“Vino itu, dia punya tabungan. Kamu tau tabungannya untuk apa?” Bapak menelisik wajah Phiko.
Kepala Phiko terangkat. Memberanikan diri menatap Bapak setelah lama tertunduk dalam. “Buat beli motor baru?”
Bapak menggeleng. Salah satu sudut bibirnya tertarik. “Buat masukan kamu ke tempat les terbaik.”
Jantung Phiko terasa mencelos dari tempatnya. Setelah mendapat kabar melalui panggilan Bapak, Phiko bergegas pergi dari apartemen Ibu. Tak peduli Ibu dan suaminya berteriak tak jelas melarang Phiko keluar dari rumah. Nada bicara Bapak terdengar sendu dan bergetar. Sepertinya bukan dibuat-buat agar Phiko mau menghampiri Bapak dan kedua kakaknya. Dan benar saja, Bapak mengirimkan lokasi rumah sakit tempat kedua kakaknya dibawa ambulans yang dipanggil warga setempat.
Phiko sampai sekitar tiga puluh menit setelah Bapak menelepon. Jalanan macet, menghambat ojek yang ditumpanginya. Setelah ditelusuri, penyebab kemacetan adalah kecelakaan, kecelakaan kedua kakaknya yang masih belum selesai dibereskan. Phiko melewati jalan yang sama dengan tempat kejadian setelah mendengar cerita Bapak. Bulu kuduknya merinding seketika. Itu artinya, truk yang membuat motor bebek ringsek—seperti yang dilihatnya dalam perjalanan tadi—merupakan truk yang sama, yang membuat kedua kakaknya masuk rumah sakit malam ini.
“Bapak, Vino dan Finna betulan bekerja, Nak. Bapak bekerja untuk menghidupi kita, memberikan kalian makan, membuat dapur berasap. Finna bekerja untuk meringankan kewajiban Bapak, Finna yang selama ini membayar tagihan listrik, air, dan iuran kas warga. Sementara Vino ....” Bapak menggantungkan kalimatnya, memastikan Phiko akan baik-baik saja jika dirinya melengkapi perkataan.
“Vino bekerja untukmu, Nak.”
Tangis Phiko mulai pecah. Ia tak kuasa lagi mendengar cerita Bapak tentang kedua kakaknya.
“Di antara ketiga anak Bapak, memang kamu yang paling terang masa depannya. Sudah terlihat dari betapa rajinnya kamu selama ini. Phiko tau tidak? Vino itu sebetulnya ingin berkuliah juga. Tapi, Vino merasa tidak pantas untuk berkuliah, sehingga dia memperjuangkan kamu untuk berkuliah. Vino bekerja dan mengumpulkan uang supaya kamu ikut kelas tambahan, dengan harapan kamu bisa masuk ke perguruan tinggi yang diinginkan, tapi Vino tidak tau tempat mana yang bagus dan terjamin.”
Suasana lobi rumah sakit terasa semakin melenggang. Namun, Phiko rasanya kehabisan oksigen. Sekitarnya berubah menjadi panas. Padahal, malam yang dingin menyeruak menyiksa kulit siapa pun yang keluar tanpa memakai baju penghangat, seperti Phiko yang hanya memakai kaos oblong hitam.
“Vino langsung telepon Ibu waktu sampai di rumah. Dia bertanya apa alasan kamu rela kerja sama Roger yang ternyata untuk mengumpulkan biaya kelas tambahan. Vino senang sekali, karena dia jadi tau, tempat les mana yang cocok buat kamu. Tapi, tabungannya baru sembilan juta, sedangkan kamu butuh sepuluh juta untuk satu bulannya, kan?”
Phiko tidak mengangguk, tidak pula menggeleng. Ia sibuk menghapus jejak air matanya untuk menyembunyikan rasa sedih. Usahanya nihil karena isakan terus keluar dari mulutnya.
“Awalnya, Vino mau minjam sejuta itu ke Finna. Tapi, simpanan Finna juga udah habis karena kemarin dia pakai uang itu untuk tebusan obat Bapak, bayar listrik dan air. Sewaktu Bapak dan Finna baru aja mau goreng ayam sama perkedel, Vino tiba-tiba teriak di kamar. Katanya, dia ada panggilan kerja, lumayan bisa nambahin tabungan dia untuk kamu. Akhirnya dia bela-belain pergi sama si Bekjoel itu, bareng Finna, kebetulan Finna juga ada panggilan mendadak. Rezeki anak saleh.”
Bapak menyeka air mata. Inilah part tersedihnya. “Siapa sangka kalau di tengah perjalanan mereka menjemput rezeki, ada orang yang membuat mereka jadi korban.”
Tangisan Phiko terdengar semakin menjadi-jadi. Phiko terlihat sesak dengan napasnya yang menderu kencang. Untung saja lobi rumah sakit ini hanya diisi oleh satpam dan beberapa petugas rumah sakit yang berjaga. Mereka pasti mewajarkan tingkah Phiko, mereka pasti tau bahwa Phiko dan pria bertubuh tambun ini merupakan keluarga dari korban lakalantas yang terlindas oleh truk.
“Tadi, sebelum kamu ke sini, sempat lihat si Bekjoel?”
