fin.”

Finna mengibaskan tangan. “Nanti aja belajarnya. Besok juga jamkos. Kamu harus nonton drakor ini. Tokoh utamanya mirip kamu, culun tapi ambisius ngejar nikai sempurna. Seru pokoknya.” 

Phiko menatap wajah samping kakak perempuannya. Cantik. Phiko tak mengira Finna memiliki paras yang nyaris dikatakan sempurna. Dan ... ia pernah membuat paras cantik itu diciumi seorang lelaki tak berperi kemanusiaan seperti Mahen tempo lalu. Phiko tak bisa memaafkan tindakannya. 

“Seru? Lo ... udah pernah nonton?” 

“Pernah. Di laptopnya Gina. Tapi baru episode satu.”

Bagaimana pun Phiko harus berusaha mendekatkan diri kepada kakaknya. Selama ini Finna dan Vino memberikan rasa kepedulian yang dicampakkan Phiko.

Suara khas opening Netflix mulai terdengar. Phiko belum bisa menikmati tontonannya. Lebih tepatnya, pikiran Phiko masih kalut dengan masa lalu. Phiko selalu menghukum dirinya sendiri—dengan mengerjakan seratus soal latihan—jika semalam saja tidak belajar. Apakah sekarang ... ia sudah boleh menikmati dunia? Tidak apa-apa? Apakah masa depannya masih terjamin? Apa Phiko berhak mendapatkan hiburan ini? 

Finna mulai sadar ditatap adiknya. Alis Finna saling bertautan. “Itu yang ditonton, bukan aku!” 

Phiko tertawa kecil. Jemari kanannya bergerak tanpa dipinta, menyentuh pipi tirus Finna. Alis Finna makin bertautan, ia menjeda tayangan video, bangkit terduduk sambil memegangi pipinya. 

“No, adik kamu aneh!” pekik Finna. “Dia ngira aku setan gitu?”

Phiko kira tindakannya tadi akan membuat Finna salting, padahal Phiko bermaksud menyampaikan kekagumannya terhadap kecantikan Finna. Vino tak menjawab penuturan Finna. Harusnya—bahkan sedari tadi—Vino sudah banyak bicara, apalagi Vino tidak diajak oleh kedua adiknya menonton drama Korea. Vino diam saja, menatap kosong ke depannya. 

“No? Jangan ngelamun. Nanti kesambet,” tegur Finna. Gadis itu melambaikan tangan di depan wajah Vino, tapi tak ada respons. 

“Lo bener, Phi.” Tiba-tiba air mata sudah menggenang di kelopak Vino. Perlahan lelaki itu menatap Phiko dengan pandangan nanar. “Temen-temen gue kayaknya bakal ngejauh karena gue cacat.” 

Phiko dan Finna kompak mempertipis jarak dengan Vino. Kedua adik kakak itu memeluk Vino sangat erat, berharap bisa memberikan sedikitnya energi untuk Vino yang sedang patah semangat. Air mata mulai membanjiri pipi Vino. Selayaknya anak kembar di dunia, rasa sedih Vino juga bisa dirasakan oleh Finna, kali ini Phiko juga turut merasakannya. 

“Kenapa gue harus cacat, Phi? Kenapa gue cacat, Fin? Gue harus kerja, gue harus cari duit buat kalian, buat bantu Bapak, buat kuliahin Phiko, buat jadiin Finna artis. Tapi, kenapa gue malah cacat? Kenapa?”

Sangat menyakitkan melihat lelaki tangguh akhirnya menangis juga. Phiko tidak bisa berkutik, sementara Finna terus mencoba menenangkan. Vino mulai berontak, tidak ingin dipeluk. Ia menyakiti dirinya sendiri dengan cara memukul kepala yang masih terbalut perban, menarik selang infus, mencoba melepas kabel pendeteksi yang menempel di dadanya. 

“Lepas, Fin, Phi! Harusnya gue mati aja daripada jadi beban kalian!” 

“No, jangan ngomong begitu. Kita ada di sini. Walaupun dunia gak memihak kamu, kita tetep di sini.” 

Phiko tidak pandai dalam berkata-kata. Ia irit bicara. Jadinya Phiko tak bisa menenangkan seperti yang Finna lakukan. Napas Vino mulai terengah kencang. Tangisannya membeludak tercampur amarah. Ia tak bisa mencerna apa yang sudah dunia lakukan kepadanya, apa yang sudah Tuhan takdirkan untuknya. Namun, apa pun itu, Vino merasa dirinya tak pantas lagi bersanding dengan keluarganya. 

Bapak datang dengan plastik hitam di tangan. Melihat dua anaknya sedang memeluk putra sulungnya yang tak mau diam. Sontak Bapak menyimpan plastik tadi, menarik pelan bahu Phiko dan Finna supaya menyerahkan tugas ini kepadanya. Bapak memeluk Vino. Mengusap kepala Vino, mencium keningnya, membacakan doa-doa dan syair yang menenangkan. Bapak penyuka syair, pandai bernyanyi juga. Sehingga Vino yang sedang kalut dalam emosi, mulai tenang. Tersisa isakan yang menyayat hati keluar dari mulutnya. 

“Vino nggak mau sekolah, Pak,” lirih Vino. “Vino malu. Tadi temen-temen Vino dateng ngejenguk, mereka ada yang ngetawain karena Vino buntung.” 

Bapak mengembuskan napas gusar. Masih dengan memeluk putra sulungnya, Bapak tak menanggapi ucapan Vino. 

“Vino gak mau sekolah,” ulang lelaki itu. 

Finna dan Phiko saling melempar pandang. Finna menunjuk pintu menggunakan dagunya, mengajak Phiko keluar. Phiko menurut. Keduanya kini duduk di kursi tunggu yang ada di koridor. Awalnya mereka hanya menatap kosong ke depan, sampai akhirnya Finna menepuk paha Phiko. 

“Dulu aku kerja sama bareng Vino supaya kamu bisa dapet duit buat kuliah tanpa tau kerjaan kita.” 
Pandangan Phiko tertarik menatap kakaknya.

“Sekarang, tolong bantu aku, Phi. Tolong bantu cari cara supaya Vino bisa berdamai dengan dirinya.”

Phiko menyandarkan kepala pada tembok di belakangnya, mengembuskan napas panjang. Berdamai dengan diri sendiri saja masih belum mampu, sekarang harus memikirkan cara untuk orang lain. Bagaimana bisa? 

Sesaat setelah hening berkepanjangan, tenggelam dalam pikiran masing-masing, mata Phiko mengerling.

“Aku punya ide!” 

“Apa?” Finna lebih antusias tertarik. 

“Si Bekjoel!” 

Senyum Finna langsung melenyap saat Phiko menyebutkan nama motor kesayangan Vino. 
“Vino, kan, gak bisa jalan. Pasti naik motor juga gak bisa lah, Phi!” 

“Bukan, Fin.” Phiko mengelak. “Maksudku, kita modif Si Bekjoel biar bisa dipake Vino.”

“Dimodif gimana?” 

Phiko mengukir senyum, merasa Finna mungkin tertarik dengan idenya. Lelaki itu mengeluarkan ponsel dari saku, menunjukkan sebuah model motor yang akan sangat cocok untuk kakak sulung mereka. 
 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Call(er)
4577      2443     11     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
463      363     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
GEANDRA
820      631     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
May I be Happy?
1947      989     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
3358      1801     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Kacamata Monita
4419      1340     3     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Paint of Pain
3264      1835     38     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Interaksi
797      591     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
6904      2259     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
TANPA KATA
86      79     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.