Dengan mata merahnya, Phiko menoleh kepada Bapak. Alisnya sedikit bertaut. “Bekjoel?”
Bapak mengangguk. “Motornya Vino. Bekjoel namanya, bebek jadoel. Jangan kasih tau Vino kalau si Bekjoel rusak parah, takut dia makin syok.”
Phiko semakin meringis. Ia baru tau kalau kakaknya memberikan nama kepada motor yang selalu Phiko hina itu dengan nama yang unik. Phiko mengangguk samar. Tadi, dirinya melihat motor itu digotong ramai-ramai ke atas truk terbuka. Kondisinya cukup hancur. Phiko sempat mendoakan agar korban yang mengendarai motor itu selamat, tanpa ia tahu bahwa pemilik motor tersebut adalah kakaknya, sebab Phiko mengira bahwa yang memiliki motor berjenis seperti itu sangatlah banyak.
“Kamu tau apa pekerjaan dua kakakmu?”
Tidak, Phiko tidak ingin menjawab. Terlalu memalukan. Phiko sudah berpikiran kotor kepada dua kakaknya, tanpa Phiko kira bahwa kedua kakaknya itu rela mempertaruhkan masa mudanya untuk menghidupi keluarga. Di saat pemuda seusia mereka hanya bisa nongkrong di kafe-kafe, mereka justru rela pulang malam demi mengais rezeki untuk masa depan keluarga. Untuk Bapak dan Phiko.
“Finna itu bekerja sebagai tata rias di hotel-hotel berkelas. Hebat, ya, dia? Hanya mengandalkan tutorial dari internet, dan dengan modal secukupnya, Finna bisa dipanggil oleh beberapa hotel mewah untuk merias tamu-tamu yang punya acara.”
Rasanya Phiko ingin sekali menampar dirinya sendiri. Phiko sangat keterlaluan. Menuduh kakaknya sebagai alat pemuas nafsu—, tidak. Phiko tidak ingin membahas lagi pikiran kotornya ini. Bahkan kalau bisa, Phiko ingin meminta Bapak untuk menghentikan penjelasan selanjutnya, sudah pasti tentang Vino.
“Kalau Vino, dia kerjaannya banyak, serabutan. Pulang sekolah, dia bakal jadi ojol sampai jam sepuluh malam. Lanjut, jam dua belas atau jam satu malam, dia bakal dipanggil kerja di pasar barat, tempat sayur dan daging itu lho. Dia angkut-angkut barang sampai jam tiga subuh. Selepas pasar buka, dia bantu temennya jualan daging sampai jam lima. Dia baru bisa tidur setelah itu. Jam enam harus udah bangun buat berangkat sekolah. Bapak salut sama Vino. Walaupun jarang tidur di rumah, Vino itu selalu inget sama Bapak, selalu chat Bapak, nanya Bapak udah makan atau belum. Finna juga begitu. Makannya Bapak selalu ingat dengan mereka karena mereka juga ingat kepada Bapak.”
Phiko sungguh merutuki dirinya sendiri. Ia sudah menjambak rambutnya dengan kasar, dalih membiarkan air matanya menetesi lantai lobi rumah sakit. Bapak menepuk pelan pundaknya, mengusap punggungnya dengan lembut.
“Bapak juga bangga kepadamu, Nak.”
Apa yang mau Bapak banggakan terhadapnya? Terhadap anak durhaka sepertinya? Terhadap adik durjana yang sudah membuat kakaknya sengsara? Andaikan Phiko tidak menunjukkan ambisinya dalam akademik secara terang-terangan, mungkin Vino tak akan bekerja seperti ini. Andaikan Phiko ikut bekerja paruh waktu, mungkin Finna tak akan membela menyisihkan separuh uang jajannya untuk membeli alat rias—keperluannya sebagai MUA. Seharusnya, dalam hidup Phiko, bukan Ibu atau Bapak yang harus disalahkan, tapi dirinyalah yang tak mau berdamai dengan takdir. Phiko yang membuat jalan kehidupan menjadi rumit. Hanya Phiko seorang yang menganggap jika dirinya sudah menemukan jati diri yang tak dapat diganggu gugat. Sejatinya, di antara kedua kakaknya, hanya Phiko yang tak bisa menerima takdir kehidupan.
Mulai hari ini, Phiko resmi membenci dirinya sendiri.
Bapak bilang, kecelakaan itu kronologinya seperti ini; saat di lampu merah, motor Vino berhenti paling pertama karena laju motor Si Bekjoel memang tak begitu cepat. Selang beberapa lama kemudian, dari arah depan mereka ada sebuah truk yang cukup besar melaju dan mengara kepada jalur Vino, jelas berarti lawan arah. Namun, diduga truk tersebut mengalami rem blong. Karena jalur Vino cukup sepi, sopir justru membanting stirnya ke arah jalur Vino. Dengan cekatan Finna melompat dari motor Vino, ia hanya mengalami luka ringan, kedua lengan dan lututnya tergesek aspal. Namun, sangat disayangkan Vino tak sempat mengelak.
Akan tetapi, Tuhan masih sayang kepada Vino. Meski Si Bekjoel dalam kondisi mengkhawatirkan, tapi hanya bagian kaki Vino saja yang terlindas. Nyawa Vino berhasil tertolong. Itu juga berkat gesitnya tenaga medis dalam melakukan pertolongan pertama.
Beberapa menit yang lalu, Bapak pamit pulang kepada Phiko. Bapak memberitahu, di lantai atas, tepatnya di depan ruang operasi Vino, ada Finna yang menunggu seorang diri. Finna enggan pulang. Sementara Bapak ingin membawakan anak-anaknya makan malam.
“Kamu sudah makan?” tanya Bapak sebelum berpamitan. Tanpa menjawab pun, Bapak sudah tahu anak bungsunya tidak diberi makan oleh mantan istrinya. Terlebih ada jejak memar di wajah dan punggung tangan Phiko, Bapak sudah bisa menebak sendiri apa yang baru menimpa Phiko. Hingga akhirnya Bapak berjanji akan membawakan perkedel kentang kesukaan Phiko ketika kembali nanti.
Lelaki itu berjalan gontai menyusuri lorong rumah sakit. Di ujung matanya, terlihat seorang gadis berambut panjang yang duduk dan tertunduk sembari memeluk tas hitam, dipastikan kepunyaan Vino. Rasanya kaki ini terlalu kaku jika Phiko memaksa untuk mendekati. Namun, dirinya sudah banyak salah kepada dua kakaknya.
Phiko menatap lampu merah di atas pintu di hadapan Finna, dan juga menatap Finna secara bergantian. Kakaknya tampak mengkhawatirkan, mungkin di dalam sana Vino jauh lebih mengkhawatirkan. Tapi, untuk sekarang Phiko ingin memerhatikan Finna terlebih dahulu.
Mungkin, terlalu kurang ajar. Phiko sudah membuat Finna nyaris dilecehkan oleh Mahen tempo hari. Namun, dengan percaya diri Phiko memeluk tubuh mungil Finna dengan erat. Phiko baru menyadari, Finna ini kurus sekali, tulang-tulangnya terasa dalam sentuhan Phiko. Di mata Phiko sekarang, Finna lebih cocok disebut sebagai anak kecil.
“Katanya dua kaki Vino harus diamputasi, Phi. Lengan kanannya juga gak bakal bisa lagi dilurusin dan digerakin. Aku gak ngerti apa yang dibilang sama dokter itu. Tapi, kamu pinter, kan, Phi? Kamu calon dokter, Phi. Tolong, tolong bilangin ke mereka buat selamatin Vino, Phi.” Suara Finna terdengar lirih dan menyayat hati.
Alih-alih menanggapi, Phiko mengulurkan pelukan, merapikan rambut panjang Finna yang mulai lepek itu. Phiko menatap wajah Finna dalam-dalam. “Lo gak apa-apa?”
Mendengar pertanyaan itu, tangis Finna kembali pecah. Pasti gadis itu masih trauma. Bagaimana tidak? Melihat kakaknya terlindas oleh truk besar di depan mata kepalanya sendiri. Melihat banyaknya cairan merah menggenangi tubuh kakaknya itu.
Seharusnya, malam ini Vino bekerja di hotel bersama Finna. Vino seharusnya membersihkan beberapa kamar—kebetulan pegawainya banyak yang tidak masuk—dan mendapat bayaran sekitar lima ratus ribu. Sementara Finna diminta untuk menjadi penata rias fine dining seorang konglomerat, dan dijanjikan akan dibayar dengan nominal sejuta. Jika ditotalkan, cukup memenuhi kekurangan tabungan untuk Phiko. Setelah itu mereka akan menjemput Phiko dari apartemen Ibu, lalu pulang kembali ke rumah untuk makan malam bersama. Semua rencana itu pupus sudah.
Tangisan Finna perlahan berhenti. Ia salah fokus dengan wajah Phiko. Finna mencoba menyentuh luka memar di wajah tampan itu, tapi Phiko membuang pandangannya dengan cepat.
“Pasti gara-gara cowok itu, ya?” tebak Finna.
Phiko mengembuskan napas pelan. Ia beranjak duduk di sebelah Finna. Mereka sama-sama terdiam. Phiko tahu kakaknya sedang menatapnya dengan air wajah khawatir, tapi Phiko memilih menundukkan kepalanya. Tak lama tangan Finna bertangkai di kepala Phiko. Meski usia mereka setara, hanya jarak tujuh menit saja, Finna menganggap Phiko itu adik kecilnya.
“Jangan lagi tinggal di sana kalau perlakuan cowok itu kayak setan. Mending tinggal bareng kita,” ucap Finna memanas-manasi, tapi ujungnya gadis itu tertawa. Phiko senang kakaknya bisa kembali tertawa.
“Ini karena Ibu, Fin.”
Finna terkejut. Ia bahkan membeku di tempat. Finna tidak pernah membayangkan ibunya bisa memperlakukan anak dari darah dagingnya sendiri seperti ini, sampai memar yang begitu jelas menghiasi wajah lugu adiknya. Meskipun pernah berselingkuh, tapi Finna mengenal Ibu sebagai wanita paling baik hati, lemah lembut, dan penyayang.
“Ibu juga pasti karena pengaruh cowok itu. Kelihatan banget waktu di pasar.” Finna bergidik ngeri. “Untung aja kacungnya yang suka nagih ke toko Bapak baik, gak pernah pakai kekerasan atau bentakan.”
Pandangan Phiko tertarik. “Sejak kapan lo tau kalau cowok itu kepala preman di pasar?”
“Udah lama. Sejak dia ngegoda Ibu di depan mata aku.”
Phiko menggigit bibir bawahnya. Phiko kagum dengan Finna. Sebetulnya, kakaknyalah yang dewasa sebelum waktunya. Dalam artian, Finna mampu menyembunyikan rasa sakitnya karena menjadi orang pertama yang menjadi saksi atas perselingkuhan Ibu.
“Bapak udah pulang? Tadi katanya mau pulang buat bawa makan malam.”
Phiko mengangguk. Finna tertawa senang sekali. Kepala gadis itu disandarkan ke bahu Phiko, ia juga memeluk lengan Phiko cukup erat. “Nanti kita makan bareng-bareng, ya, sama Vino juga.”
Phiko bisa mencium aroma parfum yang menyegarkan, aroma yang sama seperti tiga taun lalu saat terakhir kali mereka dekat. Artinya, Finna tidak pernah mengganti wangi parfumnya selama ini.
“Fin.”
“Hm?”
“Kenapa lo gak nyoba wangi parfum lain?” Phiko berusaha mengalihkan isi pikiran Finna supaya tidak terlarut dalam traumanya.
Finna mengangkat kepala. “Karena kamu bilang parfumku yang ini wangi. Vino selalu ngeluh kalau parfumku bikin hidung sakit, sedangkan Bapak gak ngerti tentang parfum. Dulu, kamu puji-puji aku waktu pakai parfum ini, tapi kamu juga marah sewaktu aku ganti wanginya. Inget nggak?”
Tidak, Phiko tidak mengingat kenangannya bersama kedua kakaknya. Bahkan Phiko sudah mengubur kenangan manis itu sedalam-dalamnya. Betapa teganya ia tidak mengetahui pekerjaan Vino dan Finna sampai bisa membuat kesimpulan sendiri.
Rasa bersalah menghantui benak Phiko sedalam-dalamnya. Lelaki itu kini duduk di sebelah ranjang kakaknya, di ruang ICU, menemani Vino yang masih terbaring lemah. Suara monitor pembaca detak jantung memenuhi pendengaran Phiko. Monitor itu bisa saja memunculkan bunyi yang melengking disertai garis lurus. Namun, Phiko tidak akan pernah membiarkannya. Setengah jam lalu, Vino baru saja melewati masa kritisnya selama tiga jam. Operasi berjalan cukup dramatis karena para medis sempat kehilangan denyut nadi Vino setelah pendarahan cukup hebat. Phiko bersumpah, mulai detik ini hingga akhir hayatnya, ia akan mengabdi kepada kedua kakak dan juga bapaknya. Ia akan mengerahkan seluruh nyawanya demi melindungi mereka.
Mata Phiko terus terkunci pada jemari kiri Vino yang berada di samping tubuh. Finna benar. Kedua kaki Vino diamputasi karena kerusakan yang cukup parah akibat terlindas. Tangan kanan Vino tampak menekuk seperti pengidap stroke. Ada pembuluh darah di otak yang membeku, menyebabkan tangan kanannya tak bisa bergerak lagi entah sampai kapan. Konon, Vino juga melindungi sesuatu yang diduga ponselnya di saku jaket sebelah kanan menggunakan tangannya itu. Dokter tidak bisa memastikan apakah pembekuan pembuluh darah itu mengganggu kemampuan bicaranya atau tidak.
“No,” panggil Phiko dengan lirih.
Tangan Phiko naik menggapai tangan Vino. Mengusapnya dengan pelan. Tangan itu terasa dingin. Phiko bangkit dari duduknya. Wajah Vino juga sama dinginnya. Phiko menggeleng kuat. Ia menggenggam tangan dingin itu, berharap Vino bisa merasakan kehangatannya.
“No ....”
Phiko menggoyangkan tubuh Vino. Phiko ingin meminta maaf sebelum semuanya terlambat. Namun, Vino terus saja memejamkan matanya. Di satu sisi, Phiko juga sedikit senang karena Vino akhirnya dapat tertidur pulas tanpa harus bekerja malam ini.
“No, lo gak perlu kerja lagi, ya? Gue nggak akan les, gue gak akan kuliah. Gue mau kerja buat biayain hidup lo sama Bapak. Tapi, lo bangun sekarang, No. Gue kesepian di sini.”
Linang air mata mulai menggenangi kelopak sendu Phiko. Dadanya terasa sesak. Hampir setiap malam dirinya melihat Vino terlelap di kasur, dan Phiko merasa terganggu karena dengkurannya yang keras. Phiko tidak tahu dengkuran Vino itu diakibatkan karena kelelahan bekerja. Malam ini, Phiko juga terganggu karena tidak ada dengkuran yang keluar dari mulut kakaknya.
“No, bangun. Ayo, tidur bareng gue lagi.” Phiko menyeka air matanya. “Gue janji, gue gak akan tinggal bareng Ibu. Gue mau tinggal bareng kalian, No.”
Vino masih terdiam. Mulutnya yang terbalut masker oksigen tidak menunjukkan tanda-tanda pergerakan.
“No, dingin, ya? Gue, gue gak bawa jaket.” Phiko mengedarkan pandangannya. Berharap menemukan satu lagi lembar selimut untuk membalut tubuh Vino yang terasa menggigil bagi Phiko.
Pandangan Phiko mendarat ke ambang pintu ICU. Mungkin Bapak sudah kembali, Finna tadi turun ke bawah untuk menjemput Bapak di lobi rumah sakit. Mungkin Bapak kembali sambil membawa selimut. Vino harus cepat-cepat mendapat selimut tambahan, tangan yang masih berada dalam genggaman Phiko terasa kian mendingin.
Perlahan Phiko memberanikan diri melepaskan genggaman tersebut. Namun, saat ia hendak beranjak, Vino mendadak mencengkeram tangannya. Meskipun terasa lemah, tapi Phiko bisa merasakan tenaga Vino yang cukup kuat untuk menahannya.
“No? Lo, lo udah sadar?” Phiko mendekatkan wajahnya pada wajah Vino.
“Temenin gue, Phi.”
Phiko rasanya ingin menangis. Akhirnya ia bisa mendengar suara Vino kembali. Suaranya begitu lemah dan lirih. Namun, Phiko bersyukur karena kakaknya justru tidak mengusirnya.
Setelah kesadaran Vino cukup stabil di ruang ICU, Vino baru bisa dipindahkan ke kamar rawat sekitar pukul dua belas malam. Seharusnya, tengah malam begini Vino harus pergi ke pasar untuk mengangkut pasokan barang ke kedai-kedai. Tetapi, sekarang ia justru terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Kedua kakinya yang diamputasi masih merasakan linu, tubuhnya juga nyeri. Namun, sakit pada tubuhnya tak begitu dirisaukan lagi karena Phiko sudah ada di sampingnya.
Vino memandang kosong ke langit-langit kamar rumah sakit. Hingga sodoran berupa segumpal nasi ditambah daging ayam tiba di depan mulutnya. Pandangan Vino tertarik. Apa yang terjadi dengan otaknya? Sampai lupa dirinya tengah disuapi oleh Phiko. Perlahan Vino membuka mulut, gumpalan nasi dan lauk itu berhasil masuk memenuhi mulutnya. Vino memang lapar, sedari pagi ia belum makan. Vino sebetulnya jarang sekali makan, cenderung melupakan apa fungsi makan di hidupnya.
Lelaki itu menatap wajah Phiko dengan saksama. Tangan kirinya yang dinyatakan baik-baik saja terangkat, menyentuh rahang Phiko. Adiknya itu tersentak sampai terdiam. Terlebih ketika Vino menolehkan wajah Phiko ke kanan dan kiri, merasa ada yang janggal. Phiko buru-buru melepaskan cengkeraman tersebut, mengalihkan fokus dengan menyodorkan gumpalan nasi.
Vino berdecak. Ia membuka mulut. Menunjukkan bahwa suapan sebelumnya saja belum Vino telan. Vino tahu, Phiko tidak ingin ditanyai tentang memar pada wajahnya. Maka ia harus segera berdalih.
“Muka kita mirip banget, Phi.”
Phiko mengangguk setuju. “Andaikan gue nggak introvert, orang pasti susah bedain kita.”
Vino tertawa receh hingga matanya tidak terlihat, mendengar kata introvert membuatnya jadi tinggi hati tentang keramahan yang dimilikinya selama ini. Sebisa mungkin Vino menelan makanan di mulutnya agar dapat bicara.
“Sekarang orang makin bisa bedain kita, Phi, soalnya gue udah cacat, ha-ha-ha.” Vino kembali tergelak, kali ini terdengar lebih puas.
Bukannya ikut tertawa, semua orang yang ada di ruang rawat ini bergeming tak mengindahkan perkataannya. Bahkan Bapak sampai menyimpan kembali rantang yang masih tersisa setengah isiannya. Sementara Finna melempar tatapan nanar.
Si pelawak tampak kebingungan. Ia berdehem kasar untuk memecahkan keheningan. Mengapa keluarganya tidak ikut tertawa? Bukankah lucu? Orang jadi makin bisa membedakan si kembar tiga ini. Yang satu perempuan, satu si culun dua empat garis miring tujuh untuk belajar, satu lagi cowok cacat seperti dirinya. Harusnya itu terdengar lucu, mungkin teman-teman tongkrongannya akan ikut tertawa. Tidak ada yang membahas tentang candaan Vino. Phiko kembali menyuapi gumpalan nasi, seakan menyumpal mulutnya untuk tidak bicara seenaknya karena nasi kali ini dimasukkan cukup banyak.
“Perawat bilang, keluarga pasien yang menjaga di sini cukup satu orang. Phiko dan Finna pulang aja, biar Bapak yang jaga Vino.” Bapak memberesi rantang-rantang setelah semua anaknya selesai makan.
“Finna aja, Pak. Aku besok bisa izin dan jaga Vino. Aku sama Phiko sekelas, jadi nggak akan ketinggalan pelajaran. Lagian ... Phiko sekarang kayaknya udah berubah, dia pasti gak akan keberatan kalau dititipin tugas sama aku.”
Vino menatap Phiko yang masih setia di sebelahnya. Kalau dilihat-lihat, memang gerik Phiko kali ini cukup aneh. Tidak biasanya Phiko mau bersebelahan selama ini dengannya. Sebelumnya juga mereka baru terlibat perdebatan yang cukup serius. Apakah ayah tirinya memukul Phiko sampai otaknya sedikit ... bergeser?
“Aku aja yang jaga Vino. Aku aja yang izin sekolah besok.” Phiko membuka suara. Kepalanya terangkat menatap keluarganya secara bergantian, pandangannya mendarat pada kedua kakaknya. “Gue udah ... nuduh kalian yang nggak-nggak. Kalian berhak marah, kalian berhak benci gue. Tapi, tolong kasih gue peluang buat ngeganti semua kerugian yang kalian derita.
“Tunggu-tunggu.” Finna melangkah mendekati Phiko. “Maksudnya apa? Nuduh apa? Kerugian apa? Aku gak ngerti.”
Phiko menghela napas panjang. “Gue, gue kira lo itu ... pelacur. Kerjaan lo di hotel, Fin. Sedangkan Vino, gue kira suka balap liar, main judi dan nganter barang haram. Pikiran gue udah kotor tentang kalian.”
Tangan Phiko terangkat, ia mulai memukuli kepalanya sendiri. Finna terlihat panik, buru-buru memeluk kepala adiknya dengan kuat, hingga tak sengaja pukulan itu mengenai tubuhnya sendiri. Isakan terdengar keluar dari mulut Phiko. Phiko berupaya mendorong Finna supaya melepaskan pelukan, tapi Finna tak langsung menyerah, justru menambah tenaganya.
“Kalian harus benci gue.”
Finna menggeleng kuat. Meski ia tak menyangka Phiko akan mengaku seperti itu, Finna tak bisa tega adiknya tersakiti, apalagi menyakiti diri sendiri begini. Vino hanya mengerlingkan bola mata, sembari menepuk-nepuk punggung adik bungsunya.
Vino tidak terkejut, memang kegiatannya selama tiga taun terakhir ini patut dicurigai habis-habisan. Tak lama, alis Vino bertaut. Ia menarik bahu Phiko hingga terlepas dari pelukan Finna.
“Jadi, lo tau kerjaan kita yang sebenarnya?”
Phiko mengangguk-angguk.
“Tau dari mana?” Vino terdengar menyolot. Seolah fakta yang akhirnya diketahui Phiko jauh lebih mengejutkan ketimbang tuduhannya.
Phiko menyeka air mata. “Bapak.”
Ketiga anak kembar itu kompak menoleh ke arah Bapak yang diam-diam tersenyum melihat interaksi tersebut. Bapak melangkah mendekati anak-anaknya. Lantas memeluk ketiga anaknya. Bapak menciumi kening ketika anaknya satu persatu.
“Demi kebaikan kalian.”
“Kenapa kalian gak terus terang aja? Kenapa gak kasih tau gue? Kenapa bilangnya lo mau pergi ke hotel mewah, lo menang urutan kedua? Kenapa?” Phiko mengguncang tubuh kedua kakaknya secara bergilir.
“Lo yang gak nanya. Ah, ahk! Sakit, Phiko, sakit!”
Phiko lupa kalau kakak sulungnya sedang terluka parah. Ia membenarkan posisi tidur Vino, merapikan baju khas pasien rumah sakitnya yang sedikit berantakan.
“Padahal, tadinya gue mau buat lo terkesima sama usaha gue.” Vino menyandarkan kepala. “Tapi, syukur kalau lo udah tau semuanya.”
Phiko terlarut ke dalam penyesalan. Finna jelas peka dan menyadarinya. Gadis itu menenangkan Phiko, berkata bahwa pikiran Phiko sebelumnya itu tidak menjadi masalah. Asalkan Phiko mau berubah dan sayang kepada keluarganya lagi seperti dulu, walau tanpa Ibu.
“Jadi, siapa yang mau pulang?”
Bapak, Finna, dan Phiko saling melempar pandang saat Vino bertanya. Ia ingin istirahat. Kepalanya cukup pening. Rasanya, situasi persaudaraan mereka akan kembali seperti dulu, saling bertengkar dan memperebutkan sesuatu. Dan Vino tidak terlalu siap jika harus terjadi malam ini juga.
“Kalau gak ada, gue aja yang pulang.” Vino menyingkapkan selimutnya, seperti hendak turun dengan kedua kaki yang teramputasi itu.
“Eh, eh! Jangan,” sergap Phiko dan Finna bersamaan.
“Bapak sama Finna aja yang pulang. Lagian, seragamku ada di apartemen Ibu, peralatan sekolah juga, jadi kayaknya besok gak bisa sekolah.”
“Bilang aja males. Padahal, kan, bisa pake seragam gue.”
Phiko menoleh jengkel. Ternyata Vino tidak berubah, masih menjadi seorang kakak yang menyebalkan seperti dulu.
Bapak dan Finna mengalah. Keduanya pulang tepat pukul satu malam. Untungnya mereka memakai mobil hasil pinjam ke Pak RT, jadi tidak perlu mengkhawatirkan adanya begal atau taksi berbahaya di tengah malam begini. Jangan salah, Bapak itu bisa mengendarai mobil. Kalau punya, pasti Bapak memilih menjadi sopir taksi ketimbang berjualan buku di pasar.
Kini, ruang rawat VIP itu hanya menyisakan Phiko dan Vino. Phiko baru saja keluar dari kamar mandi setelah menggosok gigi. Phiko itu lebih teliti dalam perawatan diri. Tidak seperti Vino yang bisa langsung rebahan di kasur tanpa bebersih atau mengganti pakaian.
“Apartemennya Ibu kayak gimana?” celetuk Vino, begitu Phiko baru merebahkan tubuhnya di atas kasur keluarga pasien.
“Emm, kayaknya, ruang tamunya ada deh segede gini.” Phiko membentangkan kedua tangannya.
“Tapi, kamarnya cuman dua. Satu buat Ibu, satu lagi buat bayinya.”
“Ibu punya bayi?”
Phiko mengangguk. “Kayaknya baru beberapa bulan.”
“Pantes gak pernah nanya kabar kita lagi.”
Phiko sontak melirik Vino yang berada tak jauh darinya. Wajah Vino terlihat sendu menatap langit rumah sakit. Memang betul, setelah perceraian, Ibu masih sering menghubungi ketiga anaknya melalui pesan WhatsApp. Namun, setahun terakhir, Ibu tidak pernah lagi muncul jika tak mereka duluan yang menghubungi.
“Tunggu dulu.” Vino berusaha memiringkan tubuhnya ke arah kiri. Phiko dengan gesit bangkit membantu. “Lo bilang, kamarnya cuman dua. Satu dipake Ibu, satu lagi kamar bayi. Terus lo tidur di mana?”
Phiko kembali merebahkan tubuhnya. Kali ini dirinya juga ikut memiringkan tubuh ke kanan, sehingga mereka tampak berhadap-hadapan.
“Gue tidur di gudang.”
“Buset.” Vino tertawa mengejek. “Serius lo?”
Phiko lagi-lagi mengangguk. “Kecil gudangnya. Segini.” Phiko menggambarkan keadaan gudang tersebut dengan kedua telapak tangan yang didekatkan. “Kata Ibu, sih, kamar ART. Tapi, menurut gue itu gudang, malah lebih gede gudang di rumah Bapak.”
“Masih enak tidur di rumah Bapak, Phi. Ada kasur, bantal, guling, ada gue juga. Kalau gue gak ada, lo bisa tidur dengan leluasa di kasur gede itu.”
Phiko ikut tertawa pertanda setuju. Hingga tawa dua anak kembar itu terhenti, Phiko kembali bersuara. “Tapi, mulai malam ini, kayaknya gue bakal terus tidur berdua sama lo, No.”
Vino menatap tangan kanannya. Kalimat itu menyadarkan Vino, bahwa mulai hari ini, ia tak bisa melakukan apa pun tanpa bantuan keluarganya. Truk sialan. Seharusnya seluruh sopir di penjuru dunia melakukan pengecekan yang maksimal sebelum pergi.
“Sopir tadi ngasih seratus juta buat biaya pengobatan gue. Katanya, kalau kurang, gue bisa minta lagi ke dia karena dia bosnya. Dia sanggup biayain hidup gue. Jadi, Phi, lo bisa pake sebagian uang itu buat kelas tambahan.”
Phiko mengembuskan napas gusar. “Itu, kan, uang lo. Lagian lo harus jaga amanah orang. Masa gue seenaknya ngambil hak lo demi kepentingan gue.”
“Gak apa-apa, Phi, dia gak akan tau.” Vino mengulurkan tangan kirinya. “Mana Hp lo? Gue mau transfer. Asek, gaya banget gue transfer ke lo. Tapi, sembilan juta dulu, gapapa kan, Phi? Uang dari dia belum cair sepenuhnya.”
Phiko mengedikkan bahunya. Ia menelentangkan tubuh, menatap jendela yang gordennya tidak tertutup. Terlihat beberapa bintang menerangi langit malam tak berbulan ini.
“Gue gak jadi masuk les, No. Biarin aja, nilai gue kadung hancur gara-gara guru baru yang songong itu.”
“Pak Goyara, ya? Ternyata lo kena juga?”
“Dia ngajar di kelas lo juga?”
“Nggak, tapi gue denger dari anak kelas lain. Katanya nyebelin. Yang salah dibenerin, yang bener di salahin.”
“Iya, gue dapet sembilan tujuh kemarin. Mana ulangan dadakan. Gue belum sempet ngapalin.”
Vino mengerlingkan bola mata. Sisi ambisius Phiko muncul juga, dan itu membuatnya sedikit kesal. “Gue dapet lapan puluh aja udah syukur, Phi.”
Phiko tidak mengindahkan sindiran kakaknya. “Karena nilai sembilan tujuh itu, gue jadi gak fokus, akhirnya nilai-nilai lain juga jelek. Jadinya gue pengen les. Tapi, karena gue tau lo kerja demi bisa masukin gue les, gue jadi males, gue gak mau jadi anak rajin lagi, mending nyari duit kayak lo sama Finna.”
“Jangan gitu. Jangan tiba-tiba mengubur mimpi lo gitu aja. Kalau lo kaya gitu, artinya lo sia-siain kerja keras gue jadi pejuang nafkah.”
Phiko mendadak duduk di kasurnya. Merenungi ucapan Vino barusan. Benar apa katanya. Jika benar Vino bekerja untuk Phiko, dan Phiko tidak mempergunakannya dengan baik, maka Phiko sudah menyepelekan kerja keras Vino. Waktu dan tenaganya terbuang begitu saja. Tapi, tapi, mereka masih bisa mempergunakan tabungan Vino dengan sesuatu yang lebih bermanfaat.
“Gimana kalau tabungan lo dijadiin modal aja?” Phiko merebahkan tubuh, kembali berhadapan.
“Modal apaan?”
“Ya, apa gitu. Kita jualan misalnya, nge-live kayak orang-orang di Tiktok. Atau kita gunain buat Bapak. Suruh Bapak pindah dari pasar itu.”
“Dih, mau lo? Gue sih males harus nanggapin netizen. Eh, gue sebenernya kemarin kepikiran bangun kafe yang bisa jual buku. Lo tau gak?”
“Wah, ide bagus tuh!” Phiko tersenyum. Setidaknya Vino tak menyudutkan Phiko lagi supaya memakai tabungan Vino untuk kelas tambahan.
“Kemarin anak-anak tongkrongan main ke toko Bapak. Mereka bantuin gue survey. Katanya toko itu terlalu sempit, nyimpen dua meja aja udah gak ada jalan. Kalau mau, Bapak memang harus pindah dari sana. Tapi, orang-orang langganan Bapak taunya Bapak di sana.”
“Tinggal kasih plang aja, kalau Bapak pindah, terus kasih keterangan alamat baru Bapak,” saran Phiko.
“Pinter lo. Terus, menurut lo, nanti tempatnya harus gimana? Menunya kira-kira apa aja?”
Phiko membenarkan posisinya, menatap langit kamar rumah sakit, membayangkan akan seperti apa jika toko buku Bapak berubah menjadi kafe kekinian anak muda. Pasalnya, selama ini yang datang ke toko Bapak itu hanya kalangan tiga puluh taun ke atas. Anak muda pun hanya mereka yang mengincar buku kampus, buku lawas, atau kolektor saja.
“Menurut gue, yang pasti harus banyak taneman biar kesannya rindang. Tempatnya seharusnya di deket kampus atau kantor gitu, biar orang-orang bisa WFC di sana. Terus kalau bisa tempat makan sama rak buku jangan terlalu deket, takutnya kotor, amit-amit bakal kecolong. Kalau bisa jangan ada batu-batuan biar kids friendly. Menunya jangan ada soda-soda, sebenernya ini gue yang gak suka sih, he-he. Karyawannya jangan terlalu banyak, kalau bisa rekrut dari genk lo aja dulu, itu juga kalau mereka mau. Cukup kasir, barista, waitress, chef, sama office boy. Eh, lo ada bayangan apa, No? Gue siap, kok, bantu—”
Ucapan Phiko terhenti begitu ia menoleh ke arah Vino. Lelaki itu rupanya susah terlelap.
Menjadikan telapak tangan kiri sebagai bantalan. Phiko mengembuskan napas panjang. Ia membenarkan posisi kakaknya agar tidur lebih nyaman dengan sangat hati-hati, takut bekas amputasi itu membuat Vino kesakitan akibat gesekan. Tak lupa Phiko juga membenahi selimut yang sempat tersingkap. Phiko memandang wajah kakaknya cukup lama, hingga dirinya mengusap wajah lelah itu penuh kasih sayang.
Phiko baru kembali ke kasurnya setelah mendengar dengkuran Vino. Dengkurannya terdengar lebih halus, mungkin Vino tak begitu kelelahan malam ini. Namun, tetap saja Vino baru menghadapi trauma yang cukup berat. Melihat mobil besar melaju ke arahnya, tak pernah ia sangka justru merenggut masa depannya.
Terkadang, berkendara di jalanan itu sungguh menyebalkan. Di saat kita sudah hati-hati, justru orang lain yang menyebabkan kecelakaan. Masih untuk Vino selamat dan pelaku mau bertanggung jawab dengan memberikan yang terbaik kepada korban.
Malam ini, Phiko tidak bisa tertidur. Ia resah dan gelisah. Tiap kali dengkuran Vino tidak terdengar, Phiko selalu bangkit dan mendekat untuk memastikan. Semesta menginginkan Phiko untuk terjaga. Mata Phiko kini terkunci dada Vino. Memerhatikan naik turunnya dada bidang itu. Phiko memejamkan mata, tiba-tiba air mata terasa ingin keluar tanpa dipinta.
Phiko merasa, seharusnya dirinya yang teronggok di sana, bukan Vino.